Skip to main content

Badai

Maka metamorfosis roh menurut Nietzsche berakhir pada anak sebagai puncak, setelah sebelumnya menjadi unta dan singa. Apa maksudnya menjadi anak? Saya sering mencontohkan peristiwa banjir. Unta akan pasrah pada banjir, singa berusaha melawan banjir, sementara anak akan bermain dengan banjir itu. Seseorang yang telah mencapai tahap metamorfosis anak sebenarnya tak perlu ambil pusing tentang nasibnya: dia bisa jadi seorang pekerja kantoran yang dieksploitasi dari jam sembilan sampai jam lima, tetapi tak perlu capek-capek berontak atau berupaya melawan sistem. Dalam tahap metamorfosis anak, dia akan mampu menjalaninya dengan luwes seperti sebuah peran. Seperti sebuah permainan .  Dia tahu dia melakukannya demi uang, sehingga tak ada gunanya merasa terbebani (seperti seekor unta) atau berusaha mengubah tatanan (seperti seekor singa). Jalani saja seperti seorang aktor dalam pertunjukan, yang tengah memainkan peran sebagai "pekerja kantoran" dengan sebaik-baiknya. Setelah pertunjuk

Aplikator dan Transparansi

 

Sudah sebulan saya berbisnis makanan. Tentu saja saya mengaktifkan fitur online supaya dagangan lebih ramai. Memang lumayan, tiap hari ada saja yang beli lewat aplikator layanan jasa antar makanan, meskipun jumlahnya belum bisa dikatakan ramai. Karena perasaan yang begitu senang setiap adanya orderan, saya mencoba berbagai fitur promo dan diskon yang ditawarkan aplikator. Pikiran saya, "Ah, gapapa dipotong biaya promosi dan diskon agak lumayan, yang penting ramai pemesan dulu." 

Memang promosi ini lumayan memberi dampak, karena bagaimanapun konsumen senang dengan potongan harga. Lama kelamaan, fitur promosi dan diskon ini makin menggiurkan. Ada yang menawarkan ruang untuk banner besar sehingga saat calon konsumen membuka aplikasi, langsung foto restoran saya yang terpampang. Bagaimana tidak menarik? Saya dengan latah mengklik saja karena yakin tampilan yang mencolok akan membuat makanan saya laku. Pembeli memang bertambah, tetapi apa yang terjadi? Suatu hari masuk biaya tagihan via e-mail yang besarnya bikin saya pusing. Saya harus membayar lima ratusan ribu pada aplikator. 

Rupanya ada hal yang luput saya pahami. Saya membayar pada aplikator untuk setiap klik yang dilakukan konsumen pada menu restoran kita. Klik tentu belum berarti membeli, sampai di sana saya tahu. Namun pertanyaannya, bagaimana kita bisa mengetahui jumlah klik sebenarnya yang dilakukan konsumen? Konsumen bisa saja mengklik restoran kita seratus kali dan hanya melakukan satu kali pembelian. Namun dari mana kita tahu konsumen melakukan klik seratus kali? Tiba-tiba saja saya diharuskan membayar seratus kali klik itu, taruhlah per kliknya seribu rupiah, maka biayanya menjadi seratus ribu! Padahal pesanan yang masuk hanya satu, katakanlah senilai dua puluh lima ribu. 

Pesanan ke restoran saya memang bertambah, tapi tak sebanding dengan jumlah kliknya yang terus membumbung, sampai mencapai angka lima ratus ribuan. Mungkin pihak aplikator meminta saya untuk mengevaluasi: kenapa orang mengklik sebanyak itu tapi yang membeli jauh di bawahnya. Iya, tapi tetap saja, tahu dari mana bahwa jumlah klik terhadap restoran saya itu sedemikian banyaknya? Bukankah aplikator mengarang angka pun toh saya tidak bakalan tahu? Ini sama saja dengan dunia penerbitan dan dunia rekaman. Kita tidak pernah benar-benar tahu berapa buku atau rekaman yang terjual sebenarnya di pasaran. Yang kita terima hanya laporan yang entah benar atau dimanipulasi, yang pasti kita langsung menerima royalti sekian. 

Jadinya saya melepas fitur promo satu per satu dan hanya fokus pada promo yang memang terbukti meningkatkan penjualan secara signifikan. Bahkan saya terpikirkan untuk menaikkan harga gila-gilaan saja di aplikasi. Pemesan via aplikasi adalah hanya untuk mereka yang tak memusingkan perkara harga. Yang penting pesanan mereka diantarkan ke tujuan. Ide yang terakhir ini masih saya simpan, mungkin kelak dijalankan kalau penjualan offline sudah stabil. Namun pesan moralnya, jangan mudah tergiur serba serbi tawaran aplikator, padahal transparansinya sangatlah patut dipertanyakan.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k