Skip to main content

Tentang Pemikiran Marquis de Sade

Sekilas tentang Marquis de Sade   Marquis de Sade lahir di Paris, 2 Juni 1740 dengan nama Donatien Alphonse François de Sade. Ayahnya adalah tuan tanah dan pemilik properti sehingga dapat dikatakan bahwa de Sade berasal dari keluarga aristokrat. Pada usia 10 – 14 tahun, de Sade bersekolah di sekolah Yesuit bernama Louis le Grand. Di sekolah tersebut, de Sade sering mendapat hukuman penderaan atau pencambukan ( flagellation ). Tidak hanya itu, ia juga sering melihat orang-orang di sekolah tersebut mencambuk dirinya sendiri sebagai hukuman.  Semasa hidupnya, de Sade sering keluar masuk penjara dengan tuduhan terkait penistaan ( blasphemy ) dan percobaan pembunuhan. Artinya, perilaku seksual ganjil de Sade yang seringkali melakukan penyiksaan dalam melakukan hubungan seksual tidak masuk ke dalam alasan mengapa ia sering dipenjara. De Sade menikah dengan Renée-Pelagie yang meski mengetahui perilaku seksualnya yang ganjil, setia menemaninya hingga lebih dari dua puluh tahun. Meski ...

Apa itu Musik?



Mendefinisikan apa itu musik tidaklah sederhana kelihatannya. Mungkin dengan mudah kita akan menyebut musik pada lagu yang diputar lewat Spotify, diperdengarkan di kafe atau restoran, dan dinikmati di pertunjukan musik. Namun bagaimana dengan suara-suara di jalanan dengan berbagai bunyi klakson dan knalpotnya? Bisa jadi kita akan menyebutnya sebagai kebisingan atau noise dan itu bukanlah musik. Hanya kemudian masalah baru menjadi muncul: siapa gerangan yang menentukan mana yang musik dan mana yang kebisingan? Bukankah apa yang kita sebut sebagai musik, bisa jadi merupakan “kebisingan yang teratur”? Di sisi lain, kemungkinan besar ada orang-orang di antara kita yang begitu menikmati bunyi kebisingan jalanan atau sebaliknya, bunyi tenang di alam terbuka, yang baginya, merupakan musik. 

Definisi paling sederhana tentang apa itu musik salah satunya dirumuskan di dalam buku ABC of Music (1963) yang disusun oleh Imogen Holst. Di sana, musik didefinisikan sebagai “gabungan antara melodi, harmoni, dan ritmik”. Namun kita juga bisa pertanyakan: tidakkah setiap bunyi, secara intrinsik, memiliki tiga unsur tersebut? Misalnya, apakah kita bisa memastikan bahwa dalam deru knalpot, langkah kaki, atau cuitan burung, tidak ada yang dinamakan sebagai melodi, harmoni, dan ritmik? Bagaimana dengan karya John Cage 4’33’’ yang isinya hanya tanda istirahat, apakah kita bisa menyebut itu sama sekali bukan musik? 

Kita bisa coba untuk menyederhanakan persoalan definisi ini pada urusan intensi. Edgard Varese (1883 – 1965) mengatakan bahwa musik adalah “organized sound” atau “bunyi yang terorganisasi” atau bisa juga “bunyi yang diorganisasi”. Jika kita menghendaki adanya subjek yang terlibat dalam pengorganisasian bunyi yang, sebut saja, komposer, maka kita bisa lebih jernih dalam memilah antara musik yang dihasilkan oleh Cage dengan tukang siomay yang memukuli kentongan. Varese akan mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Cage lebih tepat dikatakan musik karena ia dengan sengaja mengorganisasikan bunyi sementara tukang siomay memukuli kentongan lebih didasari oleh niat memanggil pembeli. 

Apakah pendekatan intensionalitas ini menyelesaikan persoalan pendefinisian musik? Ternyata masih ada masalah: bagaimana kita tahu bahwa tukang siomay memukuli kentongan tidak dalam suatu kesadaran ritmis? Bagaimana kita bisa menyelami intensi dari seseorang tentang apakah dia ada dalam niat membuat musik atau bukan? Luciano Berio (1925 – 2003), komposer asal Itali, mengalihkan persoalan intensi ini ke arah pendengar: musik adalah apapun yang ingin kita dengar sebagai musik. Artinya, suara klakson dan knalpot dari kendaraan menjadi musik jika kita menginginkan itu sebagai musik. 

Upaya Pendefinisian yang Lebih Jernih 

Meskipun pendekatan dari Berio sudah cukup memberi kelegaan, namun tidak terlalu bisa dianggap memuaskan. Kita tetap tidak memperoleh suatu kejelasan tentang apa itu musik jika segala sesuatunya dikembalikan pada subjek. Misalnya, pertanyaan: “Apa itu sikap marah?” tidak bisa hanya dijawab dengan: “Segala sesuatu yang kita anggap itu sebagai marah.” Andrew Kania dalam buku berjudul The Routledge Companion to Philosophy and Music (2011) mengatakan bahwa upaya pendefinisian yang bersifat intensionalitas juga mempunyai masalah sirkuler. Misalnya: “Apa itu musik?” dijawab dengan: “Segala sesuatu yang kita anggap itu sebagai musik.” Namun di sini justru persoalannya menjadi kelihatan: “Bagaimana kita bisa menganggap sesuatu sebagai musik, jika kita tidak mempunyai definisi yang jelas mengenai musik?” Bagaimana jika ada dua orang, yang satu terbiasa mendengarkan musik dalam arti populer lewat media digital, sementara satu lagi hidup di alam terbuka sepanjang hidupnya dan ia hanya mendengarkan bebunyian dari burung dan gemericik air, tidakkah menjadi berbeda pandangannya mengenai apa itu musik? Kania, pada titik ini, berupaya untuk tetap mendefinisikan musik dengan pendekatan riil esensial (menunjuk apa itu esensi musik yang tidak bisa tidak, harus ada, untuk menjadikan sesuatu sah untuk disebut musik). 

Kania kemudian sampai pada simpulan sementara pendefinisian musik yaitu sebagai berikut: Musik adalah (1) bunyi, (2) secara sengaja diproduksi atau diorganisasikan, (3) yang sekurang-kurangnya memiliki satu unsur musikal mendasar, seperti halnya nada atau ritmik. Upaya Kania memang sudah mendekati suatu kejelasan, tetapi tetap belum bisa merangkum keseluruhan yang ditunjuk sebagai musik, terutama sejumlah musik yang dikatakan sebagai musik abad ke-20 atau musik kontemporer yang belum tentu memiliki “unsur musikal mendasar”. Kita bisa mengambil contoh karya Yoko Ono berjudul Toilet Piece/ Unknown (1971) yang berisi suara siraman air pada toilet tanpa disunting (benar-benar apa adanya). Kita tidak bisa dengan tergesa-gesa mengatakan itu bukan musik meski tidak terlalu kuat terangkum dalam definisi yang disusun oleh Kania. 

Kemudian Kania menawarkan kemungkinan bahwa karya Yoko Ono tersebut adalah musik karena “ingin didengarkan sebagai sesuatu yang memiliki unsur-unsur musikal”, terlepas ada atau tidaknya unsur-unsur musikal tersebut. Yoko Ono tentu punya kesadaran berbeda saat merekam Toilet Piece/ Unknown dengan saat sedang menyiram air di toilet seorang diri. Pada yang pertama, ia melakukannya dengan suatu kesadaran bahwa aktivitas yang direkamnya tersebut ingin diperlakukan sebagaimana orang mendengarkan musik (yang “mencari-cari” unsur musikal mendasar). Dengan demikian, Kania mengembangkan definisinya dengan pola pengkalimatan yang bersifat disjungtif atau mengandung kata “atau” di dalamnya, yaitu sebagai berikut: Musik adalah (1) bunyi, (2) secara sengaja diproduksi atau diorganisasikan, (3) antara yang sekurang-kurangnya memiliki (a) satu unsur musikal mendasar, seperti halnya nada atau ritmik, atau (b) untuk diperdengarkan sebagai sesuatu yang memiliki unsur-unsur musikal. 

Dengan strategi disjungtif semacam itu, Kania masih belum puas, karena syarat (1) masih bermasalah, terutama pada musik-musik yang memiliki bagian yang tanpa bunyi. Jika terdapat bagian pada musik yang tanpa bunyi (misalnya, akibat tanda istirahat), maka masihkah dianggap sebagai musik? Kania lagi-lagi merevisi definisinya tentang musik untuk membuatnya lebih kokoh: musik adalah (1) segala peristiwa yang secara sengaja diproduksi atau diorganisasikan (2) untuk didengarkan, dan (3) antara yang sekurang-kurangnya memiliki (a) satu unsur musikal mendasar, seperti halnya nada atau ritmik, atau (b) untuk diperdengarkan sebagai sesuatu yang memiliki unsur-unsur musikal. Dengan demikian, Kania berhasil meloloskan diri dengan mengatakan bahwa ketiadaan bunyi, selama masih memiliki tujuan untuk didengarkan, masih sah dikatakan sebagai salah satu syarat pendefinisian musik. Memang apa yang dirumuskan oleh Kania masih mengandung unsur intensionalitas di dalamnya, tetapi tetap berusaha menghindari sirkularitas dengan tidak mengulangi kata “musik” dan lebih baik untuk mengatakannya dengan “unsur-unsur musikal”. 

Daftar Referensi 

Chou Wen-chung. 1966b. “Varese: A Sketch of the Man and His Music”. The Musical Quarterly 52, no 2 (April): 151 – 170. 

Gracyk T. & Kania, A. (2011). The Routledge Companion to Philosophy and Music. Abingdon: Routledge.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...