Skip to main content

Badai

Maka metamorfosis roh menurut Nietzsche berakhir pada anak sebagai puncak, setelah sebelumnya menjadi unta dan singa. Apa maksudnya menjadi anak? Saya sering mencontohkan peristiwa banjir. Unta akan pasrah pada banjir, singa berusaha melawan banjir, sementara anak akan bermain dengan banjir itu. Seseorang yang telah mencapai tahap metamorfosis anak sebenarnya tak perlu ambil pusing tentang nasibnya: dia bisa jadi seorang pekerja kantoran yang dieksploitasi dari jam sembilan sampai jam lima, tetapi tak perlu capek-capek berontak atau berupaya melawan sistem. Dalam tahap metamorfosis anak, dia akan mampu menjalaninya dengan luwes seperti sebuah peran. Seperti sebuah permainan .  Dia tahu dia melakukannya demi uang, sehingga tak ada gunanya merasa terbebani (seperti seekor unta) atau berusaha mengubah tatanan (seperti seekor singa). Jalani saja seperti seorang aktor dalam pertunjukan, yang tengah memainkan peran sebagai "pekerja kantoran" dengan sebaik-baiknya. Setelah pertunjuk

Makanan


Gara-gara jualan kuliner, saya jadi rajin nonton-nonton acara kuliner di Youtube. Acara yang saya senangi dari dulu adalah acara yang isinya adalah orang makan makanan "aneh". Aneh dalam artian tak lazim untuk suatu budaya, berupa makan makanan yang dianggap menjijikkan untuk budaya lain tersebut. Misalnya, orang Barat makan duren atau makan balut (telur berisi janin bebek yang akan menetas). Saya senang melihat reaksi orang yang makan itu, antara dia merasa jijik, khawatir, tapi sekaligus mesti terlihat menghargai budaya lokal setempat, demi tujuan lain yang tentu saja kita tahu: agar kontennya digemari penonton. 

Mungkin ada sensasi tersendiri dalam memakan makanan yang begitu asing. Semacam tantangan yang gawat, bahkan bisa dipandang sebagai pertaruhan hidup dan mati. Makan sushi ikan buntal misalnya, salah-salah bisa lumpuh total. Makan keju casu marzu yang mengandung belatung, bisa-bisa bermasalah pada kulit dan pencernaan. Namun makan makanan "berbahaya" adalah sekaligus penghargaan terhadap kearifan. Tak bisa sembarang orang bisa mengiris ikan buntal agar terhindar dari racun. Tak semua pembuat makanan mampu menghasilkan casu marzu yang solid sekaligus aman. Mereka bukan pemasak yang dilahirkan dari sekadar menonton acara-acara masak di Youtube (seperti saya), tetapi memiliki suatu keyakinan bahwa apa yang diproduksinya adalah sekaligus mewariskan teknik-teknik terdahulu dari leluhurnya. Itu sebabnya, si Youtuber yang makan tak bisa sembarangan berkomentar meski apa yang disantapnya bisa jadi sangat membuatnya tidak nyaman. Seburuk apapun, dia harus membungkusnya dengan kata-kata yang halus dan tetap menonjolkan sisi positif dari makanan itu. 

Maka itu makanan tak lagi sekadar sarana pengenyang perut. Bayangkan makanan seperti balut atau kalajengking goreng yang tak lazim untuk budaya tertentu, pastilah memerlukan suatu "keberanian" khusus untuk bisa memasaknya. Keberanian itu belum tentu datang dari eksperimen coba-coba tanpa dasar sama sekali, melainkan diturunkan dari generasi ke generasi yang mungkin pernah mengolah makanan tersebut atas dasar suatu keterpaksaan (karena sedang tak ada lagi makanan lain) atau melakukan percobaan yang bukan tak mungkin memakan korban. Dalam makanan yang dianggap aman untuk dijual bebas dan dikonsumsi oleh orang awam, sangat mungkin di dalamnya pernah berlangsung sejarah panjang penuh derita dan pengorbanan. 

Makanan adalah karya seni yang menarik tetapi kerap diabaikan karena dipandang tak abadi, lewat di penginderaan lalu bertransformasi menjadi kotoran. Bandingkan dengan karya rupa atau musik yang abadi untuk diinderai berulang-ulang dan seolah menempel panjang di hati serta pikiran. Tetapi orang kerap lupa, dalam sebuah hidangan, ada pergulatan yang mungkin tak sederhana. Keabadiannya terletak dari kenyataan bahwa makanan yang "berhasil" pada akhirnya akan senantiasa diproduksi sepanjang zaman. Kegiatan makan adalah kegiatan abadi umat manusia. Tidak sebatas itu, makan, bagi manusia, tak pernah sekadar makan. Pada taraf tertentu, makan haruslah menjadi kegiatan yang ritualistik, menjadi penanda budaya tertentu, dan bahkan menantang bahaya. Memakan makanan tertentu dan tetap bertahan hidup adalah sebentuk ketahanan evolutif sekaligus penghargaan atas peradaban yang menjaga si makanan untuk tetap enak dan aman.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k