Ramai soal Gus Miftah. Tak perlu diceritakan detailnya di sini. Lagipula, saya tak merasa harus mengomentari kata-kata Gus Miftah terhadap pedagang es teh. Bagi saya, hal yang lebih menarik adalah reaksi publik yang begitu masif, diantaranya dengan menyebarkan konten bertuliskan "lebih baik jualan es teh, daripada jualan agama". Selain itu, ada juga petisi yang berisi tuntutan kepada Presiden untuk mencopot jabatan Gus Miftah dari posisinya sebagai utusan khusus. Apapun itu, saya menilainya sebagai bentuk isyarat kebajikan atau virtue signaling.
Tak ada yang benar-benar peduli pada Gus Miftah atau tukang es teh. Masing-masing hanya memperagakan suatu sikap yang sejalan dengan apa yang sedang ramai. Jika benar-benar ditanya apakah Anda bersedia jualan es teh? Saya yakin sebagian besar menjawab tidak, bahkan dalam hatinya mungkin merasa lebih baik jualan agama karena sudah pasti lebih menguntungkan.
Dalam pandangan publik, pergulatannya sederhana sekali: mereka membangun persepsi di kepalanya sendiri tentang tokoh baik (tukang es teh, masyarakat kelas bawah yang ditindas oleh penguasa beraliran kanan konservatif) dan tokoh jahat (Gus Miftah, utusan Presiden yang punya kuasa dengan jubah religius). Intinya, si tokoh jahat harus kalah, mati dengan menderita, atas hukumannya karena telah bertindak sewenang-wenang pada golongan rakyat yang tak berdaya. Publik hanya ingin melihat tontonan itu dan sebisa mungkin ikut main di dalamnya, untuk kepentingannya sendiri, untuk memuaskan birahinya sendiri.
Disinilah lagi-lagi mekanisme isyarat kebajikan bekerja. Pada dasarnya, tak semua orang dalam lautan massa yang marah itu memiliki prinsip tentang keberpihakan pada rakyat kecil. Bisa jadi hati kecilnya juga menikmati penghujatan yang dilakukan Miftah terhadap tukang es teh - bahkan orang-orang justru melakukannya setiap hari dalam skala yang lain (sambil menjilati pantat penguasa). Mereka ingin menjadi Gus Miftah dalam kesewenang-wenangan posisinya, tetapi berjanji untuk lebih berhati-hati agar tidak tertangkap video dan menjadi viral.
Inilah dunia media sosial yang memberi jalan bagi mereka yang tak punya waktu untuk berkontemplasi menemukan kebajikan. Karena kebajikan sudah tersedia dalam bentuk topik yang sedang trending, untuk kemudian ditunggangi ramai-ramai. Pada setiap usaha "menaiki ombak" ini, bagi orang tertentu, terdapat kepentingan diri yang teramat kuat untuk menambah follower, engagement, dan bahkan memonetisasinya.
Pada akhirnya, baik Gus Miftah maupun tukang es teh, keduanya adalah objek belaka untuk mencari keuntungan dari pedagang sesungguhnya: para virtue signaler, orang-orang penjual moral.
Comments
Post a Comment