Skip to main content

Ringan

Dalam adegan pertempuran terakhir di film 300 (2006) yang mengambil latar peperangan Thermopilae, Leonidas, raja Sparta, melepaskan helm, jubah, dan tombaknya untuk menunjukkan penyerahan diri pada raja Persia, Xerxes. Penyerahan diri tersebut rupanya pura-pura saja. Leonidas sengaja melepaskan segala atribut perangnya, justru supaya tubuhnya lebih ringan demi melompat lebih tinggi, menghujamkan tombaknya yang berhasil menggores pipi Xerxes. Menurut sang narator, helm dan jubah itu terlalu memberatkan Leonidas. Jika tetap digunakan, maka sukar bagi sang raja Sparta untuk menjangkau Xerxes yang berdiri angkuh di atas singgasana.  Kita bisa sekaligus melihatnya secara simbolik. Bahwa dalam bermasyarakat, umumnya kita mengejar "helm" dan "jubah" sebagai katakanlah, simbol kehormatan, suatu atribut untuk membuat kita menjadi terpandang di mata orang-orang. "Helm" dan "jubah" itu bisa berapa apapun, seperti taraf ekonomi, pendidikan, ketenaran, jabat

Bagaimana Kekuasaan Bekerja?



(Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak)


Michel Foucault (1926 – 1984) adalah pemikir asal Prancis yang memfokuskan kajiannya pada konsep power atau kuasa. Saat kita membicarakan kuasa, apa yang kita bayangkan? Kemungkinan kita membayangkan sosok seperti bos, penguasa, atau pemimpin militer yang memberi instruksi bagi bawahannya. 

Tipe kuasa semacam itu memang jelas adanya, tetapi hanya salah satu jenis saja dari bermacam- macam jenis kuasa. Kuasa seperti demikian digolongkan Foucault sebagai kuasa berdaulat (sovereign power). Dalam artikel ini, kita akan membicarakan analisis Foucault terhadap jenis kuasa yang lain yakni kuasa pendisiplinan (disciplinary power). Tidak seperti kuasa berdaulat yang dibayangkan berasal “dari atas ke bawah”, kuasa pendisiplinan bisa juga muncul “dari bawah ke atas” dan bahkan berlaku secara horizontal. 

Kuasa pendisiplinan pertama-tama mesti dipahami sebagai kuasa yang bekerja pada level individu (Foucault, 2006: 75), lebih persisnya, pada tubuh individu (Foucault, 2006: 14). Foucault menekankan bahwa kuasa pendisiplinan ini bekerja dengan cermat, menyeluruh, dan terus menerus dalam rangka menjadikan tubuh lebih patuh dan berguna (Hoffman, 2010: 28). 

Kerja kuasa pendisiplinan ini salah satunya dilakukan dengan cara mengelompokkan individu-individu lewat apa yang disebut sebagai “seni penyebaran” (“the art of distributions”). Seni penyebaran dipraktikkan misalnya dengan keberadaan sekat atau dinding pemisah pada pabrik atau barak (Foucault, 1979: 141 - 143). Pemisah ini difungsikan untuk menghindari aktivitas beramai-ramai yang bisa membawa pada kegiatan yang merugikan seperti mogok atau keluyuran. 

Kuasa pendisiplinan tentu harus berlangsung secara kontinyu agar tubuh terjaga kepatuhannya. Pertanyaannya, bagaimana agar membuat tubuh terus-terusan menjadi taat? Foucault kemudian menganalisis tiga teknik yaitu observasi hierarkis (hierarchical observation), penilaian penormalan (normalizing judgement), dan pemeriksaan (the examination). 

Tentang observasi hierarkis, Foucault memberi contoh bagaimana pengawasan terhadap pasien rumah sakit jiwa pada awal abad ke-19 tidak hanya dilakukan oleh dokter, tapi juga oleh para pengawas dan pelayan yang sekaligus bertugas mengumpulkan informasi tentang pasien untuk dilaporkan pada dokter (Foucault, 2006: 4 - 6).

Contoh tersebut tidak serta merta menunjukkan bahwa pengawasan hanya berlangsung “dari atas ke bawah” (dokter pada pasien melalui pengawas dan pelayan). Foucault mengingatkan bahwa kuasa bekerja dari berbagai arah, termasuk dari pasien pada pengawas dan pelayan, pengawas dan pelayan pada dokter, atau diantara para pengawas dan pelayan itu sendiri. Inilah yang dimaksud hierarki dalam versi Foucault, yakni tingkatan yang ditentukan bukan dari pekerjaan atau status sosial, melainkan tentang siapa yang diawasi dan siapa yang mengawasi. 

Teknik berikutnya adalah penilaian penormalan. Tubuh tidak hanya harus bisa diawasi, tapi juga memungkinkan untuk dinilai. Penilaian ini dapat memutuskan tentang tubuh mana yang berlaku sesuai “norma” dan mana yang menyimpang sehingga perlu didisiplinkan. Penting untuk diingat bahwa “norma” dalam pengertian Foucault ini mengacu pada standar pemberlakuan mana yang dipandang “normal” dan mana yang dianggap “abnormal”. Perumusan yang “normal” dilakukan terlebih dahulu demi memberikan penilaian sekaligus dasar pengoreksian bagi mereka yang “abnormal” (Hoffman, 2010: 32). 

Teknik selanjutnya, yakni pemeriksaan, adalah ujung dari penerapan teknik observasi hierarkis dan penilaian kenormalan (Foucault, 1979: 184). Dalam pemeriksaan, segala bentuk pendisiplinan harus bisa dilihat keseluruhan hasilnya, seperti ribuan tentara yang berbaris rapi di lapangan dan dipandang dari kejauhan oleh pemimpin negara atau transkrip akademik mahasiswa yang dipelajari oleh dosen wali. Barisan tentara dan transkrip akademik adalah buah penerapan kuasa pendisiplinan yang pada akhirnya dapat dimonitor dan diukur. 

Penting untuk diketahui bahwa argumen Foucault tentang kuasa tidak diarahkan pada penilaian bahwa kuasa itu sesuatu yang positif atau negatif. Foucault hanya mengurai tentang bagaimana kekuasaan bekerja. Bahkan Foucault tidak menawarkan solusi atau cara-cara dalam melawan kekuasaan itu. Pandangan demikian berbeda dengan pemikir seperti misalnya Antonio Gramsci yang menawarkan semacam metode untuk melakukan kontra hegemoni.


Referensi:
  • Foucault, M. (1979). Discipline and Punish: The Birth of the Prison (A. Sheridan, Trans.). New York: Vintage.
  • Foucault, M. (2006). Psychiatric Power: Lectures at the Collège de France 1973-1974 (J. Lagrange, Ed., G. Burchell, Trans.). Basingstoke: Palgrave Macmillan.
  • Hoffman, M. (2010). Disciplinary power. In D. Taylor (Ed.), Michel Foucault: Key Concepts (pp. 27–40). chapter, Acumen Publishing.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat