Skip to main content

Badai

Maka metamorfosis roh menurut Nietzsche berakhir pada anak sebagai puncak, setelah sebelumnya menjadi unta dan singa. Apa maksudnya menjadi anak? Saya sering mencontohkan peristiwa banjir. Unta akan pasrah pada banjir, singa berusaha melawan banjir, sementara anak akan bermain dengan banjir itu. Seseorang yang telah mencapai tahap metamorfosis anak sebenarnya tak perlu ambil pusing tentang nasibnya: dia bisa jadi seorang pekerja kantoran yang dieksploitasi dari jam sembilan sampai jam lima, tetapi tak perlu capek-capek berontak atau berupaya melawan sistem. Dalam tahap metamorfosis anak, dia akan mampu menjalaninya dengan luwes seperti sebuah peran. Seperti sebuah permainan .  Dia tahu dia melakukannya demi uang, sehingga tak ada gunanya merasa terbebani (seperti seekor unta) atau berusaha mengubah tatanan (seperti seekor singa). Jalani saja seperti seorang aktor dalam pertunjukan, yang tengah memainkan peran sebagai "pekerja kantoran" dengan sebaik-baiknya. Setelah pertunjuk

Menunggu

 

Jujur, berdagang itu berat sekali. Memang katanya begitu awal-awal. Ada memang dagang yang langsung laku, tapi kebanyakan dari cerita yang saya dengar, dagang itu pada mulanya adalah tentang menunggu. Menunggu, setidaknya bagi saya, bukanlah kegiatan yang mudah. Dalam menunggu, terdapat ketidakpastian. Dalam menunggu, terdapat juga keputusasaan. Karena menunggu dagangan dibeli bukanlah seperti menunggu mati yang pasti terjadi. Kemarin dagangan kita laku pada pukul lima sore, esok harinya belum tentu. Bisa jadi malah jam sepuluh pagi, atau tidak laku sama sekali. 

Apa yang bisa dilakukan sepanjang waktu-waktu menunggu itu sebenarnya bisa saja apapun. Saya bisa menulis atau membaca, sembari menanti pelanggan datang. Namun tidak bisa. Menunggui dagangan adalah sekaligus memanfaatkan waktu-waktu itu untuk berpikir: bagaimana caranya agar dagangan saya laku? Saya mencoba mengulik media sosial, promo-promo di merchant, memikirkan produk baru, sampai mencari target pasar potensial. Intinya, dalam menunggu, pikiran ini sibuk kemana-mana, berimprovisasi supaya barang yang dijajakan laku di pasaran. 

Namun lihat Bi Ida kala menunggu. Dia bisa diam saja begitu. Tidak banyak main hape, tidak banyak berusaha untuk melakukan apa-apa. Postur semacam itu bagi saya luar biasa. Dalam diamnya, justru tampak suatu kekuatan. Suatu doa. Menunggunya itu bukan sejam dua jam, tapi bisa delapan jam tanpa melayani pelanggan. Sekalinya melayani, dia langsung bangkit dari duduknya dan cekatan menyajikan hidangan. Saat ditanya apakah kesal duduk seharian seperti itu, dia menjawab tidak, sudah biasa. Katanya, dagang memang begini. 

Inilah hal yang baru saya pelajari belakangan. Kebijaksanaan hidup tentang menunggu. Rupanya dari hasil obrolan dengan tukang sate, tukang nasi goreng, dan tukang-tukang lainnya, menunggu adalah hal yang biasa dan mereka sudah sangat terlatih. Apalagi kata tukang nasi goreng, "Saya sudah biasa, awal-awal dagang tidak ada yang beli sama sekali." Belasan tahun berlalu, tukang nasi goreng masih berjualan. Dia masih terlatih untuk menunggu, tetapi tak selama dulu, dan ia sudah mulai mendapat kepastian mau seburuk apapun nasibnya hari itu, pelanggan pasti akan mampir. 

Sementara saya baru hari-hari belakangan belajar menunggu. Menunggu dengan kesabaran ekstra. Menunggu dengan menebal-nebalkan optimisme yang sering lesu. Menunggu dengan harap-harap cemas, bahwa kelak pasti akan ada yang membeli. Menunggu tanpa memikirkan apapun kecuali dagangan itu sendiri. Menunggu tanpa menyambinya dengan hal di luar bisnis yang sedang dijalankan. Menunggu semacam ini bahkan lebih seperti zikir dan meditasi: menunggu dengan tenang, dengan doa yang bermukim dalam diam, bahwa hidup tak akan pernah sekalipun meninggalkan kita.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k