Semenjak menyelami peran sebagai pedagang dalam beberapa minggu terakhir, saya mengalami perubahan perspektif yang lumayan serius. Saya menjalani peran sebagai dosen sejak tahun 2008 atau sekitar enam belas tahun. Selama itu juga saya merasa dosen adalah sebuah profesi yang keren dan terhormat. Tidak salah-salah amat, tetapi juga sebenarnya tidak terhormat-hormat amat. Dosen, terutama sejak era komersialisasi kampus, kadang bagi saya terlalu template, mengajar sesuai kurikulum dan kebiasaan yang telah digariskan oleh kelompok keahlian serta team teaching. Jika materi kuliah logika diambil dari bukunya Graham Priest misalnya, ya sebaiknya berpeganglah ke sana, jangan melenceng-lenceng amat. Kalau mau menambahkan suplemen, jangan sampai keterusan atau keasyikan berjalan sendiri di luar arahan.
Menariknya, dosen memang punya kuasa untuk didengarkan. Meskipun apa yang dibicarakan tidak jelas dan omong kosong, mahasiswa akan berusaha menyimak karena memerlukan nilai. Dosen pun tetap dapat gaji atas omong kosongnya (selama mengajar sesuai SKS dan rajin mengerjakan berbagai formalitasnya). Saya benar-benar sempat berkubang dalam dunia itu selama belasan tahun, meskipun tak pernah puas dan lebih banyak membuka kelas-kelas publik untuk menantang pemahaman saya ketimbang sekadar berjibaku dengan formalitas dan keuntungan untuk terus didengarkan karena situasi yang mewajibkan. Sebagai dosen, saya hanya tahu mengajar, menerima honor, lalu selesai.
Dosen memang dapat dikatakan juga sebagai pedagang, lebih tepatnya, pedagang ilmu pengetahuan. Namun saat menjadi pedagang dalam arti "sebenarnya", yang memperdagangkan suatu produk, tepatnya berupa makanan, pemikiran saya benar-benar bergeser. Dulu saya menganggap pedagang sebagai profesi yang kurang keren. Pikirannya hanya cuan, transaksional, padahal yang lebih penting adalah merenungkan konsep-konsep yang abstrak dalam rangka membangun masa depan bangsa. Apa hebatnya berpikir tentang menukarkan barang dengan uang untuk mendapatkan selisih yang disebut keuntungan?
Rupanya saya keliru.
Berdagang ternyata memerlukan kemampuan berpikir yang sangat keras, baik dalam bentuk konkrit maupun abstrak. Konkrit mulai dari menimbang harga roti dari dua produsen yang berbeda, mengamati jam-jam sepi dan jam-jam ramai, mengulik visualisasi makanan untuk sajian platform online, sampai menyelidiki perilaku konsumen. Abstrak mulai dari membangun visi tentang akan seperti apa bisnis ini nantinya, sampai membayangkan kemungkinan-kemungkinan jika kita menambahkan menu tertentu, membuat kemasan yang unik, atau berdagang di lokasi yang lain. Semua itu memerlukan kreativitas, imajinasi sekaligus intuisi.
Saya kira dalam titik ini, saya tak lagi khawatir bahwa dalam profesi baru sebagai pedagang, saya kehilangan kesenangan berkreasi seperti yang sebelumnya saya lakukan. Dalam berwirausaha, kreativitas itu justru didorong hingga titik ekstrem, karena taruhannya riil: untung atau buntung. Dalam berwirausaha, ilmu-ilmu yang saya pakai sebelumnya dalam dunia perdosenan seperti filsafat, seni, budaya, psikologi, sosiologi, komunikasi dan lain-lain, sama sekali tidak menguap dengan alih profesi ini. Malah semakin terpakai, tetapi tidak dalam bentuk perbacotan, melainkan perbuatan dan praktik langsung. Ambil contoh misalnya Bi Ida selaku rekan bisnis pernah mengatakan, "Roti jangan keliatan ditaro di etalase terus, nanti orang mikirnya 'ih itu roti sisa kemarin kan'." Bukankah pembicaraan semacam itu menyiratkan pertimbangan psikologis dan sosiologis sekaligus?
Sekarang saya paham sebenar-benarnya ketika Sokrates mengatakan, "Hal yang aku tahu adalah aku tidak tahu apa-apa" saat dia mengobservasi berbagai macam profesi dan menyadari bahwa dia tak mungkin bisa seperti mereka. Berfilsafat memang punya keluhuran karena membicarakan sesuatu yang lebih mendasar, yang berada di balik permukaan. Namun di luar itu, orang-orang yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan biasa, berkutat dengan materi dan "permukaan", sebenarnya bukan berarti lebih tidak keren dari sang filsuf. Mereka diam-diam juga berfilsafat, tetapi melebur dalam praktik-praktik sebagai cara untuk memaknai kehidupan sebisa-bisa, tanpa menyebutnya sebagai "makna". Sekarang saya menaruh hormat pada para pedagang yang berada dalam satu pujasera bersama saya (tukang nasi goreng, ubi cilembu, kupat tahu, dan rencengan minuman sasetan). Mereka membuat saya sadar, bahwa saya tak tahu apa-apa.
Comments
Post a Comment