Skip to main content

Kronologi dan Duduk Perkara Kasus SM

Pada tulisan ini, saya Syarif Maulana, akan menjabarkan kronologi selengkap-lengkapnya tentang segala proses berkaitan dengan kasus dugaan kekerasan seksual yang dituduhkan pada saya tanggal 9 Mei 2024 di media sosial X. Tuduhan tersebut menjadi viral dan menyebabkan saya dipecat dari berbagai institusi, tulisan-tulisan diturunkan dari berbagai media, buku-buku dicabut dari penerbitan, dan dikucilkan dari berbagai komunitas filsafat, termasuk komunitas yang saya bangun sendiri, Kelas Isolasi.  Penulisan kronologi ini dilakukan dalam rangka menjelaskan duduk perkara dan perkembangan kasus ini pada publik berdasarkan catatan dan dokumentasi yang saya kumpulkan.  Tuduhan kekerasan seksual (selanjutnya akan disingkat KS) kepada saya dimulai pada tanggal 9 Mei 2024, dipicu oleh cuitan dari akun @flutuarsujet yang menuliskan “... katanya dia pelaku KS waktu di Tel**m, korbannya ada lima orang …”. Kata “Tel**m” tersebut kemungkinan besar mengacu pada Telkom University, tempat saya bekerja seb

Zoom In Zoom Out

Sejak terjun di dunia bisnis, saya menyadari sesuatu tentang dikotomi akademisi - praktisi. Memang kelihatannya praktisi ini adalah orang yang bergelut dengan kenyataan, langsung pada persoalan riil, menghadapi risiko nyata. Sementara akademisi, terutama di mata praktisi, tampak sebagai orang yang cuma bicara teori, "bacot doang", sementara masalah-masalah di lapangan seringkali berbeda dengan yang diteorikan (begitu ujar si praktisi).

Memang ada benarnya. Ketika terjun berdagang, banyak hal baru yang saya pelajari, yang tak pernah saya bayangkan selama belasan tahun menjadi akademisi. Misalnya, soal perencanaan. Akademisi biasanya jago soal membuat rancangan, merumuskan dari A sampai Z, hingga memperhitungkan risiko terburuk, sehingga seolah setiap langkah akan mampu diantisipasi. 

Namun dunia praktik tak selalu bisa dijalankan sesuai rancangan. Rancangan bisa terus berubah mengikuti keadaan. Bahkan keadaan ini juga seringkali sukar dimengerti. Sebagai contoh, saya sudah merasa dagangan saya ini prima, dengan bahan-bahan terbaik, lokasi yang bagus, dekorasi yang lumayan. Tetapi bisa saja di suatu periode yang buruk, penjualan tidak ada sama sekali. Teori pemasaran mana yang bisa bikin saya mengerti hal tersebut?

Sementara fase yang buruk tersebut bukanlah sesuatu yang hipotetikal, berada dalam perandai-andaian, melainkan nyata, sungguh-sungguh mengancam: saya makan sehari-hari bagaimana? Pegawai saya digaji bagaimana? Modal untuk menyambung jualan bagaimana? Disinilah mengapa praktisi sering mengklaim dirinya lebih tangguh ketimbang akademisi. Akademisi mungkin memikirkan semua itu, termasuk periode buruk dalam berbisnis, tetapi hanya dalam andaian-andaian di ruang kelas saja. "Profesor bisnis gakan bisa praktik langsung dagang dawet," begitu kata bos pemilik lapak es dawet yang berdagang di sebelah lapak roti saya.

Tapi begitu superiornya kah seorang praktisi di hadapan akademisi? Benarkah akademisi tak lebih dari sekadar orang yang "cuci tangan di hadapan realitas"? Meski saya sekarang sepenuhnya belajar praktik berbisnis, saya merasa nalar akademik tak pernah benar-benar meninggalkan. 

Apa itu nalar akademik? Yakni nalar dalam hal mencermati pola-pola, yang dengan tekun dan hati-hati melakukan zoom in zoom out atas satu per satu fenomena: mengamati secara mikro mulai dari posisi stiker yang ditempel pada kemasan, di mana sebaiknya roti-roti ditempatkan, sampai musik apa yang sebaiknya dimainkan. Sikap semacam ini diturunkan dari sejak Aristoteles, yang memilih untuk menelaah objek secara seksama, ketimbang melakukan derivasi segala-gala kenyataan dari dunia ide macam yang dijalankan oleh Platon. 

Nalar akademik tak berhenti di sana, melainkan juga meneropong dari kejauhan: membaca pola perilaku konsumen di jam tertentu, hari tertentu, minggu-minggu tertentu; melihat tren pasar, psikologis para pedagang tenant secara umum, sampai mekanisme kekuasaan yang berjalan dari pucuk Griya sebagai penentu kebijakan, sampai turunannya dalam bentuk satpam dan kasir. 

Perkara apakah nalar akademik berhasil membuat dagangan roti saya menjadi laku, itu urusan lain. Poinnya, begitulah kira-kira kerja akademisi: melakukan zoom in zoom out. Permasalahannya, terutama dalam melakukan zoom out, kadang kondisi sekitar mesti lebih tenang. Zoom out artinya membiarkan pikiran melakukan pengembaraan, menerawang dari ketinggian. Dalam konteks akademisi di sekolahan, ruang kelas itulah yang dipandang cukup ideal untuk tubuh supaya bebas dari tekanan eksternal, bisa fokus pada pengamatan dari kejauhan. Disinilah akademisi dituding elitis, "cuci tangan dari kenyataan".

Perlu diingat, dalam benak si praktisi, mereka tak melulu cuma bergulat dengan kompleksitas dari realitas, mengatasi satu per satu persoalan yang datang. Pada suatu fase, mereka ingin merumuskan semua perjuangan itu, menjadi semacam "buku manual" yang cukup merangkum pengalamannya. Disitulah si praktisi bertransformasi menjadi akademisi. Ketika pikirannya mulai ingin dibaca, ditiru, diikuti sebagai sebuah formula.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat