Skip to main content

Pulih

  Jalan beberapa hari jaga, saya mulai bosan. Rasanya berat sekali menunggui dagangan yang pembelinya terhitung sedikit. Lebih menderita lagi jika melihat barang dagangan sebelah lebih ramai dibeli. Hal yang menjadi hiburan adalah menulis terus menerus, supaya tidak terlihat bengong. Supaya tidak mati gaya.  Beberapa hari yang lalu, pas hari awal-awal saya mulai jaga, tiba-tiba saya punya keberanian untuk posting foto di Instagram. Setelah itu mulai merambah ke Facebook, lalu mulai semangat untuk posting sejumlah story di Instagram, mulai dari tentang jalannya kasus sejauh ini sampai kegiatan sehari-hari. Entah keberanian dari mana, tiba-tiba saya mem-posting story tentang tulisan-tulisan yang diturunkan dari berbagai website. Saya menuliskan, "Siapa yang mau tulisan saya? Gratis, akan saya kirimkan via e-mail". Ternyata banyak juga yang menginginkan tulisan-tulisan itu, ada lebih dari 90 orang.  Kemudian saya terpikir untuk membuat grup lagi, bersama orang-orang yang bisa di

Tong Sampah


Entah mulai kapan aturan ini, tapi dalam sepakbola, membuka kaos setelah mencetak gol dapat dihukum kartu kuning. Juga dalam sepakbola, pemain tidak boleh lanjut menendang bola jika wasit meniup peluit tanda permainan mesti distop. Ingat kejadian heboh pada bulan Maret 2011 antara Arsenal lawan Barcelona? Robin van Persie menerima kartu kuning kedua karena tetap menyepak bola meski wasit telah meniup peluit tanda offside. Demikian halnya dalam basket, sebuah tim dapat dihukum technical foul jika protes berlebihan atau bereaksi lebay dengan misalnya membanting bola. Apa poinnya? 

Kita tentu tidak ingin olahraga hanya sekadar mencari siapa yang menang dan siapa yang kalah. Kita sekaligus ingin melihat emosi di dalamnya. Kita, sebagai penonton, turut menikmati sorak kegembiraan saat pemain mencetak gol, juga sekaligus menikmati kesedihan orang yang gagal mengeksekusi penalti. Itu sebabnya kamera pada tayangan olahraga seperti sepakbola, basket, tenis, badminton, atau voli, beberapa diantaranya langsung menyorot ekspresi pemain kala mereka mencetak poin, kehilangan poin, atau meraih kekalahan/ kemenangan di akhir pertandingan. Kita menikmati momen emosional itu. Bahkan mungkin bagi sebagian orang, itulah tujuan yang lebih paripurna ketimbang jalannya pertandingan itu sendiri. 

Jadi, apa poinnya? Kenapa, meski emosi adalah hal yang krusial dalam olahraga, tetap diberlakukan hukuman-hukuman atas emosi yang "tidak pantas"? Pemain boleh merayakan gol, tetapi tidak boleh sampai melepas kaos atau melakukan selebrasi terlalu lama. Pemain berhak protes atas keputusan wasit yang buruk, tetapi tidak boleh sampai berkata kasar atau berteriak. Jika dipikirkan secara sederhana, memang dapat dimengerti: seseorang boleh marah, tapi jangan berlebihan; boleh protes, tapi jangan lebay. 

Bukankah memang seperti itu dunia kehidupan sehari-hari kita (di luar olahraga)? Tapi pertanyaannya, mengapa tidak boleh lebay? Mengapa tidak boleh mengekspresikan sesuatu sebebas-bebasnya, sekuat-kuatnya? Mengapa segala-segalanya harus dipandu oleh rasio ("sebelum berbuat, coba dipikir dulu")? Ini merupakan problem yang kurang lebih sama dengan yang diajukan oleh Freud dalam Civilization and its Discontents. Freud mempersoalkan terjadinya tegangan antara insting individual yang menginginkan kebebasan versus kenyamanan sosial yang senantiasa merepresi insting-insting semacam itu. Seperti halnya: hampir semua orang pernah menonton film porno, tetapi menjadi buruk saat membicarakan film porno di ruang rapat atau di taman kota. Atau: ngamuk-ngamuk di restoran karena pesanan yang tak kunjung datang dianggap tak beradab, seolah-olah sudah seharusnya setiap orang tetap menunjukkan sikap kalem meski kemarahan sudah di ubun-ubun. 

Namun sekali lagi, sebagaimana halnya pertandingan olahraga, kita tidak ingin insting-insting itu total terepresi dalam kehidupan manusia beradab. Kita belum mau merelakan hidup pada murni rasionalitas, seperti halnya Platini dengan gigih menolak pemberlakuan goal line technology karena seolah ingin membiarkan sepakbola tetap "manusiawi", menjadikan kontroversi sebagai bagian dari pemantik emosi. Maka itu, emosi yang meluap-luap sekaligus direlokasi dalam misalnya, rumah bordil, arena judi, tempat mabuk-mabukan, atau bisa juga, secara sosial, pada keluarga atau orang-orang terdekat, atau bisa juga, kalau mau agak dipandang beradab: pada psikolog, atau bisa juga, kalau mau lebih aman, lewat proyeksi pada hal lain seperti film atau novel. Atau bisa juga, dalam lapisan yang lebih rumit: pada fetish-fetish.

Jadi, apa poinnya? Kita mungkin tak senang pada orang yang meluapkan emosinya secara berlebih. Mungkin. Tapi ada senangnya juga, kenapa? Pertama, menyenangkan saja menonton orang yang begitu kuat dalam meluapkan emosinya (misalnya, dalam pertandingan tinju atau UFC atau tayangan sinetron) (catatan: selama tidak membahayakan kita) atau kedua, karena bisa jadi kita juga ingin seperti dia. Kita ingin menyalurkan insting sebesar-besarnya tanpa batasan apapun dalam masyarakat. Cuma kita tidak bisa, karena khawatir dihakimi, takut dipandang seperti binatang. Tapi apa mau dikata, kita tak bisa menghilangkan insting-insting semacam itu, sehingga direlokasilah pada situasi yang lain, yang kita sebut saja: tong sampah. 

Masyarakat butuh tong sampah, tapi tak mau kelihatan sedang membuang sampah. Mereka ingin agar daerahnya kelihatan asri saja tanpa ada kegiatan membuang sampah. Bahkan tong sampah itu kalau bisa disembunyikan saja, tak perlu ketahuan ada di wilayahnya. Tong sampah itu teronggok di suatu sudut yang sukar kelihatan, tetapi semua orang tahu lokasinya ada di sana. Masing-masing mengendap-endap kala membuang sampah, tak mau ketahuan, tetapi diam-diam sambil mengintip, ingin tahu siapa orang lain yang sama-sama membuang sampah. Karena itulah pemandangan terindah baginya.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k