Skip to main content

Tentang Pemikiran Marquis de Sade

Sekilas tentang Marquis de Sade   Marquis de Sade lahir di Paris, 2 Juni 1740 dengan nama Donatien Alphonse François de Sade. Ayahnya adalah tuan tanah dan pemilik properti sehingga dapat dikatakan bahwa de Sade berasal dari keluarga aristokrat. Pada usia 10 – 14 tahun, de Sade bersekolah di sekolah Yesuit bernama Louis le Grand. Di sekolah tersebut, de Sade sering mendapat hukuman penderaan atau pencambukan ( flagellation ). Tidak hanya itu, ia juga sering melihat orang-orang di sekolah tersebut mencambuk dirinya sendiri sebagai hukuman.  Semasa hidupnya, de Sade sering keluar masuk penjara dengan tuduhan terkait penistaan ( blasphemy ) dan percobaan pembunuhan. Artinya, perilaku seksual ganjil de Sade yang seringkali melakukan penyiksaan dalam melakukan hubungan seksual tidak masuk ke dalam alasan mengapa ia sering dipenjara. De Sade menikah dengan Renée-Pelagie yang meski mengetahui perilaku seksualnya yang ganjil, setia menemaninya hingga lebih dari dua puluh tahun. Meski ...

Tentang Gus Miftah dan Reaksi Publik


Ramai soal Gus Miftah. Tak perlu diceritakan detailnya di sini. Lagipula, saya tak merasa harus mengomentari kata-kata Gus Miftah terhadap pedagang es teh. Bagi saya, hal yang lebih menarik adalah reaksi publik yang begitu masif, diantaranya dengan menyebarkan konten bertuliskan "lebih baik jualan es teh, daripada jualan agama". Selain itu, ada juga petisi yang berisi tuntutan kepada Presiden untuk mencopot jabatan Gus Miftah dari posisinya sebagai utusan khusus. Apapun itu, saya menilainya sebagai bentuk isyarat kebajikan atau virtue signaling

Tak ada yang benar-benar peduli pada Gus Miftah atau tukang es teh. Masing-masing hanya memperagakan suatu sikap yang sejalan dengan apa yang sedang ramai. Jika benar-benar ditanya apakah Anda bersedia jualan es teh? Saya yakin sebagian besar menjawab tidak, bahkan dalam hatinya mungkin merasa lebih baik jualan agama karena sudah pasti lebih menguntungkan. 

Dalam pandangan publik, pergulatannya sederhana sekali: mereka membangun persepsi di kepalanya sendiri tentang tokoh baik (tukang es teh, masyarakat kelas bawah yang ditindas oleh penguasa beraliran kanan konservatif) dan tokoh jahat (Gus Miftah, utusan Presiden yang punya kuasa dengan jubah religius). Intinya, si tokoh jahat harus kalah, mati dengan menderita, atas hukumannya karena telah bertindak sewenang-wenang pada golongan rakyat yang tak berdaya. Publik hanya ingin melihat tontonan itu dan sebisa mungkin ikut main di dalamnya, untuk kepentingannya sendiri, untuk memuaskan birahinya sendiri. 

Disinilah lagi-lagi mekanisme isyarat kebajikan bekerja. Pada dasarnya, tak semua orang dalam lautan massa yang marah itu memiliki prinsip tentang keberpihakan pada rakyat kecil. Bisa jadi hati kecilnya juga menikmati penghujatan yang dilakukan Miftah terhadap tukang es teh - bahkan orang-orang justru melakukannya setiap hari dalam skala yang lain (sambil menjilati pantat penguasa). Mereka ingin menjadi Gus Miftah dalam kesewenang-wenangan posisinya, tetapi berjanji untuk lebih berhati-hati agar tidak tertangkap video dan menjadi viral. 

Inilah dunia media sosial yang memberi jalan bagi mereka yang tak punya waktu untuk berkontemplasi menemukan kebajikan. Karena kebajikan sudah tersedia dalam bentuk topik yang sedang trending, untuk kemudian ditunggangi ramai-ramai. Pada setiap usaha "menaiki ombak" ini, bagi orang tertentu, terdapat kepentingan diri yang teramat kuat untuk menambah follower, engagement, dan bahkan memonetisasinya. 

Pada akhirnya, baik Gus Miftah maupun tukang es teh, keduanya adalah objek belaka untuk mencari keuntungan dari pedagang sesungguhnya: para virtue signaler, orang-orang penjual moral. 

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...