Skip to main content

Badai

Maka metamorfosis roh menurut Nietzsche berakhir pada anak sebagai puncak, setelah sebelumnya menjadi unta dan singa. Apa maksudnya menjadi anak? Saya sering mencontohkan peristiwa banjir. Unta akan pasrah pada banjir, singa berusaha melawan banjir, sementara anak akan bermain dengan banjir itu. Seseorang yang telah mencapai tahap metamorfosis anak sebenarnya tak perlu ambil pusing tentang nasibnya: dia bisa jadi seorang pekerja kantoran yang dieksploitasi dari jam sembilan sampai jam lima, tetapi tak perlu capek-capek berontak atau berupaya melawan sistem. Dalam tahap metamorfosis anak, dia akan mampu menjalaninya dengan luwes seperti sebuah peran. Seperti sebuah permainan .  Dia tahu dia melakukannya demi uang, sehingga tak ada gunanya merasa terbebani (seperti seekor unta) atau berusaha mengubah tatanan (seperti seekor singa). Jalani saja seperti seorang aktor dalam pertunjukan, yang tengah memainkan peran sebagai "pekerja kantoran" dengan sebaik-baiknya. Setelah pertunjuk

Hari Pertama

 

 

Hari ini adalah hari pertama saya berdagang di Foodcourt Batununggal. Kegiatan dagang ini memang sudah saya lakukan sejak sebulanan sebelumnya di Jalan Karawitan, tetapi baru hari ini saya mencoba untuk ikut menjaga lapak. Semalam, jujur saja, saya menangis. Kadang masih ada pikiran mengapa nasib saya jadi begini. Mengapa dari yang tadinya bisa bacot dan dapat uang lumayan, tiba-tiba harus menjajakan produk dan mengumpulkan "recehan". 

Ketika dijalani, rasanya tak buruk-buruk amat. Saya bergaul bersama para pegawai penunggu kedai masing-masing dan lagi-lagi kagum pada bagaimana tubuh mereka begitu terlatih untuk menunggu. Mereka tak hanya terlatih untuk menunggu, tapi juga memastikan semuanya rapi dan bersih - hal yang begitu sulit saya lakukan. Tadinya saya membayangkan akan sibuk memasak, memainkan roti dengan lihai di atas wajan. Kenyataannya, yang sering terjadi adalah menunggu, bengong, dan berpikir keras bagaimana agar orang-orang bisa membeli. Saya baru sadar, di Foodcourt ini memang banyak pengunjung, tapi kedainya juga banyak! 

Dari situ saya tak lagi bisa terlalu percaya kata orang kata orang tentang bisnis apalagi mereka yang belum berpengalaman. Kata si ini, bisnis A menguntungkan, kata si itu, tempat B ramai orang. Tren dan keramaian orang saja tidak cukup sebagai rumus agar dagangan laku. Kenyataannya, jika suatu produk sedang tren, akan banyak juga orang mengikutinya sehingga persaingan menjadi ketat. Begitupun di tempat ramai orang lalu lalang, para pedagang juga akan ramai mengerumuni. Persaingan tetap ketat. 

Namun di tengah persaingan ketat itu, detail memang menjadi salah satu poin yang mesti diperhatikan sebagai pembeda. Hal-hal seperti warna yang mencolok, apa yang dipajang di etalase, kebersihan kedai, gestur penjaga, hal-hal semacam itu bisa sangat berpengaruh. Selama sepuluh jam jaga kedai, saya menunggunya sambil menulis. Gestur menulis ini, saya sadari, bukanlah gestur yang pas untuk jaga kedai. Orang mungkin berpikir, "Ini orang serius banget kelihatannya," sehingga malah tidak tertarik untuk membeli. 

Jam demi jam berlalu, perasaan cemas saya pelan-pelan meluntur. Ini sama sekali bukan nasib yang buruk. Jauh daripada itu, saya teringat sosok ibunda, yang sebenarnya begitu cinta dunia makanan, tetapi tak bisa dilakoni secara serius karena sibuk menjadi dosen dan mengurus keluarga. Mungkin sudah begini jalannya, melanjutkan hasrat terdalamnya.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k