Skip to main content

Badai

Maka metamorfosis roh menurut Nietzsche berakhir pada anak sebagai puncak, setelah sebelumnya menjadi unta dan singa. Apa maksudnya menjadi anak? Saya sering mencontohkan peristiwa banjir. Unta akan pasrah pada banjir, singa berusaha melawan banjir, sementara anak akan bermain dengan banjir itu. Seseorang yang telah mencapai tahap metamorfosis anak sebenarnya tak perlu ambil pusing tentang nasibnya: dia bisa jadi seorang pekerja kantoran yang dieksploitasi dari jam sembilan sampai jam lima, tetapi tak perlu capek-capek berontak atau berupaya melawan sistem. Dalam tahap metamorfosis anak, dia akan mampu menjalaninya dengan luwes seperti sebuah peran. Seperti sebuah permainan .  Dia tahu dia melakukannya demi uang, sehingga tak ada gunanya merasa terbebani (seperti seekor unta) atau berusaha mengubah tatanan (seperti seekor singa). Jalani saja seperti seorang aktor dalam pertunjukan, yang tengah memainkan peran sebagai "pekerja kantoran" dengan sebaik-baiknya. Setelah pertunjuk

Miniatur

 

Ada hal menarik dari kehidupan di Foodcourt Batununggal tempat saya menjajakan dagangan roti bakar dan roti kukus. Kehidupan, begitu saya menyebutnya, karena di tempat ini tidak hanya lalu lalang orang beli makanan untuk dibawa pulang atau disantap di tempat. Di Foodcourt ini juga, kami, antar pedagang dan pekerja, sering membuat momen untuk duduk bersama sejenak, berbicara tentang apa saja, keluh kesah tentang omzet, pengunjung yang tak kunjung mampir di kedainya, pengalaman berdagang sebelumnya, atau apa saja, termasuk soal hutang yang melilit hingga kehidupan asmara pribadi. 

Di malam harinya, setelah pujasera tutup pukul delapan, beberapa dari kami meneruskan nongkrong di sebuah tempat di pinggiran komplek Batununggal. Terkadang kami beli minum supaya suasana lebih hangat, untuk kemudian menyanyi bersama, sebelum ditutup dengan curhat sambil diselipi candaan yang lumayan vulgar. Hal-hal semacam itu dilakukan nyaris setiap hari, menjadi rutinitas untuk melepas penat akibat menjajakan dagangan seharian. 

Saya semakin menyadari, bahwa dalam tempat berniaga, beragam jenis manusia hadir dipersatukan tujuan untuk mencari cuan, sebagai ekspresi hasrat dasar untuk memenuhi kepentingan diri. Memang sama-sama saja terjadi juga dalam komunitas akademik, intelektual, ataupun literasi, tetapi pencarian cuan kadang dipandang sebagai "nafsu rendahan" yang mesti tampak senantiasa berada di bawah ideologi atau keluhuran pikiran. Ekspresi "nafsu rendahan", dalam komunitas semacam itu, hanya diungkapkan pada momen-momen sangat intim dan tertutup. Di permukaan, yang layak tampil hanyalah gestur idealisme. 

Saya juga semakin paham, kenapa Sokrates berfilsafat di Agora. Dalam berniaga, tempat orang mengekspresikan "hasrat dasar" dalam memenuhi kebutuhan diri, lebih beragam jenis manusia yang tampil lalu lalang (tanpa tampakan idealismenya). Dalam tampakan yang lebih banal dalam kehidupan berniaga, kita bisa menemukan banyak kompleksitas jika masing-masing individu kemudian digali: ada yang mungkin diantaranya ternyata seorang intelektual, ada yang mungkin diantaranya ternyata seorang pembaca fiksi serius, ada yang mungkin diantaranya ternyata seorang pemain teater, ada yang mungkin diantaranya ternyata memiliki kegelisahan gender dalam dirinya, ada yang mungkin diantaranya ternyata seorang penjudi, dan banyak lagi. Saat digali lagi perkara prinsip-prinsip tertentu, bahkan kita bisa menemukan spektrum kiri, kanan, tengah, dan diantara-diantaranya. Hal-hal semacam itu, tak tampak di permukaan, karena terbenam oleh "hasrat dasar" yang membuat segala manusia tampak lebih homogen. 

Maka itu, sekaligus saya menemukan, bahwa tak heran jika banyak filsuf, terutama di masa sebelum abad ke-20, hanya bergumul di tempat yang itu-itu saja, tanpa perlu banyak-banyak melihat dunia dengan secara fisik melanglangbuana. Mereka cukup menghayati tempat-tempat di mana segala jenis orang berkumpul, lalu menghayati apa-apa di balik penampakannya. Dengan penghayatan yang mendalam, pada kelompok manusia yang kecil sekalipun, kita bisa mendapati: miniatur dunia.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k