Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...

Aplikator dan Transparansi

 

Sudah sebulan saya berbisnis makanan. Tentu saja saya mengaktifkan fitur online supaya dagangan lebih ramai. Memang lumayan, tiap hari ada saja yang beli lewat aplikator layanan jasa antar makanan, meskipun jumlahnya belum bisa dikatakan ramai. Karena perasaan yang begitu senang setiap adanya orderan, saya mencoba berbagai fitur promo dan diskon yang ditawarkan aplikator. Pikiran saya, "Ah, gapapa dipotong biaya promosi dan diskon agak lumayan, yang penting ramai pemesan dulu." 

Memang promosi ini lumayan memberi dampak, karena bagaimanapun konsumen senang dengan potongan harga. Lama kelamaan, fitur promosi dan diskon ini makin menggiurkan. Ada yang menawarkan ruang untuk banner besar sehingga saat calon konsumen membuka aplikasi, langsung foto restoran saya yang terpampang. Bagaimana tidak menarik? Saya dengan latah mengklik saja karena yakin tampilan yang mencolok akan membuat makanan saya laku. Pembeli memang bertambah, tetapi apa yang terjadi? Suatu hari masuk biaya tagihan via e-mail yang besarnya bikin saya pusing. Saya harus membayar lima ratusan ribu pada aplikator. 

Rupanya ada hal yang luput saya pahami. Saya membayar pada aplikator untuk setiap klik yang dilakukan konsumen pada menu restoran kita. Klik tentu belum berarti membeli, sampai di sana saya tahu. Namun pertanyaannya, bagaimana kita bisa mengetahui jumlah klik sebenarnya yang dilakukan konsumen? Konsumen bisa saja mengklik restoran kita seratus kali dan hanya melakukan satu kali pembelian. Namun dari mana kita tahu konsumen melakukan klik seratus kali? Tiba-tiba saja saya diharuskan membayar seratus kali klik itu, taruhlah per kliknya seribu rupiah, maka biayanya menjadi seratus ribu! Padahal pesanan yang masuk hanya satu, katakanlah senilai dua puluh lima ribu. 

Pesanan ke restoran saya memang bertambah, tapi tak sebanding dengan jumlah kliknya yang terus membumbung, sampai mencapai angka lima ratus ribuan. Mungkin pihak aplikator meminta saya untuk mengevaluasi: kenapa orang mengklik sebanyak itu tapi yang membeli jauh di bawahnya. Iya, tapi tetap saja, tahu dari mana bahwa jumlah klik terhadap restoran saya itu sedemikian banyaknya? Bukankah aplikator mengarang angka pun toh saya tidak bakalan tahu? Ini sama saja dengan dunia penerbitan dan dunia rekaman. Kita tidak pernah benar-benar tahu berapa buku atau rekaman yang terjual sebenarnya di pasaran. Yang kita terima hanya laporan yang entah benar atau dimanipulasi, yang pasti kita langsung menerima royalti sekian. 

Jadinya saya melepas fitur promo satu per satu dan hanya fokus pada promo yang memang terbukti meningkatkan penjualan secara signifikan. Bahkan saya terpikirkan untuk menaikkan harga gila-gilaan saja di aplikasi. Pemesan via aplikasi adalah hanya untuk mereka yang tak memusingkan perkara harga. Yang penting pesanan mereka diantarkan ke tujuan. Ide yang terakhir ini masih saya simpan, mungkin kelak dijalankan kalau penjualan offline sudah stabil. Namun pesan moralnya, jangan mudah tergiur serba serbi tawaran aplikator, padahal transparansinya sangatlah patut dipertanyakan.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...