(Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”. Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan. Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...
(Ditulis sebagai suplemen acara peluncuran buku dan diskusi Jadilah Diri Sendiri! Kumpulan
Aforisme dan Kata Mutiara Friedrich Nietzsche, Goethe-Institut Bandung, 31 Agustus 2022)
Pemikiran Friedrich Nietzsche adalah gagasan yang saya baca pada masa awal-awal menekuni
filsafat. Zarathustra versi bahasa Indonesia yang diterjemahkan oleh H.B. Jassin begitu
membekas tidak hanya oleh isinya yang sangat berani, tetapi karena cara berfilsafat Nietzsche
yang penuh gairah, meledak-ledak, dan membuat dada ini seperti dihantam oleh martil.
Begitu kuatnya dampak dari gaya berfilsafat Nietzsche yang penuh amarah ini, sampai-sampai
saya berkesimpulan bahwa tidak mungkin menamatkan buku-buku Nietzsche seperti kita
menuntaskan karya-karya Descartes, Kant, atau Hegel yang setiap kalimatnya mesti dipahami
hingga terang benderang.
Mengapa bisa muncul kesimpulan semacam itu? Untuk menjawabnya, kita bisa meminjam
pendapat Gilles Deleuze, filsuf kontemporer Prancis pengagum Nietzsche, dalam karyanya
yang berjudul Difference and Repetition. Menurut Deleuze, Nietzsche (bersama Kierkegaard)
mempunyai andil dalam membawa filsafat pada ekspresi baru. Lebih jauh lagi, mereka
menjadikan metafisika sebagai sebuah gerak, sebuah aksi (DR, 2001: 8). Nietzsche dan
Kierkegaard, lanjut Deleuze, tidak melihat gerak sebagaimana yang dibayangkan Hegel
sebagai “representasi tentang gerak”, tetapi benar-benar gerak itu sendiri. Dalam arti kata
lain, kita bisa tafsirkan seperti ini: Nietzsche membuat kita tidak hanya memikirkan hal-hal
tentang filsafatnya, tetapi juga merasakannya. Jika ia berbicara tentang kebencian,
kemuakan, misalnya, ia ingin agar kita turut merasakan kebencian dan kemuakan itu, bukan
sekadar dalam kata-kata yang merepresentasikan konsep “kebencian” dan “kemuakan” – itu
sebabnya, Deleuze mati-matian menolak representasi.
Demikian kira-kira semacam pembenaran mengapa saya merasa tidak perlu untuk tekun
menganalisis setiap kata-kata yang dilontarkan Nietzsche dan menamatkan karya-karyanya
hingga halaman terakhir. Mungkin karena bukan itu pokok yang dikehendaki Nietzsche.
Mungkin, jika kita memperlakukan teks-teks Nietzsche seperti kita membaca Kant atau Hegel,
kita malah gagal menjadi Nietzschean. Mungkin.
Meski demikian, pembenaran semacam itu tidaklah memuaskan bahkan bagi saya sekarang.
Menjadi Nietzschean hanya melalui kontemplasi yang diperoleh lewat pembacaan setengah-
setengah adalah sikap yang kurang bertanggungjawab. Atas dasar itu, dalam tulisan ini, saya
mencoba untuk memeriksa kembali asumsi-asumsi saya berkenaan dengan pemikiran
Nietzsche lewat pembacaan teks yang lebih serius. Ada dua asumsi yang ingin dikaji kembali
yaitu berkenaan dengan pandangan bahwa Nietzsche adalah seorang ateis dan pandangan
bahwa Nietzsche adalah seorang nihilis.
Mudah sekali untuk mengatakan bahwa Nietzsche adalah seorang ateis berdasarkan
pernyataannya yang terkenal: Tuhan telah mati. Perkataannya tersebut terkandung dalam
sejumlah kalimat sebagai berikut:
“God is dead. God remains dead. And we have killed him. How shall we comfort ourselves, the
murderers of all murderers? What was holiest and mightiest of all that the world has yet
owned has bled to death under our knives: who will wipe this blood off us? What water is there
for us to clean ourselves? What festivals of atonement, what sacred games shall we have to
invent? Is not the greatness of this deed too great for us? Must we ourselves not become gods
simply to appear worthy of it?” (GS, 1974: 181)
“But when Zarathustra was alone, he spoke thus to his heart: ‘Could it be possible! This old
saint has not heard in his forest that God is dead!’.” (TSZ, 2006: 5)
“And recently I heard him say these words: ‘God is dead; God died of his pity for mankind’.”
(TSZ, 2006: 5)
Dalam ekspresi lain, Nietzsche mengungkapkan kematian Tuhan dalam bentuk yang jamak:
“Dead are all gods: now we want the overman to live.” (TSZ, 2006: 59)
Tidak sukar untuk menduga bahwa Nietzsche secara personal adalah seorang ateis tidak
hanya berdasarkan pernyataan “Tuhan telah mati”, tetapi juga kenyataan bahwa karya-
karyanya tidak pernah secara eksplisit menyatakan suatu sikap religius – bandingkan dengan
tulisan-tulisan pemikir yang hampir sejaman dengannya seperti Kierkegaard, Jaspers atau
Barth. Franz Magnis-Suseno dalam buku Menalar Tuhan bahkan melakukan apologetik
terhadap serangan dari “lima tokoh ateisme paling terkemuka dan berpengaruh” yang salah
satunya adalah Nietzsche (Magnis-Suseno, 2006: 76 – 84). Hal tersebut sekurang-kurangnya
menunjukkan bahwa selain kemungkinan sikap personalnya sebagai seorang ateis,
pandangan filosofisnya juga cukup mantap untuk digolongkan sebagai ateisme. Jadi, apa lagi
yang harus diragukan tentang ateisme Nietzsche?
Hal yang hendak dibahas di sini bukanlah berkaitan dengan sikap personal Nietzsche,
melainkan usaha memeriksa kembali apakah “Tuhan telah mati” benar-benar merupakan
pernyataan ateistik yang tegas? Kalau pernyataan “Tuhan telah mati” itu benar, lalu Tuhan
mana yang ia maksud? Nietzsche banyak menyinggung tentang Tuhan, khususnya Tuhan
Kristiani, pada bagian 357 dalam buku Gay Science. Pada bagian ini Nietzsche tidak khusus
menuliskan pernyataan “Tuhan telah mati”, tetapi lebih persisnya “kemenangan atas Tuhan
Kristiani”. Dalam kalimat-kalimat berikutnya, ia menjelaskan bagaimana moralitas Kristiani,
konsep kebenaran yang dipahami dengan ketat, telah dialihkan pada kejernihan saintifik,
suatu kebersihan intelektual (GS, 1974: 307). Segala hal yang timbul dari moralitas Kristiani,
atau pemujaan terhadapnya, lanjut Nietzsche, telah berakhir bersama penentangan yang
berasal dari hati nurani manusia.
Jika menilik konteks sejarahnya, Nietzsche hidup di sekitar akhir abad ke-19, yang ditandai
oleh maraknya pandangan saintifik dan sekaligus kian menurunnya semangat religius. Hal
tersebut setidaknya ditunjukkan lewat kemunculan pernyataan ateistik yang sifatnya lebih
personal, lewat tokoh-tokoh seperti Feuerbach, Freud, Marx, dan Nietzsche sendiri. Namun
perlu ditekankan bahwa ateisme acapkali bersifat kontekstual dalam artian mengandaikan
penolakan terhadap konsep Tuhan tertentu. Tuhan yang ditolak oleh Nietzsche, sudah jelas
diungkapkan dalam Gay Science, adalah Tuhan Kristiani. Tuhan Kristiani, dalam tafsir Paul S.
Loeb, salah satunya dicirikan oleh penciptaan alam semesta (Loeb, 2010: 231). Atas dasar itu,
kematian Tuhan Kristiani memberi jalan bagi Nietzsche untuk menawarkan konsep temporal
versinya yang cukup sering diungkapkan lewat mulut Zarathustra yakni perulangan abadi
(eternal recurrence). Dalam perulangan abadi, lanjut Loeb, Zarathustra memutus hubungan
dengan masa lalunya, memandang hidup dalam gairah yang senantiasa baru, layaknya anak-
anak tak bersalah (Loeb, 2010: 232). Namun perlu diingat, bahwa kematian Tuhan tidak
langsung berdampak menyenangkan: terdapat kekosongan panjang, suatu kondisi tanpa
landasan moral selama sekitar dua ribu tahun, semacam situasi nihilistik yang hanya bisa
diambil alih oleh Adimanusia (akan lebih banyak dijelaskan pada poin berikutnya).
Jika Nietzsche kemudian menawarkan perulangan abadi dan konsep Adimanusia sebagai
“obat” bagi rasa sakit akibat kematian Tuhan, sebenarnya apa yang hendak dikatakan oleh
Nietzsche? Kemungkinannya, ia menyerang Tuhan sebagai sebuah ketetapan makna.
Kalaupun Tuhan, atau apapun itu “nilai tertinggi” dipertahankan, mestilah sesuatu yang
“bergerak”, suatu siklus pertumbuhan – kehancuran yang tiada akhir. Itu sebabnya Nietzsche
mengatakan dalam Zarathustra:
“Saya hanya akan percaya pada Tuhan yang tahu bagaimana caranya menari.” (TSZ, 2006:
29)
Nietzsche di sini tengah mengatakan tentang perubahan terus menerus. Konsep Tuhan yang
dibunuhnya adalah Tuhan yang “statis”, yang berasal dari masa silam dan tidak menemukan
relevansinya setelah disingkirkan oleh sains. Dengan demikian, pembunuhan terhadap Tuhan
bukan dilakukan oleh Nietzsche atau Zarathustra, melainkan kita semua! Termasuk tentunya,
umat beragama yang sering membekukan Tuhan dalam ide-ide tetap pada setiap
pemujaannya. Harusnya Tuhan semacam itu dibunuh saja, biarkan lahir Tuhan-Tuhan baru
yang dinamis, terus bergerak, untuk kemudian dibunuh lagi, dihidupkan lagi, begitulah
perulangan abadi: tentang nilai-nilai yang terus ditransvaluasi. Benar bahwa secara personal
Nietzsche adalah seorang ateis, tetapi ia menyatakan bahwa semua orang bisa saja menjadi
ateis, bukan semata-mata akibat penyingkiran Tuhan, tetapi juga akibat pemujaan Tuhan
selayaknya benda mati yang telah usang.
Benarkah Nietzsche seorang Nihilis?
Nietzsche sering disebut-sebut sebagai pemikir yang merumuskan gagasan bernama
nihilisme. Hal tersebut dibuktikan salah satunya dalam manuskrip berjudul Will to Power.
Kumpulan catatan yang ditulis Nietzsche antara tahun 1883 hingga 1888 tersebut dimulai
dengan bagian berjudul European Nihilism yang terdiri dari dua sub bagian berjudul I. Nihilism
dan II. History of European Nihilism. Menurut Nietzsche, nihilisme diartikan sebagai berikut:
bahwa nilai tertinggi mendevaluasi dirinya sendiri (that the highest values devaluate
themselves) (WP, 1968: 9). Dalam penjelasan yang lebih lengkap, Nietzsche menyebutkan
bahwa nihilisme adalah keadaan psikologis yang dicapai saat kita telah mencari “makna”
dalam semua peristiwa dan ternyata tidak ada, sehingga si pencari (makna) akhirnya menjadi
putus asa. Nihilisme, kemudian, adalah sebentuk penderitaan atas kesia-siaan, perasaan
nirmakna yang berangkat dari kesadaran bahwa keseluruhan watak dari eksistensi tidak bisa
diinterpretasikan berdasarkan konsep “tujuan”, “kesatuan”, atau “kebenaran” (WP, 1968: 12
– 13).
Terdapat beberapa penjelasan lagi berkenaan dengan nihilisme dalam Will to Power, tetapi
kita bisa cukupkan sampai di sana dan masuk pada pertanyaan berikutnya: bagaimana posisi
Nietzsche terhadap nihilisme? Apakah ia seorang nihilis? Hal ini perlu dikaji ulang, karena
pandangan seseorang bahwa dunia ini tidak memiliki makna atau tujuan sama sekali, tidak
serta merta membuatnya menjadi seorang nihilis. Untuk pendapat ini, saya meminjam
pernyataan Bernard Reginster dalam Affirmation of Life: Nietzsche on Overcoming Nihilism
(2008):
“Nihilism, remember, is not the view that someone’s particular life is meaningless but the
conviction that life in general is meaningless.” (Reginster, 2008: 28)
Sebelum memutuskan apakah Nietzsche adalah seorang nihilis atau bukan, mari
membuatnya lebih rumit dengan mengurai pandangan Nietzsche berkenaan dengan
ambiguitas nihilisme, yakni nihilisme sebagai pertanda bagi peningkatan kekuatan dari roh
(nihilisme aktif) dan nihilisme sebagai pertanda bagi penurunan kekuatan dari roh (nihilisme
pasif) (WP, 1968: 17). Kita akan mulai dari yang terakhir terlebih dulu: lebih jelasnya, apa yang
dimaksud dengan nihilisme pasif? Nietzsche memberi contoh Buddhisme, sebagai nihilisme
yang tidak lagi “melakukan serangan”, pertanda atas suatu kelemahan. Sementara itu,
nihilisme aktif diartikan sebagai kekuatan maksimum dalam melakukan destruksi (WP, 1968:
18).
Sebagai seorang pembaca Nietzsche abal-abal, tentu saya akan dengan terburu-buru
menyimpulkan bahwa Nietzsche mengajak kita untuk menjadi nihilis aktif, karena di sana
terdapat pernyataan tentang “kekuatan” dan “destruksi”. Namun ternyata, saat diperiksa
lebih dalam, tidak ada pernyataan eksplisit bahwa Nietzsche meninggikan nihilisme aktif
ketimbang nihilisme pasif kecuali berupa deskripsi-deksripsi belaka. Lebih persisnya,
keduanya hanya berupa ragam reaksi terhadap ketiadaan makna dan tiada satupun yang
disebut sebagai reaksi yang lebih baik. Hal ini ditegaskan oleh Karen L. Carr dalam buku
berjudul The Banalization of Nihilism (1992) yang menyebutkan bahwa nihilisme aktif dan
nihilisme pasif sama-sama problematik karena berada pada kutub yang sama-sama ekstrem
(Carr, 1992: 43).
Beraneka pandangan Nietzsche tentang nihilisme tidak juga membawa kita pada jawaban
yang jitu terkait apakah ia adalah seorang nihilis atau bukan. Pun ia tidak memberi petunjuk
yang memuaskan berkenaan dengan sikap yang mesti ditempuh dalam menghadapi
nihilisme: apakah sebaiknya bersikap pasif atau aktif? Namun bukanlah seorang Nietzschean
jika kita mudah ditundukkan oleh bahasa dan berhenti pada ketetapan makna semantik.
Terlebih lagi, pertanyaan seperti “apakah kita sebaiknya bersikap pasif atau aktif?” adalah
pertanyaan yang konyol dalam terang pemikiran Nietzsche yang kerap mempraktikkan
ambiguitas dan kontradiksi. Untuk mengakhiri “perdebatan” yang agak dibuat-buat ini, mari
menengok tawaran Nietzsche tentang Adimanusia (Ãœbermensch) dalam Thus Spoke
Zarathustra.
Apa itu Adimanusia? Kita tidak akan menemukan penjelasan terang benderang dari Nietzsche
seperti halnya definisi dalam kamus-kamus. Hal yang bisa kita ketahui adalah bahwa
Adimanusia merupakan “sesuatu yang melampaui manusia” (implisit dari pernyataan:
“Human being is something that must be overcome. What have you done to overcome him?”),
“makna dari bumi” (“The overman is the meaning of the earth. Let your will say: the overman
shall be the meaning of the earth.”), dan “ia adalah gelegar dan kegilaan ini” (“(...) he is this
lightning, he is this madness!”) (TSZ, 2006: 5 - 7). Menjadi Adimanusia, secara tidak langsung
dikatakan, dimanifestasikan lewat “kesetiaan pada bumi” (“(...) remain faithful to the earth,
and do not believe those who speak to you of otherworldly hopes!”) (TSZ, 2006: 7).
Melalui gagasan Adimanusia ini, apakah dapat disimpulkan bahwa Nietzsche bukanlah
seorang nihilis? Karena hal tersebut setidaknya menunjukkan bagaimana Nietzsche telah
menetapkan suatu “nilai tertinggi” yang mestinya ia tolak – jika konsisten dengan pandangan
nihilisme. Namun kesimpulan ini juga tidak bisa terburu-buru diambil! Justru penting untuk
diperhatikan bahwa Nietzsche tidak menggambarkan dengan jelas apa yang dimaksud
dengan Adimanusia. “Nilai tertinggi” ini kelihatannya enggan didefinisikan oleh Nietzsche
karena ia khawatir mengingkari nihilisme itu sendiri. Itu sebabnya, dalam pandangan
Reginster, disebutkan bahwa Adimanusia bukanlah konsep yang menentukan tujuan yang
semestinya kita raih, tetapi hal yang lebih utama adalah melampauinya terus menerus
(Reginster, 2006: 251).
Pada titik ini, kita kurang lebih dapat menyimpulkan: bahwa Nietzsche jelas merumuskan
gagasan nihilisme dan ia adalah seorang nihilis. Namun Nietzsche bukan nihilis pasif yang ia
tuding sebagai sikap yang lemah. Nietzsche, berdasarkan gagasannya perkara Adimanusia,
tentu lebih cocok disebut sebagai nihilis aktif karena usahanya untuk terus melampaui.
Namun konsepsi mengenai Adimanusia berpotensi membuatnya tersandung: saat Nietzsche
merumuskan “nilai tertinggi”, ia tidak lagi menjadi nihilis. Untungnya, Nietzsche tidak
melakukan pengekangan terhadap definisi Adimanusia. Hal demikian dianggap bagian dari
konsistensi Nietzsche untuk tidak terjebak pada ketetapan makna yang membuai. Pendeknya,
dapat dikatakan seperti ini: bahkan bagi siapapun yang berhasil menjadi Adimanusia, konsep
tersebut mesti dihancurkan dan dilampaui. Jadi, apakah Nietzsche nihilis atau bukan, tidak
lagi menjadi soal karena kedua kutub jawaban tersebut akan menjatuhkan kita pada
ketetapan makna yang sudah pasti ditolak Nietzsche. Hal yang lebih meyakinkan: apapun
definisi kita tentang Nietzsche, kita harus sekaligus melampauinya.
Carr, Karen L. (1992). The Banalization of Nihilism: Twentieth-Century Responses to
Meaninglessness. New York: State University of New York Press.
Deleuze, Gilles. (2001). Difference and Repetition (terj. Patton, Paul). London & New York:
Continuum.
Loeb, Paul S. (2010). The Death of Nietzsche’s Zarathustra. New York: Cambridge University
Press.
Magnis-Suseno, Franz. (2006). Menalar Tuhan. Yogyakarta: Kanisius.
Nietzsche, Friedrich. (1968). The Will to Power (terj. Kaufmann, Walter & Hollingdale, Reginald
John). New York: Vintage Books.
Nietzsche, Friedrich. (1989). On the Genealogy of Morals & Ecce Homo (terj. Kaufmann,
Walter & Hollingdale, Reginald John). New York: Vintage Books.
Nietzsche, Friedrich. (2006). Thus Spoke Zarathustra A Book for All and None (terj. Del Caro,
Adrian). New York: Cambridge University Press.
Reginster, Bernard. (2008). The Affirmation of Life: Nietzsche on Overcoming Nihilism.
Cambridge & London: Harvard University Press.
Comments
Post a Comment