Skip to main content

Badai

Maka metamorfosis roh menurut Nietzsche berakhir pada anak sebagai puncak, setelah sebelumnya menjadi unta dan singa. Apa maksudnya menjadi anak? Saya sering mencontohkan peristiwa banjir. Unta akan pasrah pada banjir, singa berusaha melawan banjir, sementara anak akan bermain dengan banjir itu. Seseorang yang telah mencapai tahap metamorfosis anak sebenarnya tak perlu ambil pusing tentang nasibnya: dia bisa jadi seorang pekerja kantoran yang dieksploitasi dari jam sembilan sampai jam lima, tetapi tak perlu capek-capek berontak atau berupaya melawan sistem. Dalam tahap metamorfosis anak, dia akan mampu menjalaninya dengan luwes seperti sebuah peran. Seperti sebuah permainan .  Dia tahu dia melakukannya demi uang, sehingga tak ada gunanya merasa terbebani (seperti seekor unta) atau berusaha mengubah tatanan (seperti seekor singa). Jalani saja seperti seorang aktor dalam pertunjukan, yang tengah memainkan peran sebagai "pekerja kantoran" dengan sebaik-baiknya. Setelah pertunjuk

Apa Kabar?



Sudah tiga bulan berlalu dari masalah itu, bagaimana kabarmu? 

Baik, membaik, tentu saja perasaan kadang masih saja naik turun. Sesekali saya merasa terpuruk, tapi tak sesering dulu, pas awal-awal kejadian. 

Apa yang kamu lihat sekarang? 

Saya kehilangan banyak hal, tentu saja, tapi saya juga mendapatkan banyak hal sekaligus. 

Apa misalnya? 

Orang-orang. Saya kira kehidupan saya menjadi terbuka terhadap berbagai macam orang. Dulu saya punya pikiran begini: karena saya menganut ideologi A, maka saya tak bisa bergaul dengan orang-orang di luar ideologi A itu. Mungkin saya bisa saja ngobrol-ngobrol bersama mereka, tetapi tak bisa berlama-lama dan seringkali merasa terpaksa. Sekarang saya merasa senang bisa ngobrol dengan orang-orang yang dulu mungkin tak terpikirkan seperti kyai di pesantren, anggota ormas, tukang ubi, penjual nasi kuning dan lain-lain. Bukan artinya dulu saya tidak bisa ngobrol dengan mereka, tetapi sekarang saya ngobrol dengan rasa kagum dan keinginan belajar yang tinggi. Dari hati yang terdalam, saya benar-benar mengagumi mereka, karena saya tak bisa seperti mereka. 

Kalau dulu memang kamu seperti apa? 

Yah, mungkin saya ngobrol dengan anggota ormas, pernah, tetapi dengan mental nge-judge, meski dalam hati saja. Atau saya ngobrol dengan para pedagang tiap pagi, sambil sarapan, tapi obrolan-obrolan itu hanya basa basi saja, karena mungkin saya ingin terkesan hangat dan ramah, atau ingin menjadikan mereka sebagai bahan cerita di kelas atau tulisan, "Tadi saya bertemu tukang nasi goreng, lalu...". 

Jadi, bagaimana pertemananmu sekarang? 

Secara kuantitas tentu tidak sebanyak dulu, tetapi saya merasa bahwa sedikit teman tapi bermutu itu jauh lebih berharga. Saat saya memiliki reputasi baik, ternyata banyak orang merapat untuk menjadi teman. Namun saat saya terpuruk, baru terlihat mana teman sejati. Mereka kadang hadir dari latar belakang yang tak disangka-sangka. 

Bagaimana pandanganmu tentang filsafat sekarang? 

Jujur, ketertarikan saya terhadapnya menjadi jauh menurun, bahkan kadang malas sekali untuk mengingat-ngingatnya. Alasannya, saya sedang menjalani filsafat sekarang, meresapinya pada tubuh dan tindakan. Membicarakannya malah membuat filsafat menjadi terpisah. Dengan saya menghayatinya dalam tubuh dan tindakan, saya menjadi sadar bahwa setiap orang pada dasarnya berfilsafat. 

Bagaimana pandanganmu tentang dunia akademik sekarang? 

Sedari dulu saya tak punya kekaguman berlebihan terhadap dunia akademik. Itu hanya perhiasan saja supaya kita punya kedudukan yang lumayan di masyarakat. Padahal biasa-biasa saja. Mau dia itu doktor, profesor dalam bidang bisnis, belum tentu dia bisa berdagang sate di pinggir jalan. Kita bisa bilang, "Kan level doktor dan profesor itu sudah konseptual, bukan lagi berkutat di dunia materi dengan melayani pembeli." Saya pikir pandangan demikian keliru, karena tukang sate itu juga berpikir konseptual. Bedanya, dia memikirkannya sambil bertindak dan sepaket dengan tindakannya. 

Apa yang kamu rancang untuk hari-hari ke depan? 

Saya mulai menikmati hidup sebagai pebisnis. Hal yang sulit pada awalnya adalah memindahkan pikiran, tetapi yang jauh lebih rumit sekarang adalah mengubah kebiasaan tubuh. Tubuh pebisnis adalah tubuh yang selalu berada dalam risiko dan ketidakpastian. Hari ini bisa laku, besoknya bisa zonk sama sekali. Mungkin mirip seperti saya dulu yang juga bekerja sebagai freelancer. Tapi pebisnis sekaligus menanggung hal-hal seperti upah kerja, biaya sewa, dan lain-lain yang bikin saya harus berpikir lebih sering dari sebelumnya. Untuk saat ini, saya tak berpikir apapun tentang bagaimana hidup ke depan. Berjuang saja sebisa-bisa setiap harinya.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k