Hari ini adalah hari pertama saya berdagang di Foodcourt Batununggal. Kegiatan dagang ini memang sudah saya lakukan sejak sebulanan sebelumnya di Jalan Karawitan, tetapi baru hari ini saya mencoba untuk ikut menjaga lapak. Semalam, jujur saja, saya menangis. Kadang masih ada pikiran mengapa nasib saya jadi begini. Mengapa dari yang tadinya bisa bacot dan dapat uang lumayan, tiba-tiba harus menjajakan produk dan mengumpulkan "recehan".
Ketika dijalani, rasanya tak buruk-buruk amat. Saya bergaul bersama para pegawai penunggu kedai masing-masing dan lagi-lagi kagum pada bagaimana tubuh mereka begitu terlatih untuk menunggu. Mereka tak hanya terlatih untuk menunggu, tapi juga memastikan semuanya rapi dan bersih - hal yang begitu sulit saya lakukan. Tadinya saya membayangkan akan sibuk memasak, memainkan roti dengan lihai di atas wajan. Kenyataannya, yang sering terjadi adalah menunggu, bengong, dan berpikir keras bagaimana agar orang-orang bisa membeli. Saya baru sadar, di Foodcourt ini memang banyak pengunjung, tapi kedainya juga banyak!
Dari situ saya tak lagi bisa terlalu percaya kata orang kata orang tentang bisnis apalagi mereka yang belum berpengalaman. Kata si ini, bisnis A menguntungkan, kata si itu, tempat B ramai orang. Tren dan keramaian orang saja tidak cukup sebagai rumus agar dagangan laku. Kenyataannya, jika suatu produk sedang tren, akan banyak juga orang mengikutinya sehingga persaingan menjadi ketat. Begitupun di tempat ramai orang lalu lalang, para pedagang juga akan ramai mengerumuni. Persaingan tetap ketat.
Namun di tengah persaingan ketat itu, detail memang menjadi salah satu poin yang mesti diperhatikan sebagai pembeda. Hal-hal seperti warna yang mencolok, apa yang dipajang di etalase, kebersihan kedai, gestur penjaga, hal-hal semacam itu bisa sangat berpengaruh. Selama sepuluh jam jaga kedai, saya menunggunya sambil menulis. Gestur menulis ini, saya sadari, bukanlah gestur yang pas untuk jaga kedai. Orang mungkin berpikir, "Ini orang serius banget kelihatannya," sehingga malah tidak tertarik untuk membeli.
Jam demi jam berlalu, perasaan cemas saya pelan-pelan meluntur. Ini sama sekali bukan nasib yang buruk. Jauh daripada itu, saya teringat sosok ibunda, yang sebenarnya begitu cinta dunia makanan, tetapi tak bisa dilakoni secara serius karena sibuk menjadi dosen dan mengurus keluarga. Mungkin sudah begini jalannya, melanjutkan hasrat terdalamnya.
Comments
Post a Comment