(Tulisan suplemen diskusi Relisiensi dan Eksistensialisme: Bagaimana Berselancar dalam Kekacauan Hidup? , Jumat, 25 Oktober 2024 di Makan di Tebet, Jakarta) “ Kembali bukan sebagai penakluk badai, melainkan menari di dalam dan bersama badai .” - Alex Aur Apelaby Hal menarik dari hidup adalah kemampuannya untuk memberikan semacam penderitaan, keterpurukan, atau bencana - yang membuat kita tidak hanya merasakan kekecewaan, melainkan sampai pada mempertanyakan keseluruhan kehidupan. Kita bisa kecewa oleh banyak hal: tak kunjung mendapat pekerjaan, ditolak cinta, atau gagal dalam ujian. Namun menganggur terlalu lama, penolakan cinta yang tak berkesudahan, atau kegagalan dalam ujian berulangkali, bisa jadi membuat kita kemudian bertanya-tanya secara lebih mendalam: Apa sebenarnya yang salah? Apakah kehidupan ini adil? Apakah Tuhan adil? Masalahnya, pertanyaan semacam itu tak ada jawabannya. Hidup diam di hadapan pertanyaan demikian. Itulah yang dimaksud Camus sebagai absurd . Kita bisa s
Selain pengkategorian demokrasi yang mengacu pada pandangan Crick dan Hendriks, berikut ini akan dipaparkan bentuk demokrasi berdasarkan cara pengambilan keputusan dengan membaginya pada tiga bentuk yaitu demokrasi Athenian, demokrasi konsensus, dan demokrasi radikal.
Demokrasi Athenian
Demokrasi Athenian berkembang pada sekitar abad ke-6 sebelum masehi di negara-kota Yunani Kuno (atau biasa disebut polis), tepatnya di Athena, dan sejumlah wilayah di sekitarnya. Sebelum menjalankan demokrasi, Athena dipimpin oleh sekelompok archon atau semacam pemerintahan yang dipimpin oleh para aristokrat. Pemerintahan aristokrasi ini lama kelamaan dirasa merugikan karena hanya mengandalkan aturan lisan dari para archon, sehingga muncul desakan dari rakyat untuk membuat aturan tertulis (Thorley, 2005). Aturan tertulis mula-mula yang diberlakukan di wilayah Athena adalah Konstitusi Draconian pada abad ke-7 sebelum masehi. Konstitusi Draconian dianggap sebagai cikal bakal demokrasi Athenian (Britannica, 2023).
Pada sekitar tahun 594 SM, Solon sebagai salah satu archon yang berkuasa membentuk Ecclesia atau perkumpulan terbuka bagi warga kota, khususnya kaum laki-laki, supaya bisa dilibatkan dalam pertemuan yang menyangkut keputusan politik sehingga rapat-rapat pemerintahan tidak hanya dihadiri oleh para aristokrat. Kebijakan Solon tersebut membuka kesempatan bagi warga Athena untuk berdemokrasi (Thorley, 2004). Sempat mendapat tantangan dari tiran bernama Peisistratos yang menutup akses warga untuk terlibat lebih jauh pada pemerintahan, demokrasi dipulihkan kembali oleh Cleisthenes pada sekitar tahun 508 dan 507 SM dengan membolehkan setiap warga Athena untuk berdialog dengan pemerintah polis (Farrar, 1989). Perjalanan demokrasi Athenian mengalami naik turun karena tantangan dari para tiran dan bahkan dari warga polis itu sendiri. Demokrasi Athenian dapat dikatakan berakhir saat pasukan Makedonia di bawah Philip II menaklukkan Athena pada tahun 338 SM (Hignett, 1962).
Pertanyaannya, bagaimana persisnya demokrasi Athenian dijalankan? Peserta demokrasi Athenian terbatas bagi laki-laki dewasa yang merdeka. Artinya, anak-anak, perempuan, dan para budak tidak diperkenankan ambil bagian. Para laki-laki dewasa yang jumlahnya bisa mencapai ribuan ini berkumpul dalam sebuah pertemuan yang dinamakan Ecclesia. Dalam Ecclesia, tidak ada perwakilan dan tidak ada yang diwakili, setiap orang berbicara atas namanya sendiri, sehingga dinamakan juga sebagai demokrasi langsung (Thorley, 2005).
Terdapat beberapa fungsi dalam sebuah Ecclesia yaitu diantaranya keputusan untuk berperang, pengabulan permohonan kewarganegaraan bagi orang asing, pemilihan pejabat publik, dan pengadilan bagi pelaku kejahatan. Prosedurnya, terdapat beberapa orang yang angkat bicara dan mengemukakan pandangannya terhadap suatu isu, untuk kemudian direspons oleh warga lainnya. Demokrasi Athenian juga kerap melakukan pengambilan keputusan melalui voting dengan mengacu pada suara terbanyak. Penyelenggaraan Ecclesia dapat dilakukan antara sepuluh hingga empat puluh kali setiap tahun dengan jumlah anggota minimal sekitar enam ribu orang untuk bisa dikatakan kuorum (Thorley, 2005).
Demokrasi Konsensus
Istilah konsensus berasal dari bahasa Latin yaitu “consensus” yang berarti “persetujuan”, diturunkan dari istilah “consentire” yang berarti “merasakan bersama”. Secara lebih luas, consensus diartikan sebagai pendapat yang diterima secara umum. Dalam konteks ini, demokrasi konsensus adalah demokrasi yang bertujuan untuk menghasilkan persetujuan atau permufakatan, ditandai dengan penerimaan atas beragam opini untuk kemudian dicari jalan keluar yang memfasilitasi seluruh pihak (Cohen, 1989 [2009]). Demokrasi konsensus berupaya mengatasi problem demokrasi berbasis mayoritas atau suara terbanyak yang dianggap mengabaikan opini minoritas.
Kalaupun harus dilakukan voting, hal tersebut dilakukan sebagai jalan terakhir setelah upaya mencapai mufakat mengalami kebuntuan.
Demokrasi konsensus umumnya dikaitkan dengan konsep deliberatif. Dalam pandangan Aristoteles, deliberatif artinya menyandarkan keputusan lewat dialog yang sehat dan rasional. Dalam menjalankan konsep deliberatif, pihak-pihak yang terlibat mesti memiliki kebijaksanaan, keutamaan dalam hal moral, dan fokus pada kepentingan bersama, alih-alih kepentingan pribadi (Aristotle, 2016). Lewat jalur deliberatif ini, konsensus diharapkan dapat tercapai.
Jean-Jacques Rousseau berpandangan bahwa demokrasi adalah tentang perwujudan kehendak umum (general will). Kehendak umum ini mestinya berbasis kepentingan bersama dan mengabaikan keinginan-keinginan individu. Keinginan individu, bagi Rousseau, adalah ekspresi amour-propre (kebanggaan) yang cenderung saling membandingkan satu sama lain, berbuntut keinginan untuk saling mengalahkan (Wokler, 2001). Rousseau memang tidak secara eksplisit mengatakan tentang konsensus, tetapi ia menekankan pentingnya kesepakatan dan kesepahaman, semacam “kontrak” yang memfasilitasi kehendak umum.
Jürgen Habermas (lahir tahun 1929) mengembangkan teori tindakan komunikatif yang melandaskan prinsipnya pada rasionalitas dalam berkomunikasi, kesetaraan dalam dialog, dan situasi yang ideal. Habermas berpandangan bahwa penerapan teori tindakan komunikatif dapat memberi jalan bagi konsensus dalam demokrasi (Fultner, 2011). Selain itu, Habermas juga mengajukan teori lain terkait ranah publik (public sphere) yang secara historis justru muncul dari ruang-ruang yang dibangun kaum borjuis pada sekitar abad ke-18 seperti salon di Prancis, coffee house di Inggris, dan Tischgesellschaften di Jerman. Dalam ranah publik borjuis tersebut, otoritas tidak dapat terlalu melakukan pengawasan sehingga publik dapat berdiskusi secara lebih setara dan inklusif dalam membicarakan kepentingan bersama (Habermas, 1991). Dalam pandangan Habermas, diskursus yang dibangun di ranah publik dapat mengarah pada demokrasi deliberatif yang mengarah pada konsensus, karena dilandasi suasana yang ideal dalam menjalankan komunikasi yang setara dan rasional.
Demokrasi Radikal
Demokrasi radikal adalah tipe demokrasi yang memfasilitasi berbagai kebebasan berpendapat secara setara. Berbeda dengan demokrasi konsensus yang berujung pada permufakatan, demokrasi radikal memandang demokrasi sebagai proses yang selalu dinamis, berkelanjutan, dan tidak pernah selesai (Dahlberg & Siapera, 2007). Dengan demikian, dalam pandangan Jacques Rancière, demokrasi justru selalu menghasilkan disensus atau ketidaksetujuan. Sebagai contoh, seseorang yang sehari-harinya bekerja sebagai tukang sepatu dan hanya bekerja untuk menghasilkan sepatu, tiba-tiba suatu hari mendapati dirinya terjebak macet saat perjalanan menuju ke kantor. Akibat kemacetan tersebut, si tukang sepatu memprotes kebijakan pemerintah lewat media sosial karena membiarkan mobil diproduksi sementara jalanan kota tidak ditambah. Dengan melakukan protes, tukang sepatu itu dengan sendirinya terlibat dalam kegiatan politik dan bagi Rancière, tindakannya itu menghasilkan ketidaksetujuan. Apakah pendapat tukang sepatu akan disikapi atau tidak, itu lain soal, karena demokrasi adalah ungkapan dari berbagai ketidaksetujuan. Bagi Rancière, usaha mencapai mufakat justru mensyaratkan penyingkiran orang-orang yang kurang setuju (May, 2008). Dengan demikian, demokrasi konsensus tidak pernah memfasilitasi semua pihak.
Dalam buku berjudul Hegemony and Socialist Strategy (1985), Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe menekankan keragaman identitas, kepentingan, dan perspektif, yang tidak disetir pada “kebaikan umum” (common good) yang sifatnya tunggal. Laclau dan Mouffe menawarkan gagasan untuk meradikalkan demokrasi, yakni membuat demokrasi menjadi lebih inklusif, partisipatoris, dan responsif terhadap beraneka kebutuhan dari kelompok sosial yang berbeda-beda. Demokrasi radikal adalah ruang untuk mengartikulasikan keragaman kepentingan dan bukan ditujukan untuk menekan atau bahkan mengeliminasi konflik. Dengan demikian, sudah menjadi kodrat demokrasi untuk senantiasa berkonflik dan saling melontarkan ketidaksetujuan. Tujuan demokrasi radikal bukan lagi mencapai konsensus atau permufakatan, melainkan diskursus dan debat terus menerus antar aktor-aktor politik (Smith, 1998).
(bersambung)
Comments
Post a Comment