Skip to main content

Kronologi dan Duduk Perkara Kasus SM

Pada tulisan ini, saya Syarif Maulana, akan menjabarkan kronologi selengkap-lengkapnya tentang segala proses berkaitan dengan kasus dugaan kekerasan seksual yang dituduhkan pada saya tanggal 9 Mei 2024 di media sosial X. Tuduhan tersebut menjadi viral dan menyebabkan saya dipecat dari berbagai institusi, tulisan-tulisan diturunkan dari berbagai media, buku-buku dicabut dari penerbitan, dan dikucilkan dari berbagai komunitas filsafat, termasuk komunitas yang saya bangun sendiri, Kelas Isolasi.  Penulisan kronologi ini dilakukan dalam rangka menjelaskan duduk perkara dan perkembangan kasus ini pada publik berdasarkan catatan dan dokumentasi yang saya kumpulkan.  Tuduhan kekerasan seksual (selanjutnya akan disingkat KS) kepada saya dimulai pada tanggal 9 Mei 2024, dipicu oleh cuitan dari akun @flutuarsujet yang menuliskan “... katanya dia pelaku KS waktu di Tel**m, korbannya ada lima orang …”. Kata “Tel**m” tersebut kemungkinan besar mengacu pada Telkom University, tempat saya bekerja seb

Sandaran


Setiap hari saya bergaul dengan para pekerja lapak yang sebagian besar diantaranya adalah perempuan. Obrolan yang terjadi bisa seputar omzet, candaan-candaan ringan, hingga curhat masalah pribadi. Masalah pribadinya begitu beragam, mulai dari korban KDRT, perselisihan dengan mantan suami, pacaran beda agama, sampai mengaku selingkuh karena tak cinta lagi pada suaminya.

Persoalan-persoalan pribadi itu sudah tak perlu dibahas. Yang saya amati lebih pada: hampir semua dari mereka punya pasangan, bisa pacar atau suami, padahal usia beberapa dari mereka sangatlah muda. Ada yang masih 24 tahun, 22, bahkan 19 sudah menikah. 

Mungkin fenomena semacam itu wajar saja, tetapi saya coba memandangnya dari sisi yang lain. Mereka seperti ada keharusan untuk selalu punya pasangan. Semacam cara untuk melepaskan diri dari kehidupan orang tua yang kelihatannya sulit (menurut pengakuan mereka) sekaligus sebagai sandaran psikologis atas kerja-kerja yang alienatif sebagai penunggu lapak. 

Pasangan yang dimaksud ini seringkali bukan berasal dari kalangan dengan pekerjaan yang lebih baik untuk menopang ekonomi mereka (jika berpasangan dibayangkan sebagai usaha meningkatkan taraf ekonomi), melainkan sekadar memenuhi kebutuhan akan afeksi, supaya bisa ayang-ayangan, menjadikan hari-harinya tak terlampau membosankan. 

Tentu saja kehidupan berpasangan ini dibayangi oleh harapan akan kehidupan bersama yang lebih baik. Dua pekerja yang saling jatuh cinta, berjuang, bekerja keras, menghadapi kejamnya dunia, bermodalkan rasa percaya satu sama lain. Aspek moral semakin memperkuat ikatan ini: ayangku pekerja keras, dia ikhlas menjalankan hari-harinya yang berat demi masa depan kami. 

Apakah mereka benar-benar mengubah hidupnya (setidaknya secara ekonomi) dikarenakan ayang-ayangan ini, saya tidak menggali lebih jauh. Yang pasti, kalau saya berkaca pada pergaulan dengan akademisi atau pemikir, perempuan-perempuan dari kalangan ini sebagian tak merasa perlu punya pasangan cepat-cepat, apalagi menikah dan punya anak. Sandaran afeksi pasti perlu, tapi tak selalu dengan cara punya pasangan. Kelihatannya kehidupan menyendiri, bagi sebagian orang, tampak lebih simpel dan membebaskan. 

Teman-teman pekerja lapak ini mungkin juga punya pemikiran untuk hidup sendiri dan menikmati kebebasan, tetapi tak semuanya menganggap hal demikian adalah pilihan bebas. Pilihan yang dipandang realistis adalah mempunyai pasangan cepat-cepat sebagai sandaran agar bisa lepas sebagai beban orang tua, menghidupi afeksi dengan nilai sakral bernama cinta, sembari menjadikan agama, atau moralitas, sebagai perekat, membuat relasi menjadi diridhoi, dalam rangka menghadapi beraneka tekanan struktural. 

Teman-teman pekerja lapak itu sebagian adalah lulusan SMP dan hanya sedikit diantaranya adalah lulusan SMA. Rata-rata mereka tak punya minat lagi meneruskan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Saya bisa paham. Bagi sebagian dari mereka, sekolah mungkin bisa mendorong nasib ke arah lebih baik. Tapi terlalu lama, terlalu buang-buang waktu, sedangkan masalah yang dihadapi adalah sekarang, di hadapan.

Dengan upah yang ada, mereka memilih bersyukur, menjalankan hidup yang telah dianugerahkan padanya. Memiliki pasangan membuat mereka tak harus sering-sering menggerutu dengan gaji yang (dalam pandangan saya) tak manusiawi. 

Jiwa emansipatoris saya kadang bergejolak dengan kondisi semacam ini. Tapi siapakah saya sehingga punya otoritas untuk menjadi "pembebas"? Kadang saya ingin menyekolahkan sebagian dari mereka, minimal sampai lulus paket C, tetapi apakah mereka akan nyaman dengan kondisinya kemudian? Bagaimana jika kondisinya saat ini, bagi mereka, sudah membahagiakan? Bukankah justru saya, yang sekolah tinggi-tinggi ini, yang kerap gagal menemukan kebahagiaan?

Kehidupan foodcourt, lagi-lagi, mengacak-acak pikiran saya.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat