Skip to main content

Badai

Maka metamorfosis roh menurut Nietzsche berakhir pada anak sebagai puncak, setelah sebelumnya menjadi unta dan singa. Apa maksudnya menjadi anak? Saya sering mencontohkan peristiwa banjir. Unta akan pasrah pada banjir, singa berusaha melawan banjir, sementara anak akan bermain dengan banjir itu. Seseorang yang telah mencapai tahap metamorfosis anak sebenarnya tak perlu ambil pusing tentang nasibnya: dia bisa jadi seorang pekerja kantoran yang dieksploitasi dari jam sembilan sampai jam lima, tetapi tak perlu capek-capek berontak atau berupaya melawan sistem. Dalam tahap metamorfosis anak, dia akan mampu menjalaninya dengan luwes seperti sebuah peran. Seperti sebuah permainan .  Dia tahu dia melakukannya demi uang, sehingga tak ada gunanya merasa terbebani (seperti seekor unta) atau berusaha mengubah tatanan (seperti seekor singa). Jalani saja seperti seorang aktor dalam pertunjukan, yang tengah memainkan peran sebagai "pekerja kantoran" dengan sebaik-baiknya. Setelah pertunjuk

Pernah

Pada tanggal 12 Agustus 2018, terjadi peristiwa keren pada pertandingan Major League Soccer antara DC United melawan Orlando City. DC United sangat membutuhkan kemenangan pada laga ini. Dalam keadaan seri 2-2 di menit-menit akhir pertandingan, DC United mendapat tendangan penjuru. Peluang ini begitu krusial hingga kiper DC United ikut maju ke kotak penalti untuk mencoba peruntungan. Kiper Orlando City berhasil meninju bola ke tengah lapangan dan diterima oleh pemainnya. Dalam keadaan gawang DC United yang tidak dijaga, pemain yang memegang bola tersebut berada dalam posisi menguntungkan untuk berlari mendekati gawang dan menceploskannya dengan mudah. 

Namun apa yang terjadi? Eks pemain legendaris Manchester United, Wayne Rooney, yang bermain untuk DC United, berlari sekuat tenaga sebelum melakukan tekel gemilang dan berhasil merebut bola. Tidak berhenti sampai sana aksi Rooney, ia mengirim bola kembali ke kotak penalti dan berhasil disundul oleh Luciano Acosta. Gol! Hal yang lebih menarik, Acosta adalah pemain terpendek di tim, tetapi ternyata pemain bernomor punggung 10 itulah yang justru mampu memenangkan duel udara dan membuat timnya mencetak gol di menit terakhir sekali pertandingan. Drama belum berakhir. Wasit menunda pengesahan gol itu karena terindikasi offside. Wasit mengecek VAR sesaat sebelum akhirnya gol tetap diakui. DC United menang! 

Hal apa yang akan dibahas di sini? Dalam hidup, seringkali ada peristiwa-peristiwa semacam itu: hal-hal yang peluang terjadinya begitu kecil, ternyata pernah terwujud. Apa yang pernah terjadi itu, menumbuhkan harapan, membuat seseorang berpegang pada apa yang pernah, ketika dihadapkan pada hal-hal yang juga peluangnya teramat kecil. Hampir kalah tinggal beberapa detik, orang bisa mengingat: Rooney pernah berlari ke daerah pertahanan, melakukan tekel, dan mengirim bola jauh ke depan untuk menjadi gol. Hampir gagal dalam suatu pertarungan, orang bisa mengingat: Liverpool pernah tertinggal 0-3 di Istanbul tahun 2005 sebelum menyamakan kedudukan di babak kedua dan menjuarai Liga Champions via adu penalti. 

Memang, apa yang pernah terjadi, belum tentu dapat terulang. Kita kan bukan Rooney, kita kan bukan Liverpool. Ada benarnya, tetapi poin ceritanya itu yang lebih penting: bahwa sesuatu belum berakhir sampai benar-benar berakhir. Brasil pernah tertinggal 0-5 di babak pertama melawan Jerman pada Piala Dunia 2014. Mungkin mereka berpegang pada cerita Istanbul untuk membalikkan keadaan. Brasil gagal total, bahkan keadaan tetap buruk di babak kedua. Namun bisa jadi: mereka tetap bermain maksimal karena sebuah kisah tentang "hal yang pernah", bahwa kemenangan itu mungkin saja, meskipun peluangnya sangat sangat kecil. 

Jika kita ingin melihat dari kacamata yang lebih luas, sesuatu yang "pernah" mungkin memang sengaja dibuat sebagai bagian dari dialektika sejarah. Supaya manusia selalu menaruh harapan pada apa yang kelihatannya tak mungkin sekalipun. Dalam ketidakmungkinan, siapapun itu kemudian dapat menggali pada cerita-cerita ke belakang, bahwa pernah terjadi suatu pembalikkan keadaan, dalam situasi yang nyaris mustahil, seperti halnya dalam kisah abadi Daud versus Jalut.

Itu sebabnya, tak berlebihan jika kita mengatakan bahwa sejarah bukanlah perkara masa lalu, melainkan masa depan. Sejarah adalah tentang hal-hal yang "pernah", sebagai jalan bagi kita menyimpan harapan, atas apa-apa yang tak mungkin sekalipun. Maaf jika terdengar motivasional. 

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k