Jujur, berdagang itu berat sekali. Memang katanya begitu awal-awal. Ada memang dagang yang langsung laku, tapi kebanyakan dari cerita yang saya dengar, dagang itu pada mulanya adalah tentang menunggu. Menunggu, setidaknya bagi saya, bukanlah kegiatan yang mudah. Dalam menunggu, terdapat ketidakpastian. Dalam menunggu, terdapat juga keputusasaan. Karena menunggu dagangan dibeli bukanlah seperti menunggu mati yang pasti terjadi. Kemarin dagangan kita laku pada pukul lima sore, esok harinya belum tentu. Bisa jadi malah jam sepuluh pagi, atau tidak laku sama sekali.
Apa yang bisa dilakukan sepanjang waktu-waktu menunggu itu sebenarnya bisa saja apapun. Saya bisa menulis atau membaca, sembari menanti pelanggan datang. Namun tidak bisa. Menunggui dagangan adalah sekaligus memanfaatkan waktu-waktu itu untuk berpikir: bagaimana caranya agar dagangan saya laku? Saya mencoba mengulik media sosial, promo-promo di merchant, memikirkan produk baru, sampai mencari target pasar potensial. Intinya, dalam menunggu, pikiran ini sibuk kemana-mana, berimprovisasi supaya barang yang dijajakan laku di pasaran.
Namun lihat Bi Ida kala menunggu. Dia bisa diam saja begitu. Tidak banyak main hape, tidak banyak berusaha untuk melakukan apa-apa. Postur semacam itu bagi saya luar biasa. Dalam diamnya, justru tampak suatu kekuatan. Suatu doa. Menunggunya itu bukan sejam dua jam, tapi bisa delapan jam tanpa melayani pelanggan. Sekalinya melayani, dia langsung bangkit dari duduknya dan cekatan menyajikan hidangan. Saat ditanya apakah kesal duduk seharian seperti itu, dia menjawab tidak, sudah biasa. Katanya, dagang memang begini.
Inilah hal yang baru saya pelajari belakangan. Kebijaksanaan hidup tentang menunggu. Rupanya dari hasil obrolan dengan tukang sate, tukang nasi goreng, dan tukang-tukang lainnya, menunggu adalah hal yang biasa dan mereka sudah sangat terlatih. Apalagi kata tukang nasi goreng, "Saya sudah biasa, awal-awal dagang tidak ada yang beli sama sekali." Belasan tahun berlalu, tukang nasi goreng masih berjualan. Dia masih terlatih untuk menunggu, tetapi tak selama dulu, dan ia sudah mulai mendapat kepastian mau seburuk apapun nasibnya hari itu, pelanggan pasti akan mampir.
Sementara saya baru hari-hari belakangan belajar menunggu. Menunggu dengan kesabaran ekstra. Menunggu dengan menebal-nebalkan optimisme yang sering lesu. Menunggu dengan harap-harap cemas, bahwa kelak pasti akan ada yang membeli. Menunggu tanpa memikirkan apapun kecuali dagangan itu sendiri. Menunggu tanpa menyambinya dengan hal di luar bisnis yang sedang dijalankan. Menunggu semacam ini bahkan lebih seperti zikir dan meditasi: menunggu dengan tenang, dengan doa yang bermukim dalam diam, bahwa hidup tak akan pernah sekalipun meninggalkan kita.
Comments
Post a Comment