Hampir delapan bulan berlalu sejak saya difitnah influencer yang membuat karir berantakan dan dibatalkan dari mana-mana. Dengan berbagai macam cara, saya bertahan sebisa-bisa, baik secara mental maupun finansial, di sepanjang sisa tahun 2024. Saya bukan tipe orang yang senang berbagi tips karena meyakini bahwa kiat yang ampuh bagi diri sendiri belum tentu berlaku sama bagi orang lain. Namun dalam rangka menghargai diri sendiri karena telah berhasil melewati masa-masa rumit ini, tak ada salahnya berbagi tentang apa yang bisa dilakukan dalam rangka menjaga kewarasan pada periode terkena cancel culture ini. Berikut sepuluh tips:
1. Pelihara hewan dan rawat tanaman. Inilah momen-momen ketika kita bisa lebih menghargai sekitar secara lebih intens dan mendalam. Hewan dan tanaman itu bisa diajak bicara, mereka merespons, hanya saja tidak persis dengan cara yang sama dengan orang-orang. Kucing saya, si Niko, tahu bahwa saya sedang sedih, maka itu dia tiap malam menemani tidur di kamar (hal yang tak pernah dia lakukan sebelum kejadian ini mencuat). Tanaman juga sama. Ajaklah ngobrol ketika menyirami. Mereka akan memberi "sesuatu" yang membuat perasaan ini lebih tenang. Sukar dijelaskan memang, tetapi ini semua menjadi terang, ketika kita mampu melepaskan pola pikir umum tentang apa itu berkomunikasi.
2. Kesepian membuat kita seringkali mudah menerima orang, apalagi yang memperlihatkan sikap perhatian. Namun hal-hal semacam ini bisa menjadi "jebakan" karena tak semua orang itu bisa pas dengan kondisi kita saat ini. Tetap selektif dan jangan asal memasukkan orang dalam kehidupan kita. Dalam kondisi terkena cancel culture, perasaan was-was dan curiga menjadi meningkat, tetapi sekaligus seturut bersamanya perasaan mudah iba dan tersentuh. Tetap jaga kedua jenis perasaan itu berada dalam porsinya.
3. Meski berat, tetap lakukan hal-hal yang kita sukai. Jika kita suka merajut, lakukan saja meski mood berantakan. Jangan biarkan ketidakenakkan hati membunuh apa yang membuat diri kita bahagia. Dalam keadaan kena cancel, saya tetap menulis, sekurang-kurangnya mengisi postingan blog ini. Biasanya seminggu sekali, saya malah mempersering frekuensinya menjadi dua hari sekali. Apa saja dituliskan, yang penting tetap menulis. Hasilnya nanti bisa kita lihat setelah kondisi hati pelan-pelan membaik: mental kita ternyata begitu tangguh.
4. Tempat saya berkiprah sebelumnya, yang katakanlah disebut sebagai lingkaran intelektual dan budaya, hanyalah salah satu sirkel dalam masyarakat yang kenyataannya begitu luas dan beragam. Dikeluarkan dari lingkaran tersebut bukanlah kiamat. Masih banyak kolam-kolam lain tempat kita bisa bergaul dan berkiprah. Bahkan kita bisa belajar banyak dari kolam-kolam lain tersebut, sembari belajar menjadi manusia yang lebih utuh - tanpa membawa-bawa jubah intelektual yang selama ini mungkin membantu mengkamuflasekan kekurangan-kekurangan kita.
5. Dalam dunia kontemporer yang pada sebagian orang begitu menggantungkan dirinya pada eksistensi di media sosial, segala tindak tanduk dirasa perlu untuk menjadi konten yang meningkatkan like atau engagement. Dalam kondisi terkena cancel culture, dunia media sosial tak lagi penting untuk diincar sehingga justru menjadi kesempatan untuk memeluk hidup sepenuhnya di hadapan.
6. Lakukan apa yang selama ini diinginkan, tetapi terhalang waktu atau tuntutan memuaskan banyak orang. Dengarkan musik kesenangan, bacalah buku yang disukai, yang semuanya dilakukan demi kegiatan itu sendiri, tak punya kepentingan untuk mendapat penilaian orang lain. Cancel culture adalah kesempatan untuk menjauh dari tatapan publik dan mental kawanan, untuk lebih menghayati keinginan diri dan membentuk mental tuan.
7. Komunitas agama adalah komunitas yang ternyata menarik dalam kondisi semacam ini. Sebagian dari mereka adalah orang-orang yang juga mengalami rungkad dan bahkan tak menganggap buruk apa yang dialami oleh diri kita. Sebaliknya, kerungkadan justru dipahami sebagai sarana untuk penempaan dan pembersihan dari dosa-dosa. Rungkad adalah semacam kehendak Tuhan untuk memurnikan kita, sebagai sesuatu yang justru dicari dan dirindukan.
8. Filsafat eksistensialisme atau filsafat yang mengajukan pertanyaan perkara keberadaan manusia adalah jenis filsafat yang menarik untuk dipelajari di kala galau. Galaunya itu biasanya dipicu oleh macam-macam mulai dari patah hati, ditinggal pergi orang terdekat, kecemasan akan mati, pertanyaan tentang masa depan hidup, dan banyak lagi. Namun dalam kondisi mengalami penderitaan dahsyat, filsafat eksistensialisme kadang tak seberapa menarik lagi. Alasannya, kita sudah terlampau relate dengan pengalaman-pengalaman mereka yakni orang-orang seperti Camus, Nietzsche, atau Kierkegaard. Kita adalah sekaligus mereka, dan bahkan melampauinya.
9. Hal mengerikan dari kena cancel culture adalah kenyataan bahwa kita dijauhi oleh banyak orang, terutama oleh sirkel atau jaringan tempat kita bernaung. Namun lama kelamaan, tak perlu ambil pusing dengan kehilangan banyak teman itu. Mungkin memang sudah tidak cocok, mungkin memang "sudah waktunya" bahwa kita tak lagi bersama mereka. Maka itu, daripada dihantui pikiran buruk tentang kekurangan-kekurangan yang membuat kita dijauhi, lebih baik tanamkan sikap: bahwa kita lah yang menjauhi dan meng-cancel mereka. Bahkan kita sudah duluan melakukannya.
10. Pada akhirnya, hal yang pada mulanya dianggap sebagai masalah itu, sebenarnya tak lebih dari perubahan dalam hidup saja. Di sana ada pergantian pekerjaan, pergantian suasana lingkungan, pergantian teman-teman, yang menjadi titik penanda dalam perjalanan hidup kita. Hidup itu sendiri berjalan terus menuju garis finis bernama kematian. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa masalah sebesar apapun, seiring waktu, menjadi "tidak ada apa-apa" selain sekadar perubahan besar yang bisa dialami oleh siapapun.
Comments
Post a Comment