Skip to main content

Badai

Maka metamorfosis roh menurut Nietzsche berakhir pada anak sebagai puncak, setelah sebelumnya menjadi unta dan singa. Apa maksudnya menjadi anak? Saya sering mencontohkan peristiwa banjir. Unta akan pasrah pada banjir, singa berusaha melawan banjir, sementara anak akan bermain dengan banjir itu. Seseorang yang telah mencapai tahap metamorfosis anak sebenarnya tak perlu ambil pusing tentang nasibnya: dia bisa jadi seorang pekerja kantoran yang dieksploitasi dari jam sembilan sampai jam lima, tetapi tak perlu capek-capek berontak atau berupaya melawan sistem. Dalam tahap metamorfosis anak, dia akan mampu menjalaninya dengan luwes seperti sebuah peran. Seperti sebuah permainan .  Dia tahu dia melakukannya demi uang, sehingga tak ada gunanya merasa terbebani (seperti seekor unta) atau berusaha mengubah tatanan (seperti seekor singa). Jalani saja seperti seorang aktor dalam pertunjukan, yang tengah memainkan peran sebagai "pekerja kantoran" dengan sebaik-baiknya. Setelah pertunjuk

Pameran Penghormatan: Menghormati Siapa (Kritik atas Pameran "Homage to Setiawan Sabana")


 

(Artikel yang diturunkan dari Bandung Bergerak) 

Antara tanggal 9 hingga 14 Juni 2023, telah diadakan pameran berjudul Homage to Setiawan Sabana: Nusantara dan Setiawan Sabana di Exhibition Hall Universitas Kristen Maranatha, Bandung. Pameran yang diselenggarakan oleh FSRD Maranatha bekerjasama dengan Kampus Merdeka tersebut dilabeli pameran internasional yang melibatkan 122 seniman dari 12 negara. Sebelum membahas tentang pamerannya, penting kiranya untuk menjabarkan secara singkat tentang Setiawan Sabana, seniman yang namanya dijadikan penghormatan dalam pameran tersebut. 

Setiawan Sabana (SS) adalah seniman asal Bandung yang lahir 10 Mei 1951 dan wafat 27 April 2023 lalu. SS mengabdikan dirinya di dunia seni rupa sebagai akademisi di FSRD ITB dan seniman dengan proyek karya difokuskan pada grafis dengan kertas sebagai mediumnya. Sebagai seniman, SS aktif berpameran baik di dalam maupun di luar negeri. Di Indonesia, SS pernah beberapa kali berpameran tunggal termasuk di Galeri Nasional, sementara di luar negeri, salah satu pencapaian terbaiknya adalah ikut serta di Venice Biennale 46th tahun 1995, selain pameran-pameran lainnya di berbagai negara. 

Tidak hanya berkarya seni, SS juga aktif mengelola ruang Garasi10 sebagai ruang kreatif untuk berpameran, bermusik, dan berdiskusi, serta menjelang akhir hayatnya, turut mendukung anak-anak disabilitas di Galeri PlaAstro, Bandung. Sejak pensiun dari ITB tahun 2021, SS kemudian melanjutkan masa purnabakti sebagai pengajar dan pembimbing di FSRD Maranatha. 

Rincian kiprah SS terlalu panjang untuk dituliskan dalam artikel singkat ini. Namun pokoknya, pameran penghormatan tersebut setidaknya menunjukkan nilai kontribusi SS di bidang seni rupa, baik sebagai pengajar maupun seniman. 

Saya harus menjelaskan posisi saya sendiri selaku penulis sebelum menjabarkan hal-hal terkait pameran homage tersebut. Tadinya memang saya berusaha memposisikan diri sebagai penulis “netral” yang benar-benar mengomentari aspek estetika dari karya-karya yang dipamerkan. Namun rasanya sukar untuk berada di posisi tersebut, sementara saya sendiri adalah putra bungsu dari SS. 

Hal yang bisa saya lakukan adalah tidak terjebak pada situasi terlampau baper dan langsung datang ke pamerannya. Dengan datang ke pamerannya, saya bisa lebih mempunyai acuan formal – material untuk melakukan penilaian, ketimbang mendasarkan diri pada asumsi-asumsi atau basis emosional belaka. Atas dasar itulah, pada tanggal 14 Juni atau hari terakhir pameran, saya datang ke Exhibition Hall Universitas Kristen Maranatha. 

Reaksi saya adalah terkejut, saat melihat beberapa karya yang nyaris tidak ada hubungan historis atau estetik dengan SS. Sebagai contoh, karya Yuma Chandrahera berjudul Vibrant Heritage memamerkan gambar interior suatu ruangan yang saya yakin tidak ada hubungannya dengan SS (baik di rumah maupun kampus) lalu diberi keterangan dalam bahasa Inggris. Saya merasa karya tersebut lebih mirip brosur properti ketimbang karya seni. 

Mungkin saya bisa saja menghubungkan gagasan karya tersebut dengan kata kunci “Nusantara” sebagai tema pameran ini karena terdapat kalimat bertuliskan: "... through the beauty and authenticity of Indonesia's vibrant heritage" sebagai keterangan dalam salah satu gambar, tetapi tetap secara estetik, relasi tersebut hanya ditempel-tempelkan saja. Saya bisa saja memotret interior kantor atau hotel manapun, menambahkan keterangan bahwa terdapat semangat ke-Indonesia-an di dalamnya, dan menyebutnya punya keterhubungan tematis dengan pameran ini. 

Karya yang tak kalah jenaka adalah karya Ismet Zainal Effendi, yang sekaligus juga kurator pameran tersebut. Ismet memamerkan kaos bertuliskan kutipan dari SS yakni “Berkarya Harus Seperti Menghela Nafas”. Bagus dan mengharukan, tapi tampak sekali kehabisan kreativitas. Karya semacam itu bahkan tidak mendekati konsep ready-made seperti Marcel Duchamp memajang tempat kencing. 

Memamerkan kaos yang sudah terlebih dahulu beredar tanpa sentuhan artistik atau konteks sama sekali membuat saya kebingungan: apakah ini satir, pastiche, atau jangan-jangan ingin jualan merchandise? Namun kelihatannya ini bukan sedang jualan merchandise, karena kaos tersebut dibingkai sebagai sebuah karya. Buktinya ada pada keterangan (caption) yang ditulis di samping “karya” tersebut. 

Lantas, bagaimana jika ternyata desain kaosnya adalah kreasi Ismet dari nol? Rasanya hal demikian tidak memperbaiki nilai kreativitasnya. Kaos tersebut, setahu saya, sudah beredar sebagai cenderamata sejak beberapa tahun silam. Ini ibarat pengrajin gelang membuat souvenir atas pesanan acara pernikahan, lalu karena tidak ada ide saat diundang berpameran karya rupa, ia memamerkan gelang yang persis sama dengan souvenir pernikahan yang pernah ia buat. Intinya, ada problem intensi yang berbelok – kalaupun memang benar desain kaos tersebut adalah buatan Ismet. 

Hal lain yang tidak kalah problematik adalah berbagai karya hasil cetak digital yang entah atas persetujuan senimannya atau tidak (mudah-mudahan atas persetujuan mereka). Sebagai contoh, karya Madhurima Saha (Bangladesh) yang berjudul Silent Warrior of 1971 disebutkan sebagai karya mixed media dalam keterangannya, tapi kemudian yang dipamerkan adalah bentuk cetak digitalnya. Hal yang mirip terjadi pada karya Square 88 dari Uwe Jonas (Jerman) yang dituliskan dalam keterangannya sebagai karya yang aslinya dibuat dari “marble and steel”. 

Memang panitia masih mencantumkan keterangan tentang materi semula dari karya-karya tersebut, yang sedikit banyak menampakkan kejujuran bahwa cetakan itu bukanlah karya aslinya. Namun dalam reproduksi mekanik tetaplah muncul problem, bahwa selain perkara kontrol kualitas, juga tentang kesepakatan berapa edisi (copy) yang akan diproduksi. Sebagai perbandingan, di pameran Bandung Photography Triennale, semua karya menggunakan kode “EC” (exhibition copy). Dengan pencantuman EC tersebut, artinya cetakan karya dibuat tanpa edisi dan dicetak satu saja, khusus untuk pameran termaksud. Cetakan tersebut dilarang dipamerkan lagi pada kegiatan lain. 

Selain itu, kontrol kualitas juga kenyataannya bermasalah. Karya Syahrizal Pahlevi misalnya, terlihat tidak dicetak dengan resolusi yang tajam. Pada pokoknya, perkara reproduksi ini tidak dipikirkan matang-matang oleh panitia pameran dan terkesan asal jadi saja. 

Memang tidak semua karya dalam pameran tersebut problematik. Beberapa karya bisa dikatakan bermutu dan tampak punya kelekatan historis dengan SS seperti karya Ahamad Tarmizi bin Haji Azizan dari Malaysia berjudul No. 23, After Setiawan Sabana atau Begawan Kertas karya Adam Wahida. Setelah terobati oleh karya-karya tersebut, saya kembali ke pintu depan untuk memandangi karya SS, dengan kanvas berbentuk cakram. Saya tahu itu karya SS, karena saya sering melihatnya di rumah. Namun lucunya, ternyata di sana tidak ada keterangan nama seniman dan karyanya! Saya sampai tertawa terpingkal-pingkal karena bagaimana mungkin pameran penghormatan untuk SS, tapi nama SS sendiri tidak dicantumkan pada karyanya. 

Saya memang tidak bisa menghindari bias penilaian saya sebagai putra SS yang kenyataannya tidak dilibatkan dalam penyelenggaraan pameran tersebut. Namun setelah mengunjungi pamerannya, saya kira tidak perlu lagi untuk baper, biar publik sendiri yang menilai mutu dari pameran Homage to Setiawan Sabana

Selain cacat secara etik, eksibisi tersebut bermasalah secara estetik, juga bersifat ahistoris. Kelihatan bahwa seniman-seniman yang diajak sebagian besar tidak punya hubungan sama sekali dengan SS, dan bahkan mengetahuinya pun tidak. Karena jika mereka sungguh-sungguh mengetahui SS, bagaimana mungkin bisa muncul karya bernuansa brosur properti, padahal tema semacam itu tidak pernah ada dalam narasi hidup SS sama sekali! 

Pertanyaan yang hendak saya ajukan pada Ismet Zainal Effendi selaku kurator, Belinda Sukapura Dewi selaku ketua pameran, serta keluarga besar FSRD Maranatha, apakah Anda sekalian menganggap pameran ini main-main belaka? Ini adalah penghormatan untuk ayahanda kami, tapi yang kalian pamerkan sebagian adalah karya-karya problematik yang tidak punya nilai historis sama sekali terhadap SS. 

Pada tulisan kuratorial bahkan Ismet cantumkan sendiri, bahwa: “Setiawan seolah mengingatkan semua orang, terutama generasi muda di bawahnya, kalau menciptakan karya seni itu adalah kebutuhan serius, bukan main-main, atau hanya senda gurau belaka, tetapi penting sekali layaknya kita bernafas." Ingat bahwa Ismet yang menulis pernyataan tersebut, Ismet sendirilah yang memajang merchandise yang telah beredar untuk diperlakukan sebagai “karya”. Tidak ada keseriusan sama sekali tentang itu, bahkan lucu pun tidak. 

Sebuah kegiatan bertajuk homage semestinya menalikan diri terlebih dahulu pada siapapun orang yang dihormatinya. Saya bisa saja membuat homage untuk filsuf Prancis, Bruno Latour. Secara personal saya tidak kenal Latour, dan Latour pun tidak kenal saya. Tapi kalau saya ingin berkontribusi terhadap acara penghormatan padanya, saya harus meluangkan diri untuk bergumul dengan teks-teks yang ditulisnya sebelum menuliskan sesuatu tentang sosok dan pemikirannya. Saya tidak bisa tiba-tiba mengirimkan tulisan apapun yang tidak ada hubungannya dengan Latour (atau tidak bersinggungan sedikit pun dengan proyek pemikiran Latour) untuk ikut dimuat dalam produk yang ditujukan untuk menghormati Latour.

Kecuali jika pameran Homage to Setiawan Sabana punya agenda lain yang sebenarnya pada titik tertentu bisa saya mengerti. Dosen-dosen perlu mengumpulkan kum untuk kenaikan pangkat dan pameran internasional punya poin yang besar. Kebutuhan ini membuat agenda pameran dirancang secara terburu-buru, “yang penting jadi”, dengan tema yang kebetulan berkaitan dengan momen terbaru yakni wafatnya SS. Alhasil, pameran jadi arena pengumpulan kum agar dosen-dosen itu sendirilah yang mendapat manfaatnya. Mutu pameran diabaikan, pun masalah etik yang melingkupinya. Jika memang demikian adanya, maka betul bahwa tulisan saya terlalu baper. Pameran gak serius kok dikomentari serius.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k