Entah mulai kapan aturan ini, tapi dalam sepakbola, membuka kaos setelah mencetak gol dapat dihukum kartu kuning. Juga dalam sepakbola, pemain tidak boleh lanjut menendang bola jika wasit meniup peluit tanda permainan mesti distop. Ingat kejadian heboh pada bulan Maret 2011 antara Arsenal lawan Barcelona? Robin van Persie menerima kartu kuning kedua karena tetap menyepak bola meski wasit telah meniup peluit tanda offside. Demikian halnya dalam basket, sebuah tim dapat dihukum technical foul jika protes berlebihan atau bereaksi lebay dengan misalnya membanting bola. Apa poinnya?
Kita tentu tidak ingin olahraga hanya sekadar mencari siapa yang menang dan siapa yang kalah. Kita sekaligus ingin melihat emosi di dalamnya. Kita, sebagai penonton, turut menikmati sorak kegembiraan saat pemain mencetak gol, juga sekaligus menikmati kesedihan orang yang gagal mengeksekusi penalti. Itu sebabnya kamera pada tayangan olahraga seperti sepakbola, basket, tenis, badminton, atau voli, beberapa diantaranya langsung menyorot ekspresi pemain kala mereka mencetak poin, kehilangan poin, atau meraih kekalahan/ kemenangan di akhir pertandingan. Kita menikmati momen emosional itu. Bahkan mungkin bagi sebagian orang, itulah tujuan yang lebih paripurna ketimbang jalannya pertandingan itu sendiri.
Jadi, apa poinnya? Kenapa, meski emosi adalah hal yang krusial dalam olahraga, tetap diberlakukan hukuman-hukuman atas emosi yang "tidak pantas"? Pemain boleh merayakan gol, tetapi tidak boleh sampai melepas kaos atau melakukan selebrasi terlalu lama. Pemain berhak protes atas keputusan wasit yang buruk, tetapi tidak boleh sampai berkata kasar atau berteriak. Jika dipikirkan secara sederhana, memang dapat dimengerti: seseorang boleh marah, tapi jangan berlebihan; boleh protes, tapi jangan lebay.
Bukankah memang seperti itu dunia kehidupan sehari-hari kita (di luar olahraga)? Tapi pertanyaannya, mengapa tidak boleh lebay? Mengapa tidak boleh mengekspresikan sesuatu sebebas-bebasnya, sekuat-kuatnya? Mengapa segala-segalanya harus dipandu oleh rasio ("sebelum berbuat, coba dipikir dulu")? Ini merupakan problem yang kurang lebih sama dengan yang diajukan oleh Freud dalam Civilization and its Discontents. Freud mempersoalkan terjadinya tegangan antara insting individual yang menginginkan kebebasan versus kenyamanan sosial yang senantiasa merepresi insting-insting semacam itu. Seperti halnya: hampir semua orang pernah menonton film porno, tetapi menjadi buruk saat membicarakan film porno di ruang rapat atau di taman kota. Atau: ngamuk-ngamuk di restoran karena pesanan yang tak kunjung datang dianggap tak beradab, seolah-olah sudah seharusnya setiap orang tetap menunjukkan sikap kalem meski kemarahan sudah di ubun-ubun.
Namun sekali lagi, sebagaimana halnya pertandingan olahraga, kita tidak ingin insting-insting itu total terepresi dalam kehidupan manusia beradab. Kita belum mau merelakan hidup pada murni rasionalitas, seperti halnya Platini dengan gigih menolak pemberlakuan goal line technology karena seolah ingin membiarkan sepakbola tetap "manusiawi", menjadikan kontroversi sebagai bagian dari pemantik emosi. Maka itu, emosi yang meluap-luap sekaligus direlokasi dalam misalnya, rumah bordil, arena judi, tempat mabuk-mabukan, atau bisa juga, secara sosial, pada keluarga atau orang-orang terdekat, atau bisa juga, kalau mau agak dipandang beradab: pada psikolog, atau bisa juga, kalau mau lebih aman, lewat proyeksi pada hal lain seperti film atau novel. Atau bisa juga, dalam lapisan yang lebih rumit: pada fetish-fetish.
Jadi, apa poinnya? Kita mungkin tak senang pada orang yang meluapkan emosinya secara berlebih. Mungkin. Tapi ada senangnya juga, kenapa? Pertama, menyenangkan saja menonton orang yang begitu kuat dalam meluapkan emosinya (misalnya, dalam pertandingan tinju atau UFC atau tayangan sinetron) (catatan: selama tidak membahayakan kita) atau kedua, karena bisa jadi kita juga ingin seperti dia. Kita ingin menyalurkan insting sebesar-besarnya tanpa batasan apapun dalam masyarakat. Cuma kita tidak bisa, karena khawatir dihakimi, takut dipandang seperti binatang. Tapi apa mau dikata, kita tak bisa menghilangkan insting-insting semacam itu, sehingga direlokasilah pada situasi yang lain, yang kita sebut saja: tong sampah.
Masyarakat butuh tong sampah, tapi tak mau kelihatan sedang membuang sampah. Mereka ingin agar daerahnya kelihatan asri saja tanpa ada kegiatan membuang sampah. Bahkan tong sampah itu kalau bisa disembunyikan saja, tak perlu ketahuan ada di wilayahnya. Tong sampah itu teronggok di suatu sudut yang sukar kelihatan, tetapi semua orang tahu lokasinya ada di sana. Masing-masing mengendap-endap kala membuang sampah, tak mau ketahuan, tetapi diam-diam sambil mengintip, ingin tahu siapa orang lain yang sama-sama membuang sampah. Karena itulah pemandangan terindah baginya.
Comments
Post a Comment