Skip to main content

Badai

Maka metamorfosis roh menurut Nietzsche berakhir pada anak sebagai puncak, setelah sebelumnya menjadi unta dan singa. Apa maksudnya menjadi anak? Saya sering mencontohkan peristiwa banjir. Unta akan pasrah pada banjir, singa berusaha melawan banjir, sementara anak akan bermain dengan banjir itu. Seseorang yang telah mencapai tahap metamorfosis anak sebenarnya tak perlu ambil pusing tentang nasibnya: dia bisa jadi seorang pekerja kantoran yang dieksploitasi dari jam sembilan sampai jam lima, tetapi tak perlu capek-capek berontak atau berupaya melawan sistem. Dalam tahap metamorfosis anak, dia akan mampu menjalaninya dengan luwes seperti sebuah peran. Seperti sebuah permainan .  Dia tahu dia melakukannya demi uang, sehingga tak ada gunanya merasa terbebani (seperti seekor unta) atau berusaha mengubah tatanan (seperti seekor singa). Jalani saja seperti seorang aktor dalam pertunjukan, yang tengah memainkan peran sebagai "pekerja kantoran" dengan sebaik-baiknya. Setelah pertunjuk

Tentang Badminton

 

Badminton di mana mana
Di kampung jeung di kota
Badminton keur suka suka
Ngalipur manah sungkawa

Dilob, apung-apungan
Dicok, kana net nyangsang
Dismesh, ka beulah kenca
Backhand, tisoledat

Kok na, ku bulu entog
Net na, samping na butut
Raket na, panggebug kasur
Tempat na, tempat na di kebon awi

Tidak banyak cabang olahraga yang dibuat lagunya di Indonesia. Mungkin cuma badminton dan sepakbola. Sepakbola jelas, politis. Betapapun timnas kita tak pernah membanggakan, lagu tentang sepakbola harus dibuat karena jumlah penggemarnya yang ramai. Penggemar badminton di Indonesia juga ramai, tapi rasa-rasanya tak pernah sampai ditonton ratusan ribu orang di stadion dengan pendukung fanatik seperti halnya sepakbola (selain karena gelanggangnya juga tak cukup besar untuk menampung). 

Ingat dalam suatu masa, saat saya masih remaja, Papap bilang bahwa hampir semua orang Indonesia bisa main badminton (terlepas tingkat kemahirannya). Mungkin Papap sedang menyamakannya dengan orang Brasil yang seolah-olah semua orangnya bisa main sepakbola. Mungkin asumsi ini tidak salah-salah amat jika mencermati lagu Mang Koko di atas. Badminton dimainkan di mana-mana: di kampung jeung di kota. 

Namun dugaan tersebut barangkali ada benarnya jika merunut pada dua atau tiga dekade yang lalu, ketika Indonesia menjadi salah satu kekuatan dunia di cabor badminton. Sekarang ini badminton tampaknya sudah kian ramai dimainkan oleh banyak negara, terbukti dari berprestasinya sejumlah negara seperti Inggris, Spanyol, India, Thailand, Hong Kong, yang dulunya dipandang sebelah mata, di luar poros dominan seperti China, Indonesia, Malaysia, atau Denmark. 

Saya melihat bahwa meningkatnya popularitas badminton dimulai dari perubahan sistem poinnya. Sebelumnya, poin hanya akan bertambah dalam posisi pemain memegang servis. Itu sebabnya, pertandingan badminton tak terukur waktunya dan bahkan bisa berlangsung sangat lama jika perpindahan servis terjadi terus menerus tanpa tambahan angka. Sejak tahun 2006, sistem poin berubah menjadi poin reli tanpa harus menunggu pemain memegang servis. Kelihatannya gara-gara perubahan sistem ini, badminton menjadi populer terutama karena durasi permainan yang lebih bersahabat. Dengan sistem semacam itu, sudah jarang kita menyaksikan durasi satu permainan badminton mencapai dua jam. Permainan satu jam setengah, sekarang ini, sudah tergolong lama. 

Kita lihat bagaimana perubahan sistem yang bersahabat terutama bagi stamina penonton dan tayangan televisi ternyata mampu mendorong ramainya persaingan badminton. Hal ini memperlihatkan bahwa olahraga memiliki kaitan erat dengan ekonomi dan juga sosiologi: pertimbangan atas ketahanan audiens dan durasi televisi ternyata mengubah lanskap olahraga itu sendiri. Bayangkan sistem poin masih diberlakukan seperti dulu, mungkin tak banyak orang tertarik nonton badminton. Badminton pun tak laku ditayangkan di televisi.

Di Olimpiade Paris 2024, terlihat bagaimana penonton ramai memadati stadion badminton. Padahal ini di Eropa, tempat yang kurang memiliki tradisi melahirkan para pemain badminton hebat (kecuali Denmark). Selain badminton sebagai contoh bagaimana perubahan sistem dapat menaikkan persaingan, sudah sejak dulu saya mengamati NBA sebagai contoh kompetisi yang komplit secara kualitas pemain dan juga keberlangsungannya secara ekonomi. 

NBA adalah satu dari sedikit negara yang menerapkan dua belas menit per kuarter (selain China dan Filipina, setahu saya). Dengan durasi yang lebih lama dari menit umumnya yang hanya sepuluh, NBA punya waktu lebih lama memainkan time out. Time out ini menjadi jalan masuk bagi iklan-iklan yang membuat NBA menjadi salah satu kompetisi olahraga paling glamor di dunia.

Ada hal yang menjadi kesamaan antara NBA dan badminton dalam hal sistem yang membuatnya menjadi populer: poin yang banyak dan bergantian. Orang sepertinya senang dengan skor yang tinggi karena lebih menggocek emosi. Pertandingan sepakbola yang berujung 1-0 umumnya kalah seru ketimbang partai yang skornya 3-2, misalnya, meskipun selisihnya sama-sama satu angka. Begitupun badminton yang skornya 21-16 tampak lebih menarik ketimbang 15-10. NBA jangan ditanya, sudah lazim kita melihat setiap tim mencetak angka lebih dari 100. Semua perkara ini bukan sekadar bicara tentang kualitas pemain, tetapi juga sistem yang memungkinkannya lebih menarik di mata orang-orang yang menontonnya. 

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k