Skip to main content

Menari di Dalam dan Bersama Badai

(Tulisan suplemen diskusi Relisiensi dan Eksistensialisme: Bagaimana Berselancar dalam Kekacauan Hidup? , Jumat, 25 Oktober 2024 di Makan di Tebet, Jakarta) “ Kembali bukan sebagai penakluk badai, melainkan menari di dalam dan bersama badai .” - Alex Aur Apelaby  Hal menarik dari hidup adalah kemampuannya untuk memberikan semacam penderitaan, keterpurukan, atau bencana - yang membuat kita tidak hanya merasakan kekecewaan, melainkan sampai pada mempertanyakan keseluruhan kehidupan. Kita bisa kecewa oleh banyak hal: tak kunjung mendapat pekerjaan, ditolak cinta, atau gagal dalam ujian. Namun menganggur terlalu lama, penolakan cinta yang tak berkesudahan, atau kegagalan dalam ujian berulangkali, bisa jadi membuat kita kemudian bertanya-tanya secara lebih mendalam: Apa sebenarnya yang salah? Apakah kehidupan ini adil? Apakah Tuhan adil?  Masalahnya, pertanyaan semacam itu tak ada jawabannya. Hidup diam di hadapan pertanyaan demikian. Itulah yang dimaksud Camus sebagai absurd . Kita bisa s

Apa itu Demokrasi? (Bagian 4 dari 4)




Gagasan demokrasi penting lainnya adalah demokrasi liberal atau kerap disebut juga dengan demokrasi Barat (He, 2022). Untuk memahami demokrasi liberal, kita perlu menelusuri terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan liberalisme. Pemikiran liberalisme dapat dilacak asal-usulnya pada teks John Locke berjudul Two Treatises of Government (1689). Dalam bagian kedua (Second Treatise) buku tersebut, Locke menuliskan bahwa “... tiada satupun yang boleh menyakiti orang lain dalam hidupnya, kesehatannya, kebebasannya, dan kepemilikannya” (Locke, 1999). 

Locke menawarkan gagasan tentang “properti” yang mengacu pada kehidupan, kebebasan, dan aset. Properti ini bukan milik negara atau raja, melainkan milik setiap individu. Jika demikian, bagaimana menentukan individu mana yang berhak atas suatu barang, kita ambil contoh saja, apel? Bukankah jika apel dibolehkan menjadi milik individu, maka setiap orang kemudian merasa berhak untuk mengambil apel dari pohon manapun yang ditemuinya? Menurut Locke, apel tersebut adalah milik orang yang bekerja untuk mendapatkannya atau disebutnya sebagai hak atas hasil kerja. Saat seseorang memiliki apel sebagai hak atas hasil kerjanya, maka tiada satupun orang yang boleh mengambilnya kecuali atas persetujuan yang adil. Disinilah Locke memikirkan bahwa fungsi masyarakat sipil adalah dalam rangka melindungi properti satu sama lain (Locke, 1999). 

Pemikiran Locke tersebut penting untuk menjustifikasi kehidupan masyarakat sipil tanpa campur tangan negara yang terlalu banyak. Selama masyarakat bisa saling menghormati kepemilikan pribadi yang diperoleh sebagai hak atas hasil kerja dan mampu bertransaksi secara adil, otoritas hanya diperlukan jika terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap hak individu. Dengan kuatnya posisi individu yang tergabung dalam masyarakat sipil tersebut, Locke berpandangan bahwa keputusan dan tanggung jawab otoritas mesti berangkat dari persetujuan bersama masyarakat atau perwakilan yang ditunjuk oleh masyarakat. Disinilah Locke menawarkan posisi legislatif (yang berisi para wakil dari masyarakat) dalam rangka mengimbangi kekuasaan eksekutif yang pada masa itu umumnya diisi oleh raja (Locke, 1999). 

Gagasan liberalisme kemudian masuk pada kebebasan berbicara sebagaimana dipromosikan pertama kali oleh John Milton (1608-1674). Menurut Milton, setiap orang memiliki kebebasan untuk mengetahui, untuk mengucapkan, dan untuk berdebat berdasarkan nuraninya sendiri (Milton, 1918). Dalam rangka mencapai kebebasan itu, Milton mengusulkan untuk memisahkan urusan gereja dan negara (Hunter, 1980). 

Penanda sejarah penting dalam perkembangan liberalisme adalah Revolusi Prancis pada akhir abad ke-18. Pada masa Revolusi Prancis, masyarakat sipil digambarkan sebagai orang-orang yang mendapat kesempatan untuk berbicara dan memberikan suara dalam gelanggang politik (Hanson, 2009). Kemenangan liberalisme pada Revolusi Prancis setidaknya ditandai oleh dua peristiwa yakni pertama, penghapusan feodalisme secara resmi pada 4 Agustus 1789 dan kedua, perumusan dokumen Déclaration des droits de l'Homme et du citoyen. Dalam dokumen tersebut, dituliskan sejumlah prinsip yang menjadi landasan penting bagi demokrasi liberal seperti hak yang sama dan setara bagi semua orang, kebebasan untuk melakukan apapun selama tidak menyakiti orang lain, penjaminan bagi hak milik individu, transparansi dalam penggunaan pajak oleh negara, serta supremasi hukum. 

Prinsip kebebasan individu yang digaungkan oleh liberalisme ini juga berlangsung dalam wilayah ekonomi melalui prinsip laissez-faire. Hal mendasar dari laissez-faire adalah membiarkan setiap individu untuk mengatur dirinya sendiri terutama dalam hal persaingan ekonomi (Gaspard, 2004). Secara ekstrim, prinsip laissez-faire bahkan menolak intervensi negara dalam sektor ekonomi seperti pemberian subsidi atau pencanangan regulasi. Disinilah pemikiran liberalisme menjadi kompatibel dengan kapitalisme seperti yang dirumuskan salah satunya oleh Adam Smith (1723-1790) dalam bukunya yang sangat berpengaruh, The Wealth of Nations (1776). Dalam teksnya tersebut, Smith mempromosikan gagasan tentang pasar bebas (free market) yang mekanismenya tidak diatur oleh otoritas, melainkan oleh dinamika permintaan dan penawaran dalam pasar itu sendiri (Smith, 2015). 

John Stuart Mill merupakan tokoh penting dalam perkembangan liberalisme. Lewat bukunya yang berjudul On Liberty (1859), Mill merumuskan maksim liberalisme yakni pertama, Individu pada dasarnya tidak bertanggungjawab pada masyarakat atas tindakannya. Apa yang dilakukan oleh masing-masing individu pada dasarnya dilakukan untuk kebaikannya sendiri. Kedua, pada tindakan individu yang merugikan kepentingan orang lain, individu tersebut dapat dihukum secara sosial ataupun legal, jika pendapat masyarakat mengharuskan demikian untuk perlindungan mereka sendiri (Mill, 2006). 

Berbagai uraian tentang perkembangan pemikiran liberalisme tersebut membuat kita lebih mudah untuk memahami gagasan kunci berkenaan dengan demokrasi liberal. Penerapan demokrasi liberal memang beragam pada setiap negara, tetapi pada umumnya tidak bisa dilepaskan dari elemen-elemen seperti penyelenggaraan pemilihan umum untuk memilih perwakilan yang duduk di pemerintahan, pemisahan kekuasaan, penegakan hukum, ekonomi pasar berbasis kepemilikan pribadi, pemberian hak pilih yang sama bagi semua warga negara serta perlindungan yang setara terhadap hak asasi manusia, hak-hak sipil, dan hak-hak berpolitik. 

Meski terdengar ideal, demokrasi liberal mendapat kritik keras dari kelompok kiri sebagai demokrasi yang hanya menguntungkan bagi orang-orang kaya. Kontestasi yang terjadi pada arena demokrasi liberal biasanya dominan diisi oleh kelompok borjuis yang mengklaim punya kekuatan politik lebih sebagai hasil dari persaingan di pasar bebas (Rice, 1990).

Referensi:

Aristotle. (2016). Politics: Writings from the Complete Works (J. Barnes, Ed.). Princeton: Princeton University Press.

Britannica, T. Editors of Encyclopaedia (2023, October 23). Draconian laws. Encyclopedia Britannica. https://www.britannica.com/topic/Draconian-laws .

Crick, B. (2002). Democracy: A Very Short Introduction. Oxford University Press.

Cohen, J. (1989 [2009]). Deliberation and Democratic Legitimacy. In A. Hamlin & P. Pettit (Eds.), The Good Polity: Normative Analysis of the State (pp. 17–34). Oxford: Basil Blackwell. Reprinted in Philosophy, Politics, Democracy: Selected Essays (pp. 16–37). Cambridge, MA: Harvard University Press.

Dahlberg, L., & Siapera, E. (Eds.). (2007). Radical Democracy and the Internet. Palgrave Macmillan UK.

Farrar, C. (1989). The Origins of Democratic Thinking: The Invention of Politics in Classical Athens. Cambridge University Press Archive.

Fultner, B. (2011). Introduction: Communicative action and formal pragmatics. In B. Fultner (Ed.), Jürgen Habermas: Key Concepts. Durham: Acumen.

Gagnon, J.-P. (2018, June 1). 2,234 Descriptions of Democracy. Democratic Theory, 5(1), 92–113. 

Gaspard, T. (2004). A Political Economy of Lebanon 1948–2002: The Limits of Laissez-faire. Boston: Brill.

Habermas, J. (1991). The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society. Cambridge, Mass.: MIT Press.

Hanson, P. (2009). Contesting the French Revolution. Hoboken: Blackwell Publishing.

Hendriks, F. (2010). Vital Democracy: A Theory of Democracy in Action. Oxford University Press.

Hignett, C. (1962). A History of the Athenian Constitution. Oxford.

Hunter, W. B. (1980). A Milton Encyclopedia, Volume 8 (pp. 71–72). East Brunswick, N.J.: Associated University Presses.

Locke, J. (1999). Two treatises of government (M. Goldie, Ed.). Everyman.

May, T. (Ed.). (2008). The Political Thought of Jacques Rancière. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Mill, J. S. (2006). On Liberty. Penguin Classics.

Milton, J. (1918). Areopagitica, A Speech of Mr. John Milton for the Liberty of Unlicenc'd Printing to the Parliament of England (S. R. C. Jebb, Ed.). Cambridge: University Press.

Popper, K. (1988, April 23). The open society and its enemies revisited. The Economist, 2016 reprint.


Rice, C. (1990). Lenin: Portrait of a Professional Revolutionary. London: Cassell.

Smith, A. M. (1998). Laclau and Mouffe: The Radical Democratic Imaginary. London: Routledge.

Smith, A. (2015). The Wealth of Nations: A Translation into Modern English. Industrial Systems Research.

Thorley, J. (2004). Athenian Democracy (2nd ed.). London, New York: Routledge.

Thorley, J. (2005). Athenian Democracy. Routledge.

United Nations. (2015, November 20). Democracy. United Nations. Retrieved from https://www.un.org/en/global-issues/democracy.

Wokler, R. (2001). Rousseau: A Very Short Introduction. Oxford: Oxford University Press.


Catatan: Seri Apa itu Demokrasi? dicuplik dari buku Pengantar Ilmu Politik untuk Semua Orang (Ultimus, 2024) yang semestinya ditulis atas nama M. Fauzi Abdul Rachman dan Syarif Maulana. Akibat cancel culture, nama saya diturunkan dari buku. Apa yang diunggah di blog ini adalah bagian-bagian yang saya tuliskan dalam buku tersebut.



Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat