Sekilas tentang Marquis de Sade Marquis de Sade lahir di Paris, 2 Juni 1740 dengan nama Donatien Alphonse François de Sade. Ayahnya adalah tuan tanah dan pemilik properti sehingga dapat dikatakan bahwa de Sade berasal dari keluarga aristokrat. Pada usia 10 – 14 tahun, de Sade bersekolah di sekolah Yesuit bernama Louis le Grand. Di sekolah tersebut, de Sade sering mendapat hukuman penderaan atau pencambukan ( flagellation ). Tidak hanya itu, ia juga sering melihat orang-orang di sekolah tersebut mencambuk dirinya sendiri sebagai hukuman. Semasa hidupnya, de Sade sering keluar masuk penjara dengan tuduhan terkait penistaan ( blasphemy ) dan percobaan pembunuhan. Artinya, perilaku seksual ganjil de Sade yang seringkali melakukan penyiksaan dalam melakukan hubungan seksual tidak masuk ke dalam alasan mengapa ia sering dipenjara. De Sade menikah dengan Renée-Pelagie yang meski mengetahui perilaku seksualnya yang ganjil, setia menemaninya hingga lebih dari dua puluh tahun. Meski ...
Konsep musik dan konsep fenomenologi rasanya menjadi dua hal yang tidak terlalu sulit untuk dikaitkan. Lewat mendengarkan musik, emosi kita mudah sekali untuk terpantik, dan biasanya terkorelasikan dengan pengalaman tertentu. Musik menjadi fenomena itu sendiri, fenomena yang langsung hadir “menyingkapkan dirinya” dan kita, saat berhadapan dengan musik, tidak jarang untuk tampil “telanjang” - tanpa asumsi dan presuposisi -. Artinya, kita akan lebih mudah membayangkan apa itu fenomenologi dan cara bekerjanya mungkin dari bagaimana musik menampilkan dirinya pada kita. Untuk itu, kita akan membaca sejumlah versi dari fenomenologi, terutama saat mengaitkannya dengan musik, lewat para pemikir yang akan dijabarkan berikut ini.
Selayang Pandang Fenomenologi
Sebagai sebuah gerakan intelektual, fenomenologi bermula dari pemikiran Edmund Husserl (1859 – 1938). Dengan slogan “kembali pada sesuatu dalam dirinya sendiri”, Husserl melihat bahwa seluruh teori seharusnya dimulai dari analisis terhadap fenomena sebagaimana fenomena tersebut menampakkan diri. Ia menyebutnya sebagai “reduksi transendental” untuk menunda segala bentuk prakonsepsi, kepercayaan ontologis, dan berbagai teori, agar kita dapat menginvestigasi fenomena secara langsung dan murni. Dalam fenomenologi, tahap tersebut disebut juga dengan tahap penempatan dalam tanda kurung atau “bracketing”.
Kemudian tahap berikutnya dalam fenomenologi adalah “reduksi eidetis” yang membuat fenomena direduksi pada fiturnya yang paling esensial. Pada ujungnya, fenomenologi mestinya menghasilkan suatu konsitusi makna yang baru, yang sebelumnya sukar ditemukan karena jalan pikir kita yang terdistorsi oleh berbagai asumsi. Husserl kemudian melibatkan pentingnya aspek historis, kultural, dan kehidupan masyarakat yang kita tinggali, yang disebutnya dalam istilah lebenswelt.
Murid Husserl, Martin Heidegger (1889 – 1976), meski mengiyakan sebagian prinsip gurunya, tetapi juga mengajukan keberatan terkait pemikiran Husserl yang memandang fenomenologi terikat dengan intensionalitas atau keterarahan terhadap sesuatu. Kata Husserl, jika kita hendak menelaah fenomena, kesadaran kita harus diarahkan pada fenomena tersebut. Hal ini, bagi Heidegger, tidak sepenuhnya benar karena fenomena tersebut sudah terlebih dahulu ada sebelum kesadaran kita. Kita baru menyadari fenomena itu ada karena relasinya dengan keseharian kita. Selain itu, Heidegger juga mengritik Husserl yang masih mencoba mencari-cari “fitur paling esensial” dalam “reduksi eidetis”. Padahal pencarian “fitur paling esensial”, menurut Heidegger, menunjukkan masih adanya upaya subjek untuk “mengobjektivikasi” fenomena.
Meski demikian, fenomenologi musik dapat dikatakan sangat terpengaruh oleh pemikiran Maurice Merleau-Ponty (1908 – 1961) yang menganggap bahwa kita menerima dunia dengan seluruh tubuh kita dan bukan sebatas lewat pikiran saja. Dengan demikian, musik tidak dipahami secara kognisi saja, melainkan oleh segala fakultas di dalam tubuh kita.
Pemikiran Fenomenologi Musik
Pemikir pertama yang akan dibahas dalam artikel ini adalah Roman Ingarden (1893 – 1970). Ingarden kelihatannya membatasi pandangan fenomenologinya pada karya musik yang bertalian dengan tradisi “musik klasik” (meski ia sendiri tampak kurang menyadari hal ini). Ingarden berusaha untuk menemukan dimensi ontologi dari karya musik sebagai sesuatu yang melampaui baik partitur maupun penampilan dari pemusik. Ingarden tentu menganggap bahwa partitur ini sesuatu yang sangat penting sebagai “perekam” karya. Namun sekali lagi, partitur bukanlah musik itu sendiri. Partitur harus dimainkan oleh pemusik yang menurut Ingarden, secara natur agak sulit untuk menghindari subjektivitas dalam menafsir suatu karya. Menurut Ingarden, sikap improvisatoris dari pemusik ini membahayakan identitas dari si karya. Sehingga dengan demikian, Ingarden menawarkan istilah Irrelevanzsphäre sebagai batas dari interpretasi musikal yang seminimal mungkin, selama tidak mencederai si karya. Singkatnya, Ingarden melihat karya musik sebagai fenomena “pada dirinya sendiri” yang bisa tampil ke hadapan kita melalui pemusik, sehingga pemusik, untuk menjaga kemurnian fenomena, mesti menafsir dengan tepat dan mengurangi “pendapat” subjektif yang terlalu jauh.
Kemudian pemikir berikutnya adalah F. Joseph Smith yang mengusulkan istilah “akumenologi” yang artinya dapat diurai sebagai berikut: bagi Smith, saat kita mendengarkan musik, kita mendengarkan suatu gerakan nada (masa sekarang) yang terikat erat dengan apa yang lampau (yang ada di dalam ingatan) dan apa yang ada di masa depan (yang kita akan antisipasi). Pada awalnya, kita mengenali fenomena musik dengan cara yang pasif, sebelum kemudian berkembang menjadi aktif dan terkategorisasi. Pengalaman bersentuhan langsung dengan musik, menurut Smith, disebut sebagai pengalaman “pra-intelektual”, yang hampir mirip dengan argumen Husserl tentang “bracketing”, yaitu menjauhkan kita untuk secara terburu-buru memasukkan musik yang kita dengar pada kategorisasi intelektual. Bagi Smith, musik adalah sesuatu yang komunal, pengalaman intersubjektif yang terhubung antara komposer, pemain, dan pendengar. Saat musik diperdengarkan, kita masuk pada pengalaman komunal yang memerlukan sikap dialogis dan saling menerima satu sama lain. Musik bukan sekadar hasil permainan kelompok atau individual yang saling meredam ego untuk menginterpretasi sebaik-baiknya karya komposer, tetapi juga bertalian dengan sikap aktif pendengar yang turut berpartisipasi dalam proses keseluruhan. Sehingga musik hanya menjadi utuh jika terhubung dengan pendengarnya (yang tidak hanya pasif, melainkan aktif mendengarkan).
Lawrence Ferrara (lahir tahun 1949) semakin menegaskan Smith bahwa musik perlu didekati secara holistik. Ferrara membagi pendekatan fenomenologis terhadap musik ini ke dalam tiga metode yaitu pertama, metode “fenomenologis deskriptif” untuk menunjukkan pengalaman aktual kita terkait musik yang sedang didengarkan; kedua, metode “fenomenologis-hermeneutis” untuk menunjukkan konteks ketika suatu musik muncul dan diperdengarkan, dan ketiga, metode “formal-konvensional” untuk menganalisis bentuk-bentuk musik. Ferrara mengatakan bahwa tiga bentuk metode tersebut tidak berkompetisi satu sama lain, melainkan saling melengkapi dan mendukung. Dengan dipakainya tiga pendekatan tersebut secara holistik, karya musik menjadi “menyingkap dirinya sendiri” secara lebih utuh.
Ferrara kemudian menawarkan sepuluh langkah agar metode fenomenologi ini dapat diterapkan secara baik. Sepuluh langkah tersebut adalah sebagai berikut: (1) mempertimbangkan kerangka historis dari karya dalam konteks sejarah musik dan juga karya-karya lain dari si komposer, (2) memahami struktur si karya musik dengan mendengarkannya secara berulang-ulang, (3) secara berhati-hati memperhatikan struktur dari si karya, atau bagaimana bentuk dari karya musik tersebut dibangun, (4) mengeksplisitkan deskripsi fenomenologis sebagaimana musik tersebut sedang didengarkan, (5) mencari kemungkinan apa yang direpresentasikan oleh musik tersebut, (6) mempertimbangkan apakah karya musik tersebut mengekspreksikan atau merepresentikan perasaan atau emosi manusia, (7) menyelidiki “dunia onto-historis” dari si komposer sebagai landasan dunia tempat karya ini muncul, (8) mendengarkan kembali si musik dan mencoba menemukan serta mempertemukan analisis di langkah-langkah sebelumnya, (9) membuat komentar terkait tempo, dinamika, bagan, kalimat, dan “pesan” utama dari si karya, serta terakhir, (10) membuat “meta-kritik” dari seluruh proses di atas dengan melihat kelebihan serta kekurangan dari interaksi antar metode.
Daftar Referensi
Gracyk T. & Kania, A. (2011). The Routledge Companion to Philosophy and Music. Abingdon: Routledge.
Smith, F.J. (1979). The Experiencing of Musical Sound: Prelude to a Phenomenology of Music, New York: Gordon and Breach.
Comments
Post a Comment