Skip to main content

Badai

Maka metamorfosis roh menurut Nietzsche berakhir pada anak sebagai puncak, setelah sebelumnya menjadi unta dan singa. Apa maksudnya menjadi anak? Saya sering mencontohkan peristiwa banjir. Unta akan pasrah pada banjir, singa berusaha melawan banjir, sementara anak akan bermain dengan banjir itu. Seseorang yang telah mencapai tahap metamorfosis anak sebenarnya tak perlu ambil pusing tentang nasibnya: dia bisa jadi seorang pekerja kantoran yang dieksploitasi dari jam sembilan sampai jam lima, tetapi tak perlu capek-capek berontak atau berupaya melawan sistem. Dalam tahap metamorfosis anak, dia akan mampu menjalaninya dengan luwes seperti sebuah peran. Seperti sebuah permainan .  Dia tahu dia melakukannya demi uang, sehingga tak ada gunanya merasa terbebani (seperti seekor unta) atau berusaha mengubah tatanan (seperti seekor singa). Jalani saja seperti seorang aktor dalam pertunjukan, yang tengah memainkan peran sebagai "pekerja kantoran" dengan sebaik-baiknya. Setelah pertunjuk

Dosen vs Pedagang


Semenjak menyelami peran sebagai pedagang dalam beberapa minggu terakhir, saya mengalami perubahan perspektif yang lumayan serius. Saya menjalani peran sebagai dosen sejak tahun 2008 atau sekitar enam belas tahun. Selama itu juga saya merasa dosen adalah sebuah profesi yang keren dan terhormat. Tidak salah-salah amat, tetapi juga sebenarnya tidak terhormat-hormat amat. Dosen, terutama sejak era komersialisasi kampus, kadang bagi saya terlalu template, mengajar sesuai kurikulum dan kebiasaan yang telah digariskan oleh kelompok keahlian serta team teaching. Jika materi kuliah logika diambil dari bukunya Graham Priest misalnya, ya sebaiknya berpeganglah ke sana, jangan melenceng-lenceng amat. Kalau mau menambahkan suplemen, jangan sampai keterusan atau keasyikan berjalan sendiri di luar arahan. 

Menariknya, dosen memang punya kuasa untuk didengarkan. Meskipun apa yang dibicarakan tidak jelas dan omong kosong, mahasiswa akan berusaha menyimak karena memerlukan nilai. Dosen pun tetap dapat gaji atas omong kosongnya (selama mengajar sesuai SKS dan rajin mengerjakan berbagai formalitasnya). Saya benar-benar sempat berkubang dalam dunia itu selama belasan tahun, meskipun tak pernah puas dan lebih banyak membuka kelas-kelas publik untuk menantang pemahaman saya ketimbang sekadar berjibaku dengan formalitas dan keuntungan untuk terus didengarkan karena situasi yang mewajibkan. Sebagai dosen, saya hanya tahu mengajar, menerima honor, lalu selesai. 

Dosen memang dapat dikatakan juga sebagai pedagang, lebih tepatnya, pedagang ilmu pengetahuan. Namun saat menjadi pedagang dalam arti "sebenarnya", yang memperdagangkan suatu produk, tepatnya berupa makanan, pemikiran saya benar-benar bergeser. Dulu saya menganggap pedagang sebagai profesi yang kurang keren. Pikirannya hanya cuan, transaksional, padahal yang lebih penting adalah merenungkan konsep-konsep yang abstrak dalam rangka membangun masa depan bangsa. Apa hebatnya berpikir tentang menukarkan barang dengan uang untuk mendapatkan selisih yang disebut keuntungan? 

Rupanya saya keliru. 

Berdagang ternyata memerlukan kemampuan berpikir yang sangat keras, baik dalam bentuk konkrit maupun abstrak. Konkrit mulai dari menimbang harga roti dari dua produsen yang berbeda, mengamati jam-jam sepi dan jam-jam ramai, mengulik visualisasi makanan untuk sajian platform online, sampai menyelidiki perilaku konsumen. Abstrak mulai dari membangun visi tentang akan seperti apa bisnis ini nantinya, sampai membayangkan kemungkinan-kemungkinan jika kita menambahkan menu tertentu, membuat kemasan yang unik, atau berdagang di lokasi yang lain. Semua itu memerlukan kreativitas, imajinasi sekaligus intuisi. 

Saya kira dalam titik ini, saya tak lagi khawatir bahwa dalam profesi baru sebagai pedagang, saya kehilangan kesenangan berkreasi seperti yang sebelumnya saya lakukan. Dalam berwirausaha, kreativitas itu justru didorong hingga titik ekstrem, karena taruhannya riil: untung atau buntung. Dalam berwirausaha, ilmu-ilmu yang saya pakai sebelumnya dalam dunia perdosenan seperti filsafat, seni, budaya, psikologi, sosiologi, komunikasi dan lain-lain, sama sekali tidak menguap dengan alih profesi ini. Malah semakin terpakai, tetapi tidak dalam bentuk perbacotan, melainkan perbuatan dan praktik langsung. Ambil contoh misalnya Bi Ida selaku rekan bisnis pernah mengatakan, "Roti jangan keliatan ditaro di etalase terus, nanti orang mikirnya 'ih itu roti sisa kemarin kan'." Bukankah pembicaraan semacam itu menyiratkan pertimbangan psikologis dan sosiologis sekaligus? 

Sekarang saya paham sebenar-benarnya ketika Sokrates mengatakan, "Hal yang aku tahu adalah aku tidak tahu apa-apa" saat dia mengobservasi berbagai macam profesi dan menyadari bahwa dia tak mungkin bisa seperti mereka. Berfilsafat memang punya keluhuran karena membicarakan sesuatu yang lebih mendasar, yang berada di balik permukaan. Namun di luar itu, orang-orang yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan biasa, berkutat dengan materi dan "permukaan", sebenarnya bukan berarti lebih tidak keren dari sang filsuf. Mereka diam-diam juga berfilsafat, tetapi melebur dalam praktik-praktik sebagai cara untuk memaknai kehidupan sebisa-bisa, tanpa menyebutnya sebagai "makna". Sekarang saya menaruh hormat pada para pedagang yang berada dalam satu pujasera bersama saya (tukang nasi goreng, ubi cilembu, kupat tahu, dan rencengan minuman sasetan). Mereka membuat saya sadar, bahwa saya tak tahu apa-apa.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k