Skip to main content

Badai

Maka metamorfosis roh menurut Nietzsche berakhir pada anak sebagai puncak, setelah sebelumnya menjadi unta dan singa. Apa maksudnya menjadi anak? Saya sering mencontohkan peristiwa banjir. Unta akan pasrah pada banjir, singa berusaha melawan banjir, sementara anak akan bermain dengan banjir itu. Seseorang yang telah mencapai tahap metamorfosis anak sebenarnya tak perlu ambil pusing tentang nasibnya: dia bisa jadi seorang pekerja kantoran yang dieksploitasi dari jam sembilan sampai jam lima, tetapi tak perlu capek-capek berontak atau berupaya melawan sistem. Dalam tahap metamorfosis anak, dia akan mampu menjalaninya dengan luwes seperti sebuah peran. Seperti sebuah permainan .  Dia tahu dia melakukannya demi uang, sehingga tak ada gunanya merasa terbebani (seperti seekor unta) atau berusaha mengubah tatanan (seperti seekor singa). Jalani saja seperti seorang aktor dalam pertunjukan, yang tengah memainkan peran sebagai "pekerja kantoran" dengan sebaik-baiknya. Setelah pertunjuk

Uzlah

Belakangan saya baru dengar istilah "uzlah" yang kurang lebih diartikan sebagai "pengasingan diri" atau "pemisahan diri". Dalam analisis saya yang tak paham agama, uzlah berbeda dengan hijrah. Meski sama-sama "berpindah", hijrah tak mensyaratkan pengasingan dari orang-orang. Dalam hijrah fisik, misalnya, saya bisa saja berpindah dari kota A ke kota B, tetapi saya tak harus kehilangan pergaulan di kota B, meski bersama orang yang benar-benar baru. Begitupun dalam hijrah batin, saya bisa meninggalkan kebiasaan lama, beralih menuju kebiasaan baru, dengan sirkel baru, tetapi tetap saja tak harus menjauh dari manusia. 

Sementara dari ceramah-ceramah yang saya tonton, uzlah punya kecenderungan menjauh dari kehidupan sosial atau bisa juga: membatasi diri dari pergaulan. Kita tentu perlu manusia lain, tetapi dalam uzlah, semuanya sangat dibatasi. Tak usah bergaul kalau tidak perlu-perlu amat. Dalam sejumlah peristiwa, bahkan uzlah ini bisa dilakukan dalam bentuk menyepi ke suatu tempat, bisa itu hutan, gunung, dan tempat-tempat lainnya yang di dalamnya hanya ada sedikit manusia. 

Sewaktu awal-awal terjadinya masalah "ini", seorang kawan memberi saya kata-kata menyejukkan lewat Whatsapp, "Tenanglah, teman tidak hanya manusia. Ada kucing, ada tanaman, itu semua temanmu." Memang dalam beberapa tahun terakhir, hidup saya diisi oleh banyak manusia. Pergaulan saya nyaris tak terbatas, bisa menembus banyak kalangan. Saya begitu tergantung pada manusia, lebih tepatnya: tatapan manusia. Hidup saya begitu dikendalikan oleh bagaimana orang lain berpikir tentang saya. Sampai akhirnya cara saya "ingin terlihat" itu membunuh saya sendiri. Manusia-manusia menjadi neraka. 

"Ada kucing, ada tanaman, itu semua temanmu." Betul, tapi bukankah mereka seperti tidak merespons dan hanya menjadi objek tatapan saya saja? Si Niko saya kasih makan, saya marahi, saya suruh tangkap tikus, dia tidak akan merespons sedemikian rupa sehingga menimbulkan suatu diskusi yang panjang. Begitupun tanaman-tanaman di pekarangan, kalau mereka disirami, ya reaksinya begitu saja. Namun disitulah justru poinnya, saya tak mampu menangkap reaksi mereka, karena selama ini tak punya cukup kepekaan sampai sana. Padahal mereka merespons, padahal mereka mengerti

Sejak kondisi saya agak kacau dalam dua bulan terakhir ini, Niko lebih sering menemani tidur. Dia tak terlalu nakal dan seolah-olah berusaha lebih banyak maklum. Dalam banyak kesempatan, dia dengan bangga mempersembahkan tikus kecil dan kadal pada saya. Tadinya saya ketakutan, tetapi sekarang saya paham: itulah caranya merespons, berusaha menghibur. Tanaman-tanaman itu juga membuat suasana pagi lebih segar dari biasanya. Pagi-pagi saya langsung bersantai di teras, menyeduh kopi dan menikmati pagi sambil merokok. Tak ada manusia, hanya saya, Niko, dan tanaman. Masih ada orang-orang yang mengontak, tentu saja, tetapi seperlunya saja. Tak perlu banyak-banyak ngobrol seperti dulu, apalagi sampai berdiskusi. 

Kata seorang teman, saya sedang dalam fase ber-uzlah, sebuah periode dalam hidup kala kita perlu menjauh sejenak dari manusia lain. Bagi saya yang sempat gemar hidup dalam lampu sorot, tak pernah terbayangkan akan berada dalam situasi semacam diasingkan. Namun lama kelamaan saya paham mengapa perlu ada fase seperti ini dalam hidup. Bagi para sufi, mungkin uzlah adalah periode menjauhkan diri dari keriuhan supaya bisa lebih dekat dengan Tuhan. Bagi saya, uzlah adalah fase ketika saya mampu menyimak kucing dan tanaman.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k