Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...

Tong Sampah


Entah mulai kapan aturan ini, tapi dalam sepakbola, membuka kaos setelah mencetak gol dapat dihukum kartu kuning. Juga dalam sepakbola, pemain tidak boleh lanjut menendang bola jika wasit meniup peluit tanda permainan mesti distop. Ingat kejadian heboh pada bulan Maret 2011 antara Arsenal lawan Barcelona? Robin van Persie menerima kartu kuning kedua karena tetap menyepak bola meski wasit telah meniup peluit tanda offside. Demikian halnya dalam basket, sebuah tim dapat dihukum technical foul jika protes berlebihan atau bereaksi lebay dengan misalnya membanting bola. Apa poinnya? 

Kita tentu tidak ingin olahraga hanya sekadar mencari siapa yang menang dan siapa yang kalah. Kita sekaligus ingin melihat emosi di dalamnya. Kita, sebagai penonton, turut menikmati sorak kegembiraan saat pemain mencetak gol, juga sekaligus menikmati kesedihan orang yang gagal mengeksekusi penalti. Itu sebabnya kamera pada tayangan olahraga seperti sepakbola, basket, tenis, badminton, atau voli, beberapa diantaranya langsung menyorot ekspresi pemain kala mereka mencetak poin, kehilangan poin, atau meraih kekalahan/ kemenangan di akhir pertandingan. Kita menikmati momen emosional itu. Bahkan mungkin bagi sebagian orang, itulah tujuan yang lebih paripurna ketimbang jalannya pertandingan itu sendiri. 

Jadi, apa poinnya? Kenapa, meski emosi adalah hal yang krusial dalam olahraga, tetap diberlakukan hukuman-hukuman atas emosi yang "tidak pantas"? Pemain boleh merayakan gol, tetapi tidak boleh sampai melepas kaos atau melakukan selebrasi terlalu lama. Pemain berhak protes atas keputusan wasit yang buruk, tetapi tidak boleh sampai berkata kasar atau berteriak. Jika dipikirkan secara sederhana, memang dapat dimengerti: seseorang boleh marah, tapi jangan berlebihan; boleh protes, tapi jangan lebay. 

Bukankah memang seperti itu dunia kehidupan sehari-hari kita (di luar olahraga)? Tapi pertanyaannya, mengapa tidak boleh lebay? Mengapa tidak boleh mengekspresikan sesuatu sebebas-bebasnya, sekuat-kuatnya? Mengapa segala-segalanya harus dipandu oleh rasio ("sebelum berbuat, coba dipikir dulu")? Ini merupakan problem yang kurang lebih sama dengan yang diajukan oleh Freud dalam Civilization and its Discontents. Freud mempersoalkan terjadinya tegangan antara insting individual yang menginginkan kebebasan versus kenyamanan sosial yang senantiasa merepresi insting-insting semacam itu. Seperti halnya: hampir semua orang pernah menonton film porno, tetapi menjadi buruk saat membicarakan film porno di ruang rapat atau di taman kota. Atau: ngamuk-ngamuk di restoran karena pesanan yang tak kunjung datang dianggap tak beradab, seolah-olah sudah seharusnya setiap orang tetap menunjukkan sikap kalem meski kemarahan sudah di ubun-ubun. 

Namun sekali lagi, sebagaimana halnya pertandingan olahraga, kita tidak ingin insting-insting itu total terepresi dalam kehidupan manusia beradab. Kita belum mau merelakan hidup pada murni rasionalitas, seperti halnya Platini dengan gigih menolak pemberlakuan goal line technology karena seolah ingin membiarkan sepakbola tetap "manusiawi", menjadikan kontroversi sebagai bagian dari pemantik emosi. Maka itu, emosi yang meluap-luap sekaligus direlokasi dalam misalnya, rumah bordil, arena judi, tempat mabuk-mabukan, atau bisa juga, secara sosial, pada keluarga atau orang-orang terdekat, atau bisa juga, kalau mau agak dipandang beradab: pada psikolog, atau bisa juga, kalau mau lebih aman, lewat proyeksi pada hal lain seperti film atau novel. Atau bisa juga, dalam lapisan yang lebih rumit: pada fetish-fetish.

Jadi, apa poinnya? Kita mungkin tak senang pada orang yang meluapkan emosinya secara berlebih. Mungkin. Tapi ada senangnya juga, kenapa? Pertama, menyenangkan saja menonton orang yang begitu kuat dalam meluapkan emosinya (misalnya, dalam pertandingan tinju atau UFC atau tayangan sinetron) (catatan: selama tidak membahayakan kita) atau kedua, karena bisa jadi kita juga ingin seperti dia. Kita ingin menyalurkan insting sebesar-besarnya tanpa batasan apapun dalam masyarakat. Cuma kita tidak bisa, karena khawatir dihakimi, takut dipandang seperti binatang. Tapi apa mau dikata, kita tak bisa menghilangkan insting-insting semacam itu, sehingga direlokasilah pada situasi yang lain, yang kita sebut saja: tong sampah. 

Masyarakat butuh tong sampah, tapi tak mau kelihatan sedang membuang sampah. Mereka ingin agar daerahnya kelihatan asri saja tanpa ada kegiatan membuang sampah. Bahkan tong sampah itu kalau bisa disembunyikan saja, tak perlu ketahuan ada di wilayahnya. Tong sampah itu teronggok di suatu sudut yang sukar kelihatan, tetapi semua orang tahu lokasinya ada di sana. Masing-masing mengendap-endap kala membuang sampah, tak mau ketahuan, tetapi diam-diam sambil mengintip, ingin tahu siapa orang lain yang sama-sama membuang sampah. Karena itulah pemandangan terindah baginya.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...