Skip to main content

Kronologi dan Duduk Perkara Kasus SM

Pada tulisan ini, saya Syarif Maulana, akan menjabarkan kronologi selengkap-lengkapnya tentang segala proses berkaitan dengan kasus dugaan kekerasan seksual yang dituduhkan pada saya tanggal 9 Mei 2024 di media sosial X. Tuduhan tersebut menjadi viral dan menyebabkan saya dipecat dari berbagai institusi, tulisan-tulisan diturunkan dari berbagai media, buku-buku dicabut dari penerbitan, dan dikucilkan dari berbagai komunitas filsafat, termasuk komunitas yang saya bangun sendiri, Kelas Isolasi.  Penulisan kronologi ini dilakukan dalam rangka menjelaskan duduk perkara dan perkembangan kasus ini pada publik berdasarkan catatan dan dokumentasi yang saya kumpulkan.  Tuduhan kekerasan seksual (selanjutnya akan disingkat KS) kepada saya dimulai pada tanggal 9 Mei 2024, dipicu oleh cuitan dari akun @flutuarsujet yang menuliskan “... katanya dia pelaku KS waktu di Tel**m, korbannya ada lima orang …”. Kata “Tel**m” tersebut kemungkinan besar mengacu pada Telkom University, tempat saya bekerja seb

Lingkaran

Kami yang terdiri dari beberapa pemilik dan pekerja lapak rutin nongkrong di sebuah warung di Batununggal nyaris setiap selesai foodcourt tutup. Apa yang dilakukan sepanjang nongkrong itu, ya begitu-begitu saja: bergosip, merokok, ngopi, makan paket sepuluh ribuan, dan kadang-kadang minum kalau sedang ada uang. Topik yang dibicarakan adalah seputaran omzet, kejadian tak biasa di foodcourt, kebijakan dari atas, atau kelakuan si ini si itu. 

Memang dalam sejumlah momen, ada pembahasan yang agak dalam, seperti orientasi seksual, pengalaman-pengalaman unik, dan sejarah kegagalan percintaan. Tetapi pembahasan semacam itu tak terlalu sering. Mungkin dianggap memerlukan konsentrasi tambahan, sementara pikiran ini sudah mumet. 

Dalam kondisi serumit apapun, merokok dan ngopi, kadang minum, adalah hal yang hampir wajib. Uang yang sedikit tak boleh disia-siakan untuk mengonsumsi barang-barang yang dipandang mampu menurunkan stres. Pengeluaran-pengeluaran pas nongkrong ini seringkali tak masuk akal jika dibandingkan dengan omzet harian. Namun bagi kami, sepertinya tak masalah selama bisa sesaat melegakan pikiran, sebelum bertempur lagi keesokan harinya. Bahasa gampangnya: "Gak apa-apa gak ada duit, yang penting nongkrong dulu. Nanti gimana nanti, besok gimana besok."

Saya sempat berpikir, apakah kondisi semacam ini begitu tidak produktif? Alih-alih menggunakan uang untuk menabung atau menyambung hidup, kami malah menghabiskannya untuk merokok dan mabuk-mabukan. Tetapi setelah dipikir-pikir, bukankah hal semacam ini terjadi di hampir semua kelas?

Pada kelas yang lebih atas, sama saja. Waktu luang, bagi sebagian orang, digunakan untuk berbelanja, makan enak (kadang pake paylater) juga mabuk-mabukan, sampai uang habis, seolah menjadi lingkaran tak ada putusnya: bekerja supaya bisa mabuk-mabukan, mabuk-mabukan supaya bisa bekerja. 

Tetapi kadang begitulah hal yang bisa dilakukan jika harapan untuk mengubah keadaan tak kunjung kelihatan. Menganggap hari-hari akan berjalan selalu sama, membuat kami merasa tak perlu berbuat sesuatu yang istimewa setiap harinya. Dorongan untuk mengubah keadaan kadang cuma bisa dibayangkan lewat sesuatu yang instan seperti menikah dengan pasangan kaya, dapat jackpot slot, atau pinjaman bank emok. Selebihnya, kami bekerja keras untuk membeli candu, demi melupakan sejenak kerasnya hidup itu sendiri.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat