Skip to main content

Tentang Pemikiran Marquis de Sade

Sekilas tentang Marquis de Sade   Marquis de Sade lahir di Paris, 2 Juni 1740 dengan nama Donatien Alphonse François de Sade. Ayahnya adalah tuan tanah dan pemilik properti sehingga dapat dikatakan bahwa de Sade berasal dari keluarga aristokrat. Pada usia 10 – 14 tahun, de Sade bersekolah di sekolah Yesuit bernama Louis le Grand. Di sekolah tersebut, de Sade sering mendapat hukuman penderaan atau pencambukan ( flagellation ). Tidak hanya itu, ia juga sering melihat orang-orang di sekolah tersebut mencambuk dirinya sendiri sebagai hukuman.  Semasa hidupnya, de Sade sering keluar masuk penjara dengan tuduhan terkait penistaan ( blasphemy ) dan percobaan pembunuhan. Artinya, perilaku seksual ganjil de Sade yang seringkali melakukan penyiksaan dalam melakukan hubungan seksual tidak masuk ke dalam alasan mengapa ia sering dipenjara. De Sade menikah dengan Renée-Pelagie yang meski mengetahui perilaku seksualnya yang ganjil, setia menemaninya hingga lebih dari dua puluh tahun. Meski ...

Musik dan Filsafat Analitik




Akar dari keterkaitan antara musik dan filsafat analitik dapat ditarik ke argumen Immanuel Kant terkait keindahan yang seharusnya tidak bertujuan dan tidak berkepentingan (disinterestedness). Eduard Hanslick (1825 – 1904) seolah meneruskan pendapat Kant tersebut dalam konteks musik lewat bukunya yang berjudul On the Musically Beautiful. Hanslick menganggap bahwa musik seharusnya berdiri sendiri sebagai sebuah bentuk tanpa memiliki relasi dengan subjektivitas pendengarnya. 

Sekilas Filsafat Analitik 

Filsafat analitik sebagai sebuah aliran tersendiri, jika dilacak, memang baru dimulai di awal abad ke-20. Berkembang umumnya di kalangan pemikir Inggris seperti Bertrand Russell dan G.E. Moore, filsafat analitik menitikberatkan kajiannya pada logika formal dan matematika sebagai landasan dalam kejernihan berfilsafat. Artinya, berbeda dengan filsafat kontinental yang berpusat pada pemaknaan dan penafsiran yang berhubungan dengan historisitas dan aspek kultural, filsafat analitik menganggap bahwa kita tidak mengatakan apapun jika persoalan bahasa tidak diselesaikan secara tuntas. Selain tentang logika formal dan matematika, filsafat analitik juga masuk pada pembahasan tentang kerja akal budi dan berbagai kajian terkait sains kognisi. 

Filsafat analitik enggan terburu-buru untuk mengaitkan filsafat dengan “konteks”, melainkan menelaah pernyataan filosofis secara ketat sebelum menautkannya dengan “kenyataan”. Misalnya, dalam pembahasan mengenai etika, filsafat analitik tidak langsung mengaitkan antara etika dalam kaitannya dengan hubungan sesama manusia yang “seharusnya”, tetapi lebih pada mempertanyakan natur dari istilah “baik” dan “buruk” itu sendiri sebagai suatu problematika bahasa. Filsafat analitik, meminjam istilah G.E. Moore, enggan jatuh pada naturalistic fallacy atau mencampuradukkan apa yang “baik” dengan yang “menyenangkan” atau “diinginkan” sehingga konsepsi “baik” itu sendiri menjadi gagal untuk didefinisikan. 

On the Musically Beautiful 

Meski ditulis sebelum kemunculan filsafat analitik sebagai sebuah aliran tersendiri, On the Musically Beautiful (1854) yang ditulis oleh Eduard Hanslick nampak mempunyai kedekatan dengan ciri-ciri filsafat analitik. Bagi Hanslick, musik harus dilihat sebagai bentuk yang berdiri sendiri dan tidak bercampuraduk dengan emosi subjektif dari pendengarnya – perhatikan betapa miripnya argumen ini dengan keberatan G.E. Moore terkait naturalistic fallacy -. Hanslick menegaskan hal tersebut dalam kalimat berikut ini, “Keindahan sebuah karya secara spesifik adalah tentang apa yang musikal, yang terkandung secara inheren di dalam hubungan antar nada tanpa mengacu pada konteks ekstramusikal.” Seorang kritikus musik, lanjut Hanslick, seharusnya mengarahkan pendengar musik untuk konsentrasi ke arah sana (hal yang musikal secara spesifik) dan bukan luarannya. 

Bagaimana dengan posisi komposer dalam tulisan-tulisan Hanslick? Hanslick mencoba memisahkan kepribadian, identitas, dan kehadiran komposer di dalam sebuah karya musik. Hanslick berulangkali menegaskan bahwa di dalam komtemplasi murni, si pendengar tidak mendengarkan apa-apa kecuali hanya musik yang sedang dimainkan. Meski komposer adalah kreator dari karya musik, tetapi ketika ia selesai mencipta sebuah karya, maka karya tersebut menjadi otonom. Hal yang tersisa, bagi Hanslick, hanyalah karakter dari si komposisi, dan bukan si komposer. 

Berangkat dari keketatan Hanslick pada aspek musikal, ia menjadi penentang keras karya musik dari komposer seperti Richard Wagner, Anton Bruckner, dan Hugo Wolf yang menurutnya mendramatisasi musik dengan mengajak pendengarnya untuk terasosiasikan dengan sesuatu yang bukan-musik. Misalnya, karya Wagner seringkali berupaya untuk menjelaskan suatu narasi dalam karyanya, semacam mengangkat sebuah cerita. Bagi Hanslick, keindahan musik bukan terletak pada apa yang di luar musik, melainkan murni pada urusan bunyi dan pergerakannya (sound and motion). Kembali pada pembahasan terkait musik dan emosi, Hanslick mengatakan bahwa emosi tidak terkandung secara objektif di dalam musik itu sendiri, tetapi kehadirannya lebih karena interpretasi pendengarnya secara subjektif. Artinya, emosi tidak menjadi bahasan dalam estetika musik. Meskipun Hanslick mengakui bahwa musik punya kemampuan untuk “membangkitkan emosi”, tetapi itu tidak berarti bahwa musik, secara inheren, merepresentasikan suatu emosi. 

Kritik terhadap Pandangan Hanslick 

Hanslick bisa dikatakan membawa kita pada suatu absolutisme musik. Masa depan musik, menurut Hanslick, adalah terletak murni pada bentuknya. Tentu Hanslick memberikan sumbangsih kuat terhadap pemikiran mengenai musik, untuk menghindari kita dari pandangan psikologisme tentang musik seolah-olah musik bisa dikaitkan dengan apapun (padahal, jangan-jangan keterkaitan tersebut adalah perasaan kita saja tentang apa yang “menyenangkan” dan yang “diinginkan”). Hanslick mengajak kita untuk secara murni mengarahkan intensi pada unsur-unsur musikal itu sendiri dan mengeliminasi segala kemungkinan yang subjektif. 

Meski masih dianggap suatu pemikiran penting di dalam dunia musik, kita bisa mengajukan kritik pada pandangan Hanslick yaitu sebagai berikut: 

  1. Hanslick berfokus pada musik dalam kategori tertentu yang sangat spesifik seperti misalnya karya “tinggi” dalam musik barok dan romantik, tetapi mengabaikan – atau bisa dikatakan, meremehkan – jenis musik lainnya yang berkembang lebih organik dan punya peran sebagai bagian dari aspek kultural (misalnya, musik untuk ritual, musik untuk hiburan). Hanslick mengabaikan kenyataan musik sebagai fenomena universal yang ada di berbagai kebudayaan dengan fungsinya masing-masing. 
  2. Hanslick pada titik tertentu mereduksi musik pada sebatas suara dan pergerakannya dan melupakan musik sebagai suatu simbol yang memediasi ekspresi komposer dengan pendengarnya. Musik, dalam dimensi tertentu, bisa dikatakan sebagai “emanasi” dari alam pikiran si komposer. Dengan demikian, yang penting bukanlah si musik itu sendiri – karena musik hanya kendaraan saja –, tetapi integrasi dari totalitas pengalaman si komposer yang melebur bersama pengalaman si pendengar. 
  3. Aspek subjektivitas pendengar diabaikan oleh Hanslick sebagai sesuatu yang bernuansa psikologis dan “bukan musik”. Padahal, di sisi lain, pemaknaan dan konstruksi pendengar bisa memberi kekayaan bagi si musik itu sendiri. Misalnya, bisakah karya Mozart menjadi agung jika bukan dibesar-besarkan oleh pendengarnya, baik yang benar-benar mengerti unsur musikal dalam musik Mozart, ataupun yang menyukai Mozart secara personal (bukan karena musiknya, tapi karena mitos tentang sosok Mozart)? Keduanya kadang tidak bisa benar-benar dipisahkan. 
  4. Dalam bahasa analisis yang digunakan oleh Hanslick, ia sendiri tidak bisa melepaskan diri dari pernyataan “sastrawi” dan tidak bisa menghindar dari menyebut komposer, misalnya, dalam tulisannya tentang simfoni Unfinished dari Schubert tahun 1865: “Saat, setelah beberapa perkenalan, klarinet dan oboe dalam unison memulai kantilena dengan lemah lembut di atas bisikan biola, setiap anak mengenali si komposer, dan terdengar suara ‘Schubert’ yang dibisikkan di antara para audiens.” Hal ini sedikit banyak menunjukkan kontradiksi dalam pendekatan analitik Hanslick.

Daftar Referensi 

Beaney, M. (Ed.). (2013, 6). The Oxford Handbook of The History of Analytic Philosophy. Oxford: Oxford University Press.

Grimes, N., Donovan, S., & Marx, W. (Eds.). (2013). Rethinking Hanslick: Music, Formalism, and Expression. Rochester: University of Rochester Press. Retrieved from www.urpress.com. 


Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...