Skip to main content

Tentang Pemikiran Marquis de Sade

Sekilas tentang Marquis de Sade   Marquis de Sade lahir di Paris, 2 Juni 1740 dengan nama Donatien Alphonse François de Sade. Ayahnya adalah tuan tanah dan pemilik properti sehingga dapat dikatakan bahwa de Sade berasal dari keluarga aristokrat. Pada usia 10 – 14 tahun, de Sade bersekolah di sekolah Yesuit bernama Louis le Grand. Di sekolah tersebut, de Sade sering mendapat hukuman penderaan atau pencambukan ( flagellation ). Tidak hanya itu, ia juga sering melihat orang-orang di sekolah tersebut mencambuk dirinya sendiri sebagai hukuman.  Semasa hidupnya, de Sade sering keluar masuk penjara dengan tuduhan terkait penistaan ( blasphemy ) dan percobaan pembunuhan. Artinya, perilaku seksual ganjil de Sade yang seringkali melakukan penyiksaan dalam melakukan hubungan seksual tidak masuk ke dalam alasan mengapa ia sering dipenjara. De Sade menikah dengan Renée-Pelagie yang meski mengetahui perilaku seksualnya yang ganjil, setia menemaninya hingga lebih dari dua puluh tahun. Meski ...

Tentang Pemikiran Marquis de Sade



Sekilas tentang Marquis de Sade 

Marquis de Sade lahir di Paris, 2 Juni 1740 dengan nama Donatien Alphonse François de Sade. Ayahnya adalah tuan tanah dan pemilik properti sehingga dapat dikatakan bahwa de Sade berasal dari keluarga aristokrat. Pada usia 10 – 14 tahun, de Sade bersekolah di sekolah Yesuit bernama Louis le Grand. Di sekolah tersebut, de Sade sering mendapat hukuman penderaan atau pencambukan (flagellation). Tidak hanya itu, ia juga sering melihat orang-orang di sekolah tersebut mencambuk dirinya sendiri sebagai hukuman. 

Semasa hidupnya, de Sade sering keluar masuk penjara dengan tuduhan terkait penistaan (blasphemy) dan percobaan pembunuhan. Artinya, perilaku seksual ganjil de Sade yang seringkali melakukan penyiksaan dalam melakukan hubungan seksual tidak masuk ke dalam alasan mengapa ia sering dipenjara. De Sade menikah dengan Renée-Pelagie yang meski mengetahui perilaku seksualnya yang ganjil, setia menemaninya hingga lebih dari dua puluh tahun. Meski demikian, ibu mertua de Sade sangat membenci dan memusuhi de Sade. Berkali-kali ibu mertuanya ini mengusahakan agar de Sade dapat dipenjara tanpa pengadilan dan bahkan diusir keluar dari Paris. 

De Sade pernah dipenjara di Bastille (tempat penyekapan tahanan politik) dan di sana ia menyelesaikan karyanya yang terkenal, The 120 Days of Sodom (1785). Novelnya tersebut ditulis dalam kertas sepanjang kurang lebih dua puluh meter dan awalnya tidak ada niatan untuk dipublikasikan. De Sade sendiri keluar dari penjara tersebut sepuluh hari sebelum kejadian penyerbuan penjara Bastille (14 Juli 1789). Setelah bebas, de Sade menerbitkan karya-karya lain yaitu Justine, Philosophy of the Bedroom, dan Juliette secara anonim. Pada tahun 1801, setelah membaca Justine dan Juliette, Napoleon memerintahkan penulisnya untuk ditangkap. Karena tidak ada nama penulisnya, maka polisi mencarinya ke tempat penerbitan buku-buku tersebut dan ternyata menemukan de Sade di sana. De Sade kemudian dipenjara namun tidak lama kemudian, dipindahkan ke rumah sakit jiwa di Charenton dan meninggal di sana tahun 1814 pada usia 74 tahun. 

Sepanjang hidupnya, de Sade dikenal sebagai seorang libertin yang bebas dalam mempraktikkan seksualitas hingga tahap yang paling ekstrem. De Sade melakukan hubungan seksual yang melibatkan sodomi, eksperimen dengan alat-alat tertentu, penyiksaan, incest, pedofilia, dan bahkan pembunuhan dengan cara-cara yang sadis (istilah sadisme diambil dari nama de Sade). Kehidupan de Sade tersebut juga tampak dari karya-karya seperti dalam 120 Days of Sodom yang menceritakan tentang orang-orang kaya dan berkuasa yang kemudian mempraktikkan pesta seks, penyiksaan, dan pembunuhan terhadap orang-orang berusia 12 – 15 tahun yang disekap dalam sebuah kastil. Justine (1791) menceritakan tentang anak yatim piatu bernama Justine yang pergi keluar dari Prancis untuk mengadu nasib. Dalam perjalanannya, setiap Justine percaya pada orang asing, hal yang terjadi kemudian adalah Justine dijadikan objek seksual. 

Philosophy in the Bedroom (1795) menceritakan tentang Eugénie, perempuan berusia lima belas tahun yang perawan dan sangat polos tentang apapun yang berhubungan dengan seksualitas. Eugénie kemudian mendapatkan pendidikan seks dari berbagai orang hingga akhirnya penilaiannya tentang moral menjadi berubah. Juliette (1799) menceritakan tentang saudara dari Justine, Juliette yang menerima pelajaran tentang pentingnya “menikmati hidup” tanpa peduli urusan Tuhan, moralitas, dan cinta. Juliette mengaplikasikannya dengan kebebasan seksual tanpa batas hingga melakukan pembunuhan. 

Filsafat tentang Marquis de Sade 

Pembacaan tentang kehidupan dan karya Marquis de Sade dapat dibagi ke dalam empat poin berikut ini: 

1. Analisis atas Keganjilan 

Keganjilan atau penyimpangan (perversion) perlu dibedakan dengan kejahatan murni. Jika ditelisik, nilai suatu tindakan dapat ditentukan lewat tiga hal yaitu niat, perbuatan, serta hasil. Kejahatan murni mensyaratkan niat jahat, perbuatan jahat, serta hasil yang jahat, sementara keganjilan tidak selalu dilandasi niat yang jahat. Dalam keganjilan, alih-alih menyebutnya sebagai niat jahat, terkadang lebih tepat menganggapnya sebagai kelemahan moral (moral weaknesses). Jika dicoba dirumuskan, maka keganjilan dapat dipahami melalui analisis berikut ini: 

S tahu bahwa x itu baik dan ia harus melakukan tindakan untuk memenuhi x, tetapi entah kenapa S lebih memilih y yang merupakan hal yang kebalikan dari x. S lebih memilih y bukan karena suatu nilai yang lebih tinggi dari x, tetapi ia hanya ingin membatalkan komitmen dan menabrak norma (dan merasa mendapatkan kenikmatan dengan melakukannya) dengan tidak melakukan tindakan untuk memenuhi x. S kemudian tidak hanya berhenti di y, tetapi ia bisa juga bolak-balik untuk melakukan x. 

Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat bahwa S memilih y tanpa alasan yang jelas dan ia merasakan kenikmatan saat melakukan tindakan yang tidak koheren secara moral. Hal yang membedakannya dengan kejahatan murni adalah S punya kapasitas untuk tetap melakukan x tanpa punya perasaan “bersalah”. Penerapan dari rumus tersebut dapat kita lihat dari perilaku kleptomania atau senang mencuri. Orang dengan kleptomania ia tahu bahwa untuk memiliki suatu barang, ia harus membelinya. Namun ia memutuskan mencuri bukan karena ia menganggap mencuri itu suatu nilai yang lebih tinggi dari membeli, melainkan karena ia menganggap dengan mencuri, maka ia melawan norma dan mendapatkan kenikmatan dari hal tersebut. Artinya, orang dengan kleptomania ia bukannya tidak punya uang untuk membeli, melainkan hanya ingin mencuri saja. 

Meski demikian, rumus di atas bukanlah sesuatu yang baku karena bisa saja orang melakukan keganjilan karena alasan yang sama sekali tidak rasional. Dalam kasus lain, keganjilan dilakukan karena ketidakmampuan memahami batas antara realitas dan fantasi. Apa yang dibayangkan, kemudian dianggap sebagai sesuatu yang bisa diterapkan secara bebas di dunia nyata. 

2. Tentang Kondisi Alamiah 

Berpikir tentang kondisi alamiah dilakukan oleh sejumlah pemikir politik dan sosial seperti misalnya Thomas Hobbes dengan bayangannya bahwa manusia pada dasarnya adalah jahat dan cenderung saling mengalahkan; John Locke dengan bayangannya bahwa manusia pada dasarnya bebas dan setara; ataupun J.J. Rousseau dengan bayangannya bahwa manusia pada dasarnya baik sebelum dirusak oleh rasionalitas dan peradaban. Dalam bayangan de Sade, kondisi alamiah dibayangkan sebagai keterputusan antara alam dengan manusia. Keduanya berjalan tanpa saling peduli: alam tidak memerlukan apapun dari manusia, ia terus menghancurkan dan mencipta, dan manusia juga berjalan sendiri dengan aktivitasnya. Sehingga dengan demikian, manusia sudah dengan sendirinya “mati” (karena ketidakterhubungan ini). Jadi, titik ekstremnya adalah pertanyaan: untuk apa peduli pada hidup? 

3. Kritik Sosial 

Jelas bahwa melalui sejumlah tokoh yang ada dalam karya-karya de Sade, ia ingin menunjukkan bahwa status sosial tertentu yang dianggap mulia (pejabat, agamawan) tidak selalu memiliki berkorelasi dengan keluhuran moral. Misalnya, dalam Juliette, de Sade menampilkan tokoh Paus yang juga kemudian melakukan hal-hal ganjil. Kemudian, dalam pandangan de Sade, terlihat bahwa norma moral adalah konsep yang kosong dan tidak lebih dari sekadar kesepakatan. Pendapatnya ini kelihatan bertentangan dengan semangat zamannya (Pencerahan) yang umumnya menguniversalkan segala sesuatu. Bagi de Sade, norma adalah sesuatu yang sangat kontekstual. Dalam The 120 Days of Sodom, tampak bahwa dibangun semacam norma sendiri di dalam kastil yang terisolasi. 

Hal yang penting dalam pemikiran de Sade adalah konsep kebebasannya yang menurutnya tidak terbatas. Orang tidak hanya harus “bebas dari”, tetapi juga harus sekaligus “bebas untuk”. Namun de Sade mensyaratkan situasi teatrikal untuk mendukung kondisi ini. Dalam “teater”, orang bebas melakukan apa saja karena semua terjadi atas suatu kesepakatan dalam mengadakan “pertunjukan”. Misalnya, di dalam “teater”, mereka yang berkuasa di dunia nyata bisa menjadi sangat submisif dan sebaliknya, mereka yang sering ditindas di dunia nyata bisa menjadi sangat berkuasa. 

4. Kesakitan dan Kenikmatan 

Dalam kehidupan maupun karya-karya de Sade, tampak bahwa ia begitu mengeksplorasi kesakitan sebagai bagian dari kenikmatan (atau sebaliknya?). Hubungan antara kesakitan dan kenikmatan dapat dilihat dalam relasi sebagai berikut: kesakitan sebagai prasyarat dari kenikmatan atau kesakitan sebagai kenikmatan itu sendiri. Tentang kesakitan sebagai prasyarat dari kenikmatan, dapat ditunjukkan lewat bagaimana orang memandang kenikmatan sebagai tujuan. Misalnya, orang berpuasa, ia menahan lapar dan “sakit” agar nanti mendapatkan kenikmatan yang lebih. Namun kelihatannya de Sade lebih condong pada yang kedua, ia menjadikan kesakitan dan kenikmatan sebagai dua hal yang tidak terpisahkan. Dapat dikatakan bahwa de Sade merasakan kenikmatan pada rasa sakit itu sendiri. Perlu diingat bahwa keterhubungan antara kesakitan dan kenikmatan ini, pada titik tertentu, adalah kerja rasional. Terdapat pertimbangan penuh dalam menghubungkan dua unsur tersebut. Hal ini masih terkait dengan pemaparan sebelumnya tentang “teater”: terdapat kesadaran dari seluruh “aktor” di dalamnya untuk menjadikan rasa sakit adalah rasa nikmat (meski tentu kemungkinan untuk “hilang kesadaran” di tengah “pertunjukan” sangat besar). 

Pertimbangan-Pertimbangan 

Berdasarkan penjabaran di atas, kita dapat merenungkan hal-hal berikut ini terkait dengan karya dan kehidupan Marquis de Sade: 

  • Manusia adalah makhluk yang mulia dan kotor sekaligus. De Sade mengajak kita untuk menjelajah pada dimensi yang “kotor” ini sampai pada tingkat yang terjauh. Dengan demikian, aspek kemuliaan menjadi lebih terang (?). Dalam level sosial, kita “memerlukan” orang-orang seperti de Sade untuk mendefinisikan kebaikan moral. 
  • Apakah ada “unsur de Sade” dalam diri kita masing-masing (dalam porsi tertentu), sehingga meski kita mengutuknya, tetapi kita juga diam-diam menerimanya sebagai bagian dari diri kita? • Menawarkan penjelasan yang lebih kompleks terhadap sadisme, masokhisme, dan sado-masokhisme, dengan tidak sesederhana memandangnya sebagai sebuah kejahatan saja atau kegilaan saja. Keganjilan adalah semacam tegangan di antara keduanya. 
  • Merenungkan ulang makna kebebasan: apakah yang dilakukan de Sade adalah realisasi dari kebebasan yang tanpa batas, atau ia justru menjadi tidak bebas di bawah kekangan hasratnya sendiri? 
Daftar Pustaka 

Airaksinen, Timo. (1995). Philosophy of the Marquis de Sade. New York: Routledge. 
Philips, John. (2005). The Marquis de Sade: A Very Short Introduction. Oxford: Oxford University Press.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...