Skip to main content

Ringan

Dalam adegan pertempuran terakhir di film 300 (2006) yang mengambil latar peperangan Thermopilae, Leonidas, raja Sparta, melepaskan helm, jubah, dan tombaknya untuk menunjukkan penyerahan diri pada raja Persia, Xerxes. Penyerahan diri tersebut rupanya pura-pura saja. Leonidas sengaja melepaskan segala atribut perangnya, justru supaya tubuhnya lebih ringan demi melompat lebih tinggi, menghujamkan tombaknya yang berhasil menggores pipi Xerxes. Menurut sang narator, helm dan jubah itu terlalu memberatkan Leonidas. Jika tetap digunakan, maka sukar bagi sang raja Sparta untuk menjangkau Xerxes yang berdiri angkuh di atas singgasana.  Kita bisa sekaligus melihatnya secara simbolik. Bahwa dalam bermasyarakat, umumnya kita mengejar "helm" dan "jubah" sebagai katakanlah, simbol kehormatan, suatu atribut untuk membuat kita menjadi terpandang di mata orang-orang. "Helm" dan "jubah" itu bisa berapa apapun, seperti taraf ekonomi, pendidikan, ketenaran, jabat

Bagaimana Levinas Menanggapi Konflik Israel - Palestina?


(Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) 

Beberapa hari belakangan, dunia internasional kembali dikejutkan oleh memanasnya konflik Israel – Palestina yang ditandai oleh serangan Hamas dari Jalur Gaza, langsung menuju keramaian warga sipil dan juga lokasi militer strategis Israel. Ragam pemberitaan bermunculan, termasuk di media sosial, yang menunjukkan bahwa serangan ini tergolong masif – menimbulkan reaksi berupa penetapan “kondisi perang” oleh otoritas Israel. Respons warganet tentu terbelah, antara mereka yang mendukung pembebasan Palestina versus mereka yang mendukung keberlangsungan negara Israel. 

Perkara sejarah konflik antara Israel versus Palestina yang telah berlangsung sejak 1948 tidak perlu diceritakan panjang lebar dalam tulisan ini. Hal yang hendak dibahas adalah pandangan filsuf Prancis – Yahudi, Emmanuel Levinas (1906 – 1995), atas konflik Israel – Palestina. Mengapa pandangan Levinas menarik untuk dibicarakan dalam konteks ini? Dari sisi latar belakang, Levinas memiliki sejarah kelam terkait peristiwa holocaust. Separuh anggota keluarganya dibawa ke kamp konsentrasi dan tak pernah kembali. Levinas selamat karena ditahan dalam status tahanan perang (Levinas adalah tentara Prancis saat ditangkap oleh tentara Nazi Jerman) yang membuatnya tidak digiring ke kamp konsentrasi. 

Hal yang lebih menarik adalah soal pemikiran Levinas sebagaimana dituliskan dalam buku pentingnya, Totality and Infinity. Pemikiran Levinas tidak bisa dikatakan sederhana, tetapi secara garis besar, kira- kira gagasannya berkaitan dengan “etika sebagai filsafat pertama”. Pernyataan tersebut adalah sebentuk kritiknya terhadap Aristoteles yang menuliskan bahwa “metafisika sebagai filsafat pertama”. Apa arti kata-kata Levinas yang menempatkan konsep etika seolah-olah di atas segalanya? 

Bagi Levinas, tindakan kita pada orang lain tidak bisa ditempatkan dalam kerangka universal seolah- olah setiap orang bisa diperlakukan dengan sama. Levinas mengajak kita untuk berempati pada “wajah orang lain” sebagai individu yang unik dan otentik, melampaui segala konsep dan kategori kita tentang manusia. Saat berhadapan dengan wajah orang lain itu, kita terpanggil untuk bertanggung jawab sepenuhnya pada mereka. 

Lantas, bagaimana Levinas menjawab kekejaman Nazi Jerman dalam holocaust? Tidakkah mereka berhadapan dengan wajah-wajah yang memelas dan minta dikasihani? Mengapa masih juga terjadi pembantaian? Bagi Levinas, di mata para eksekutor itu, wajah orang lain tidak dianggap sebagai individu yang otentik, melainkan direduksi pada konsep-konsep universal yang ada dalam kepala mereka, seolah-olah manusia di hadapannya ini tidak lebih dari sekadar musuh yang bertentangan dengan ideologi partai atau negara. 

Etika Levinas memberi kontribusi penting dalam filsafat karena menempatkan “orang lain” sebagai prioritas utama dalam relasi. “Orang lain” bukanlah benar-benar “yang lain”, “orang lain” adalah “diri kita yang lain”, bahkan ditarik ke wilayah transenden sebagai “wujud yang Ilahi”. “Orang lain” ini bukan direduksi dari konsep, melainkan berangkat dari “wajah” sebagai titik tolak eksistensi. Etika Levinas juga memperkenalkan gagasan tentang relasi asimetris, yakni hubungan yang tidak harus selalu berbentuk transaksional alias “sama-sama menguntungkan”, melainkan berbasis tanggung jawab terhadap orang lain. 

Gagasan etika Levinas memberi angin segar bagi cara berpikir masyarakat modern yang dikritiknya kerap mengobjekkan “yang lain” dalam konsep-konsep tertentu. Meski demikian, pemikiran Levinas, sebagai seorang Yahudi, mendapat tantangan serius dalam konflik Israel – Palestina. Pertanyaannya, bagaimana etika wajah orang lain ini bisa digunakan dalam perang berkepanjangan yang korban jiwanya sudah begitu banyak? 


Levinas pernah diundang wawancara, dua minggu setelah pembantaian di kamp pengungsian Sabra dan Shatilla di Lebanon tahun 1982. Pada peristiwa tersebut, pihak Israel dianggap punya andil besar dalam pembantaian ribuan warga sipil Palestina dan kelompok Palestine Liberation Organization (PLO) yang dilakukan oleh kelompok Kristen Lebanon sebagai balasan atas dibunuhnya presiden yang baru diangkat, Bachir Gemayel. Gemayel memang punya kedekatan dengan Israel dan kematiannya menimbulkan reaksi keras dari otoritas Israel. Transkrip wawancara antara Shlomo Malka dan Levinas bersama narasumber lainnya yakni Alain Finkielkrau tersebut dimuat dalam The Levinas Reader (1990) bab Ethics and Politics

Dalam wawancara ini, gagasan Levinas tentang “yang lain” diuji lewat pertanyaan tentang sikap Israel terhadap Palestina. Levinas menjawab bahwa “yang lain” dapat diibaratkan sebagai tetangga. Jika kita berpihak pada “yang lain”, kita sekaligus berpihak pada tetangga. Namun saat tetangga kita menyerang tetangga lain atau memperlakukannya secara tidak adil, apa yang bisa kita lakukan? Levinas melanjutkan, bahwa dalam pemahaman kita akan “yang lain” (Levinas menyebutnya juga sebagai alteritas), kita bisa mengindentifikasi musuh, atau setidak-tidaknya, kita bisa mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, mana yang adil dan mana yang tidak adil. Memang di luar sana terdapat pihak yang keliru (1990: 294). 

Pernyataan Levinas tersebut terdengar kurang jelas karena tidak secara tegas mengutuk atau mendukung Israel. Namun sudah terlihat dalam pernyataannya, bahwa dalam alteritas, kitab isa menemukan “yang keliru” (apakah Levinas tengah menunjuk pada orang-orang Palestina?). Finkielkrau kemudian memberikan pendapat bahwa orang-orang Yahudi, akibat penderitaan teramat hebat yang muncul dari holocaust, merasa tidak perlu lagi diajari siapapun tentang tanggung jawab moral. Finkielkrau menyebut sikap ini sebagai “godaan atas ketakbersalahan” (“the temptation of innocence”) (1990: 290). Levinas berlainan pendapat dengan Finkielkrau, dengan menyebutkan bahwa ketakbersalahan tidak membuat orang-orang Yahudi lepas dari tanggung jawab moral. Justru dengan demikian, semestinya orang-orang Yahudi dapat lebih mampu merespons penderitaan orang lain dengan kasih sayang dan empati. 

Lagi-lagi kita belum menemukan posisi yang jelas dari Levinas terhadap kejadian pembantaian tersebut. Dalam respons yang lain, Levinas membedakan antara etika dan politik, yang menurutnya memiliki justifikasinya masing-masing. Apa yang dilakukan Israel, adalah tindakan politik, tetapi sekaligus memiliki pembenaran etis, yang disebut Levinas sebagai “ide lama yang memerintahkan kita untuk membela tetangga kita” (1990: 292). Apa yang dimaksud sebagai “tetangga” di sini tidak dijelaskan secara gamblang, apakah mengacu pada orang Yahudi membela tetangganya sesama Yahudi, atau orang Yahudi membela tetangganya yakni orang Palestina. 

Dalam artikel berjudul The Faceless Palestinian: A History of an Error (2016) yang ditulis oleh Oona Eisenstadt dan Claire Elise Katz, disebutkan bahwa Levinas memang sengaja menjawab pertanyaan- pertanyaan dengan menariknya pada persoalan filosofis ketimbang langsung menyatakan dukungan secara konkret. Hal ini menunjukkan semacam kehati-hatian dari Levinas atas berita yang waktu itu masih agak simpang siur. Selain itu, meminjam pandangan Howard Caygill dalam Levinas and the Political (2002), Levinas kelihatannya tengah membicarakan “yang lain” dalam perspektif yang lebih transendental ketimbang empirikal. Artinya, lagi-lagi, Levinas enggan terjebak membicarakan peristiwa yang tengah ramai secara terlalu detail. 

Atas komentarnya yang kurang tegas dan malah agak condong ke Israel, Levinas menerima berbagai kritik, diantaranya berasal dari Caygill sendiri, dan juga dalam tulisan Martin Jay (1990) dan Judith Butler (2012) yang keseluruhannya dirangkum dalam artikel Eisenstadt dan Katz. Meski demikian, Eisenstadt dan Katz berpandangan bahwa menjadi tidak adil bagi sang filsuf, jika pernyataan- pernyataannya dalam sebuah wawancara, meruntuhkan seluruh proyek filsafatnya tentang “Yang Lain”. Kita bisa menuduh Levinas sebagai hipokrit dan bahkan rasis, tetapi mestinya tidak berarti bahwa gagasannya tentang etika menjadi tidak berarti sama sekali. 

Pandangan Eisenstadt dan Katz ada benarnya, tetapi juga membuat kita harus mundur sejenak: terhadap etika Levinasian yang pernah memberi harapan akan kemanusiaan, nyatanya, masih menyisakan lubang yang berasal dari kerancuan dalam membedakan apa yang etis dan apa yang politis. Levinas bisa menolak tindakan Nazi Jerman yang mengabaikan tindakan etis menjadi semata- mata politis, tetapi mengapa tidak bisa berpandangan sama terhadap tindakan yang dilakukan oleh Israel? Apakah karena bias latar belakang Levinas sendiri? Atau memang jangan-jangan, di lubuk hatinya, Levinas beranggapan bahwa orang-orang Palestina adalah orang-orang “tanpa wajah”?

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat