Badminton di mana mana
Di kampung jeung di kota
Badminton keur suka suka
Ngalipur manah sungkawa
Dilob, apung-apungan
Dicok, kana net nyangsang
Dismesh, ka beulah kenca
Backhand, tisoledat
Kok na, ku bulu entog
Net na, samping na butut
Raket na, panggebug kasur
Tempat na, tempat na di kebon awi
Tidak banyak cabang olahraga yang dibuat lagunya di Indonesia. Mungkin cuma badminton dan sepakbola. Sepakbola jelas, politis. Betapapun timnas kita tak pernah membanggakan, lagu tentang sepakbola harus dibuat karena jumlah penggemarnya yang ramai. Penggemar badminton di Indonesia juga ramai, tapi rasa-rasanya tak pernah sampai ditonton ratusan ribu orang di stadion dengan pendukung fanatik seperti halnya sepakbola (selain karena gelanggangnya juga tak cukup besar untuk menampung).
Ingat dalam suatu masa, saat saya masih remaja, Papap bilang bahwa hampir semua orang Indonesia bisa main badminton (terlepas tingkat kemahirannya). Mungkin Papap sedang menyamakannya dengan orang Brasil yang seolah-olah semua orangnya bisa main sepakbola. Mungkin asumsi ini tidak salah-salah amat jika mencermati lagu Mang Koko di atas. Badminton dimainkan di mana-mana: di kampung jeung di kota.
Namun dugaan tersebut barangkali ada benarnya jika merunut pada dua atau tiga dekade yang lalu, ketika Indonesia menjadi salah satu kekuatan dunia di cabor badminton. Sekarang ini badminton tampaknya sudah kian ramai dimainkan oleh banyak negara, terbukti dari berprestasinya sejumlah negara seperti Inggris, Spanyol, India, Thailand, Hong Kong, yang dulunya dipandang sebelah mata, di luar poros dominan seperti China, Indonesia, Malaysia, atau Denmark.
Saya melihat bahwa meningkatnya popularitas badminton dimulai dari perubahan sistem poinnya. Sebelumnya, poin hanya akan bertambah dalam posisi pemain memegang servis. Itu sebabnya, pertandingan badminton tak terukur waktunya dan bahkan bisa berlangsung sangat lama jika perpindahan servis terjadi terus menerus tanpa tambahan angka. Sejak tahun 2006, sistem poin berubah menjadi poin reli tanpa harus menunggu pemain memegang servis. Kelihatannya gara-gara perubahan sistem ini, badminton menjadi populer terutama karena durasi permainan yang lebih bersahabat. Dengan sistem semacam itu, sudah jarang kita menyaksikan durasi satu permainan badminton mencapai dua jam. Permainan satu jam setengah, sekarang ini, sudah tergolong lama.
Kita lihat bagaimana perubahan sistem yang bersahabat terutama bagi stamina penonton dan tayangan televisi ternyata mampu mendorong ramainya persaingan badminton. Hal ini memperlihatkan bahwa olahraga memiliki kaitan erat dengan ekonomi dan juga sosiologi: pertimbangan atas ketahanan audiens dan durasi televisi ternyata mengubah lanskap olahraga itu sendiri. Bayangkan sistem poin masih diberlakukan seperti dulu, mungkin tak banyak orang tertarik nonton badminton. Badminton pun tak laku ditayangkan di televisi.
Di Olimpiade Paris 2024, terlihat bagaimana penonton ramai memadati stadion badminton. Padahal ini di Eropa, tempat yang kurang memiliki tradisi melahirkan para pemain badminton hebat (kecuali Denmark). Selain badminton sebagai contoh bagaimana perubahan sistem dapat menaikkan persaingan, sudah sejak dulu saya mengamati NBA sebagai contoh kompetisi yang komplit secara kualitas pemain dan juga keberlangsungannya secara ekonomi.
NBA adalah satu dari sedikit negara yang menerapkan dua belas menit per kuarter (selain China dan Filipina, setahu saya). Dengan durasi yang lebih lama dari menit umumnya yang hanya sepuluh, NBA punya waktu lebih lama memainkan time out. Time out ini menjadi jalan masuk bagi iklan-iklan yang membuat NBA menjadi salah satu kompetisi olahraga paling glamor di dunia.
Ada hal yang menjadi kesamaan antara NBA dan badminton dalam hal sistem yang membuatnya menjadi populer: poin yang banyak dan bergantian. Orang sepertinya senang dengan skor yang tinggi karena lebih menggocek emosi. Pertandingan sepakbola yang berujung 1-0 umumnya kalah seru ketimbang partai yang skornya 3-2, misalnya, meskipun selisihnya sama-sama satu angka. Begitupun badminton yang skornya 21-16 tampak lebih menarik ketimbang 15-10. NBA jangan ditanya, sudah lazim kita melihat setiap tim mencetak angka lebih dari 100. Semua perkara ini bukan sekadar bicara tentang kualitas pemain, tetapi juga sistem yang memungkinkannya lebih menarik di mata orang-orang yang menontonnya.
Comments
Post a Comment