Skip to main content

Kronologi dan Duduk Perkara Kasus SM

Pada tulisan ini, saya Syarif Maulana, akan menjabarkan kronologi selengkap-lengkapnya tentang segala proses berkaitan dengan kasus dugaan kekerasan seksual yang dituduhkan pada saya tanggal 9 Mei 2024 di media sosial X. Tuduhan tersebut menjadi viral dan menyebabkan saya dipecat dari berbagai institusi, tulisan-tulisan diturunkan dari berbagai media, buku-buku dicabut dari penerbitan, dan dikucilkan dari berbagai komunitas filsafat, termasuk komunitas yang saya bangun sendiri, Kelas Isolasi.  Penulisan kronologi ini dilakukan dalam rangka menjelaskan duduk perkara dan perkembangan kasus ini pada publik berdasarkan catatan dan dokumentasi yang saya kumpulkan.  Tuduhan kekerasan seksual (selanjutnya akan disingkat KS) kepada saya dimulai pada tanggal 9 Mei 2024, dipicu oleh cuitan dari akun @flutuarsujet yang menuliskan “... katanya dia pelaku KS waktu di Tel**m, korbannya ada lima orang …”. Kata “Tel**m” tersebut kemungkinan besar mengacu pada Telkom University, tempat saya bekerja seb

Menangkap Paris dalam Sekali Pandang



Tentang Paris: Invisible City

Paris Ville Invisible terbit tahun 1998 dan merupakan karya kolaboratif Bruno Latour dan fotografer Emilie Hermant. Paris Ville Invisible kemudian diterjemahkan oleh Liz Carey- Libbrecht pada tahun 2006 dengan judul Paris: Invisible City. Terdapatnya banyak foto dalam buku tersebut (ditambah format cetakannya yang eksklusif dan berwarna) membuat Paris: Invisible City dalam versi original sekilas terkesan seperti katalog pariwisata ketimbang sebuah karya filsafat. Gerard de Vries menyebut karya Latour tersebut sebagai karya yang “un-philosophical”, tetapi penting untuk dibaca dalam rangka memahami cara kerja Latour dalam merumuskan gagasan-gagasan filsafatnya (De Vries, 2016: 5). 

Hal apa yang dibahas Latour dalam Paris: Invisible City? Pada karyanya ini, Latour mencoba menjawab pertanyaan tentang apa yang dimaksud dengan “menangkap Paris dalam sekali pandang” (capture all of Paris in a single glance). Latour kemudian mengawali teksnya ini dengan deskripsinya tentang Samaritaine, pusat perbelanjaan raksasa di Paris yang mengklaim bahwa setiap pendatang, jika pergi ke atas gedung, dapat melihat seluruh Paris. Latour tidak memungkiri bahwa sebagian panorama Paris terlingkupi dari atas Samaritaine, tetapi tetap saja ada bagian-bagian tertentu yang tak terlihat (Latour & Hermant, 2006: 2). 

Latour tidak puas dengan kunjungannya ke Samaritaine, ia kemudian beralih pada permainan virtual berjudul Second World. Pada gim tersebut, kita bisa menemukan berbagai macam objek di kota Paris dan semuanya tampak cukup realistis. Namun Second World adalah ruang virtual yang tidak menggambarkan seluruh realitas kota Paris beserta warga di dalamnya. Orang-orang di kota Paris terbuat dari darah dan daging, dengan segala dinamika sosialnya. Lagi-lagi Latour merasa bahwa Second World juga tidak mampu “menangkap Paris dalam sekali pandang”. 

Bagaimana dengan foto satelit? Bukankah kita bisa melihat seisi kota dari mata satelit? Jalan-jalannya, sungai Seine, gedung bersejarah, halaman yang teduh, taman-taman pribadi, jalan raya yang memotong petak-petak di perkotaan, lokasi-lokasi pembangunan. Itukah seluruh Paris? Tentu saja bukan, kita tidak bisa melihat apa-apa tentang Paris dalam peta tersebut, tidak dalam bentuk yang detail (Latour & Hermant, 2006: 8). Setelah berkunjung ke tempat lainnya seperti stasiun metro Abesses, perusahaan suplai air SAGEP, Ecole de Mines, The Ordinance Survey Department, dan beberapa lainnya, pertanyaan Latour tetap tidak terjawab. Realitas kota Paris tidak dapat ditangkap dalam sekali pandang kecuali lewat usaha untuk membuatnya terlihat dari para kartografer, teknisi, dan pegawai sipil (De Vries, 2016: 7). 

Untuk mempertajam analisisnya, Latour kemudian masuk lebih dalam dengan mengunjungi departemen biologi di École de Physique et Chimie de Paris. Di tempat tersebut, Latour meneliti bagaimana para saintis mengkaji tentang saraf tikus. Latour menemukan bahwa hal tentang saraf tikus (anatomi, potensi elektris, dan biokimia molekuler dari saraf) memang dapat ditemukan dalam “sekali pandang” di laboratorium, tetapi Latour juga sekaligus mengajak kita untuk mengamati prosesnya: untuk menghasilkan simpulan tentang saraf tikus, kepala tikus harus dipenggal, otaknya diambil, dipotong di bagian tertentu, ditempatkannya dalam mikroskop, dan berbagai tahapan lainnya. Latour hendak mengatakan bahwa dalam usaha mengobservasi fenomena dan menjabarkan fakta, realitas itu sendiri harus dibuat sedemikian rupa supaya “tampak” (De Vries, 2016: 36).


Apa yang Hendak Dikatakan Latour?

“Aktivitas saraf yang menyerupai saraf, tidak lebih dari lembar tagihan di Café de Flore yang menyerupai secangkir kopi ...” (Latour & Hermant, 2006: 22)

Hal pertama yang bisa kita bicarakan tentang Paris: Invisible City adalah metode Latour dalam merumuskan gagasan filosofis yang bermula dari riset etnografis. Latour tidak berfilsafat “dari balik meja sambil bertopang dagu”, melainkan turun ke lapangan, mewawancarai orang-orang, mengamati setiap peristiwa dengan sungguh-sungguh dan mencatatnya (De Vries, 2016: 8). Pada titik inilah kita menyebut Latour sebagai filsuf empiris karena cara berpikirnya yang kerap berangkat dari hal-hal yang teramati.

Berangkat dari studi lapangannya ke sejumlah tempat di kota Paris, Latour mula-mula mengajukan persoalan filosofis: Dari sudut pandang mana kita dapat melihat struktur sejati dari realitas? Namun pertanyaan tersebut ternyata keliru, karena dari sudut pandang manapun, struktur dari realitas tidak pernah tampak dalam wujudnya yang sejati, melainkan senantiasa berupa penampakan-penampakan yang sifatnya parsial. Struktur dari realitas kota Paris tidak ditemukan secara sempurna dari atas Samaritaine, pun dari foto citra satelit atau permainan Second World.

Berangkat dari bagaimana Latour mengamati proses penelitian atas saraf tikus École de Physique et Chimie de Paris, maka pertanyaan filosofinya diubah: Bagaimana struktur realitas dibuat tampak dan apakah penampakannya tersebut berkorespondensi dengan realitas? Apakah saraf tikus yang telah diteliti sedemikian rupa kemudian dimuat di jurnal ilmiah adalah benar-benar saraf tikus yang sebenarnya? Apakah tagihan secangkir kopi di Café de Flore adalah berkorespondensi dengan secangkir kopi yang sebenarnya? Apakah panorama Paris dari atas gedung Samaritaine adalah benar-benar Kota Paris yang sejati?

Di sinilah Latour hadir dengan gagasannya tentang “realitas yang dibuat tampak”. Realitas tidak pernah hadir dalam penampakannya yang sejati, melainkan mesti dibuat tampak. Paris dibuat tampak oleh tidak hanya orang-orang yang berkepentingan dengannya, tapi juga orang yang menjalani kehidupan dengan apa-adanya dan juga hal-hal yang “bukan orang” atau “non-manusia”. Paris adalah sekumpulan orang-orang Paris, beserta air, telepon, gedung-gedungnya, dan banyak lagi. Pertanyaannya, mengapa Latour mempermasalahkan hal demikian? Apa yang “aneh” dari sebuah kota yang di dalamnya berisi warga dan juga fasilitas serta infrastruktur? Bukankah memang demikian isi dari sebuah kota, di manapun itu?

Latour bergerak lebih jauh dengan menunjukkan jejaring dari keseluruhan unsur-unsur itu (manusia dan non-manusia) yang bersifat sejajar. Paris berisi tempat yang di dalamnya memuat unsur historis, tempat orang-orang besar pernah hidup, tetapi di manakah mereka sekarang? Tentu saja, orang-orang tersebut telah tiada: Pascal, Saint Geneviève, Laplace Hugo, Péguy, Foucault, dan lainnya. Mereka tidak lagi dapat bersuara. Bagi Latour, mereka tetap hadir dalam nafas kota, dalam berbagai peninggalan yang tersurat maupun tersirat pada bangunan-bangunan (Latour & Hermant, 2006: 97).

Namun hal demikian, bagi Latour, masih merupakan pandangan tentang kota sebagai “sekumpulan suksesi” (series of successions) dalam artian rentang waktu. Kota dalam arti “sekumpulan suksesi” dianggap Latour sebagai proyek modern yang mengukur suksesi dari hal-hal baru yang menggantikan hal-hal yang lama. Latour kemudian menawarkan kota juga sebagai ruang yang isinya adalah “sekumpulan koeksistensi” (series of coexistences). Dalam sesuatu yang disebut sebagai “opera sosiologis” (sociological opera), Latour dan Hermant, lewat tampilan teks dan foto, berusaha menyajikan peran “perantara” (intermediares) yang tak terhitung, yang ambil bagian dalam koeksistensi jutaan warga Paris (Latour & Hermant, 2006: 101).

Lantas, apa “perantara” yang dimaksud oleh Latour? “Perantara” adalah keseluruhan dari mulai ekonomi, sosiologi, air, listrik, telepon, pemilik yang mempunyai hak pilih, geografi, iklim, selokan, rumor-rumor, metro, hingga pengawasan polisi, dan banyak lagi (Latour & Hermant, 2006: 101). Seluruh “perantara” tersebut bersirkulasi di Kota Paris, membentuk keseluruhan Kota Paris yang tidak bisa dipandang sebagai suksesi yang saling menggantikan. 

Di sinilah sekaligus letak kritik Latour terhadap modernisme, yang menurutnya kerap dipandang sebagai sebuah suksesi: saat satu gagasan dianggap menggantikan gagasan lainnya, saat yang satu menjadi tampak lebih baru, sementara yang sebelumnya menjadi terasa ketinggalan.

Melalui penerimaannya terhadap “perantara” itu juga, Latour mengajak untuk tidak memandang struktur sejati realitas dari satu kerangka berpikir, melainkan memahami keseluruhan jejaringnya, yang tidak hanya melibatkan manusia, tapi juga non-manusia. Struktur sejati realitas, jikapun ada, tidak bisa terlihat dengan sendirinya, tanpa ada sesuatu yang membuatnya terlihat. Jadi, pertanyaan tentang dapatkah kita melihat Paris dalam sekali pandang? Mungkin jawaban Latour: tergantung apa yang kita maksud sebagai “Paris”. Saat kita memahaminya sebagai suksesi, kita akan selalu gagal, tetapi saat kita menerima sebagai kumpulan koeksistensi, kita akan selalu melihat keseluruhan Paris.


Daftar Pustaka

  • De Vries, Gerard. (2016). Key Contemporary Thinkers: Bruno Latour. Cambridge: Polity Press.
  • Latour, Bruno & Hermant, Emilie. (2006). Paris: The Invisible City (terj. Libbrecht, Liz-Carey). Bruno Latour.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat