Belakangan saya baru dengar istilah "uzlah" yang kurang lebih diartikan sebagai "pengasingan diri" atau "pemisahan diri". Dalam analisis saya yang tak paham agama, uzlah berbeda dengan hijrah. Meski sama-sama "berpindah", hijrah tak mensyaratkan pengasingan dari orang-orang. Dalam hijrah fisik, misalnya, saya bisa saja berpindah dari kota A ke kota B, tetapi saya tak harus kehilangan pergaulan di kota B, meski bersama orang yang benar-benar baru. Begitupun dalam hijrah batin, saya bisa meninggalkan kebiasaan lama, beralih menuju kebiasaan baru, dengan sirkel baru, tetapi tetap saja tak harus menjauh dari manusia.
Sementara dari ceramah-ceramah yang saya tonton, uzlah punya kecenderungan menjauh dari kehidupan sosial atau bisa juga: membatasi diri dari pergaulan. Kita tentu perlu manusia lain, tetapi dalam uzlah, semuanya sangat dibatasi. Tak usah bergaul kalau tidak perlu-perlu amat. Dalam sejumlah peristiwa, bahkan uzlah ini bisa dilakukan dalam bentuk menyepi ke suatu tempat, bisa itu hutan, gunung, dan tempat-tempat lainnya yang di dalamnya hanya ada sedikit manusia.
Sewaktu awal-awal terjadinya masalah "ini", seorang kawan memberi saya kata-kata menyejukkan lewat Whatsapp, "Tenanglah, teman tidak hanya manusia. Ada kucing, ada tanaman, itu semua temanmu." Memang dalam beberapa tahun terakhir, hidup saya diisi oleh banyak manusia. Pergaulan saya nyaris tak terbatas, bisa menembus banyak kalangan. Saya begitu tergantung pada manusia, lebih tepatnya: tatapan manusia. Hidup saya begitu dikendalikan oleh bagaimana orang lain berpikir tentang saya. Sampai akhirnya cara saya "ingin terlihat" itu membunuh saya sendiri. Manusia-manusia menjadi neraka.
"Ada kucing, ada tanaman, itu semua temanmu." Betul, tapi bukankah mereka seperti tidak merespons dan hanya menjadi objek tatapan saya saja? Si Niko saya kasih makan, saya marahi, saya suruh tangkap tikus, dia tidak akan merespons sedemikian rupa sehingga menimbulkan suatu diskusi yang panjang. Begitupun tanaman-tanaman di pekarangan, kalau mereka disirami, ya reaksinya begitu saja. Namun disitulah justru poinnya, saya tak mampu menangkap reaksi mereka, karena selama ini tak punya cukup kepekaan sampai sana. Padahal mereka merespons, padahal mereka mengerti.
Sejak kondisi saya agak kacau dalam dua bulan terakhir ini, Niko lebih sering menemani tidur. Dia tak terlalu nakal dan seolah-olah berusaha lebih banyak maklum. Dalam banyak kesempatan, dia dengan bangga mempersembahkan tikus kecil dan kadal pada saya. Tadinya saya ketakutan, tetapi sekarang saya paham: itulah caranya merespons, berusaha menghibur. Tanaman-tanaman itu juga membuat suasana pagi lebih segar dari biasanya. Pagi-pagi saya langsung bersantai di teras, menyeduh kopi dan menikmati pagi sambil merokok. Tak ada manusia, hanya saya, Niko, dan tanaman. Masih ada orang-orang yang mengontak, tentu saja, tetapi seperlunya saja. Tak perlu banyak-banyak ngobrol seperti dulu, apalagi sampai berdiskusi.
Kata seorang teman, saya sedang dalam fase ber-uzlah, sebuah periode dalam hidup kala kita perlu menjauh sejenak dari manusia lain. Bagi saya yang sempat gemar hidup dalam lampu sorot, tak pernah terbayangkan akan berada dalam situasi semacam diasingkan. Namun lama kelamaan saya paham mengapa perlu ada fase seperti ini dalam hidup. Bagi para sufi, mungkin uzlah adalah periode menjauhkan diri dari keriuhan supaya bisa lebih dekat dengan Tuhan. Bagi saya, uzlah adalah fase ketika saya mampu menyimak kucing dan tanaman.
Comments
Post a Comment