Dulu nonton sepakbola itu bisa terlihat gaya masing-masing negara. Jerman cenderung seradak-seruduk seperti tank panzer, Itali agak flamboyan, manipulatif, dan pragmatis, sementara Inggris terkenal dengan umpan-umpan panjang. Sejak era Guardiola di Barcelona sekitar tahun 2008-an, tim-tim lain mulai mengadopsi gaya serupa, yang membuat Spanyol berjaya di tahun-tahun yang sama. Hingga akhirnya sekarang, kita menyaksikan bagaimana Euro 2024 hampir semua tim menerapkan "gaya Guardiola".
Dalam Youtube Shorts, eks gelandang Bayern Muenchen dan Manchester United, Bastian Schweinsteiger pernah agak keberatan tentang penyebaran "gaya Guardiola" ini. Katanya, waktu Pep membesut Muenchen, timnya itu menjadi kehilangan gen-nya. Permainannya bagus, tapi tidak seperti Muenchen yang biasanya. Jadi, apa itu "Gaya Guardiola"? Kita lihat, hampir semua tim di Euro 2024 bermain dengan gaya serupa:
- Kiper dan bek tengah harus punya kemampuan menggiring bola dan memberi operan pendek. Kita tak lagi melihat kiper dan bek tengah yang brutal membuang bola ke depan secara random. Gaya Guardiola memberi kepastian alur permainan lewat bola-bola yang presisi. Di sisi lain, kiper dan bek tengah tak lagi "main aman", melainkan harus mampu bermain di bawah tekanan penyerang lawan yang mengejar dan merebut bola. Menariknya, untuk posisi kiper, meski shot-stopping adalah skill dasar yang penting, tapi hal yang lebih utama adalah kemampuannya "bermain bola" dan menjadi bagian dari permainan kolektif para pemain outfield. Kita bisa ambil contoh Victor Valdes di jaman Pep. Meski Barcelona adalah tim terbaik di dunia kala itu, dia bukan termasuk kiper yang dikategorikan world class sebagai shot-stopper.
- Sifat gelandang bertahan sudah kurang bisa disebut destroyer seperti Claude Makelele atau Gennaro Gattuso, melainkan mesti mampu mengalirkan bola dan mendiktasi permainan. Mereka juga harus mampu sekaligus melapis bek tengah yang diperbolehkan merangsek ke depan dengan kapasitasnya sebagai ball-playing defender. Sebelum Sergio Busquets mendefinisikan ulang peran gelandang bertahan, Didier Deschamps sebenarnya sudah melakukan peran ini waktu jadi pemain, yang membuatnya "tak terlihat" tapi justru memainkan peran paling sentral.
- Pemain kreatif atau biasa disebut "nomor 10" tak terlalu penting lagi. Dulu bisa ada pemain seperti Maradona, Hagi, Zidane, atau Totti yang mampu mengacak-acak pertahanan lawan sendirian. Sekarang yang lebih penting adalah pemain taktis dan pekerja keras, yang tak harus menahan bola terlalu lama, tetapi mesti bagian dari permainan pendek-pendek yang mengganggu posisi pertahanan lawan. Itu sebabnya, sepakbola masa kini tak lagi melahirkan individu-individu menonjol karena yang lebih utama adalah taat pada taktik.
- Matinya posisi sayap (winger) yang dulu mampu menyisir bagian sisi kiri atau kanan pertahanan lawan sebelum melepaskan umpan berbahaya ke kotak penalti seperti dilakukan Marc Overmars atau Cristiano Ronaldo muda. Sekarang posisi sayap lebih umum memotong ke tengah (cut inside) atau untuk membuat pertahanan lawan bingung dengan hanya standby di posisi wide. Peran ini pernah diperankan dengan sempurna oleh David Villa di jaman Barcelona dipegang Pep. Bola yang dipegang wide player kemudian mendiktasi permainan dari arah sayap, membuatnya punya pilihan antara masuk ke tengah, memberi operan berbahaya ke kotak penalti, atau melepaskannya ke pemain tengah untuk mengubah arah penguasaan. Wide player ini biasanya menggunakan kaki yang berbeda dengan posisinya (kaki kanan untuk sayap kiri atau kaki kiri untuk sayap kanan) sehingga dia punya opsi memotong dan menembak, tetapi jarang sekali berujung crossing (karena harus menggunakan kaki lemahnya).
- Peran striker yang sifatnya poacher (berada di ujung terakhir pertahanan) seperti Inzaghi atau finisher sempurna seperti Shearer atau Van Nistelrooy agak berkurang, diganti dengan "false 9" yang tugasnya lebih ke menarik bek tengah keluar dari posisinya. Memang penyerang murni masih ada, tetapi skill-nya ditambah dari cuma sekadar penyelesai peluang. Mereka harus bisa sekaligus menekan ball-playing defender dan full-back lawan yang merangsek ke depan. Striker adalah sekaligus bagian dari kolektivitas pressing.
Memang tak semua tim kemudian murni menerapkan gaya semacam itu. Tulisan ini didorong oleh kekecewaan pasca menyaksikan permainan Itali yang sok-sokan mengikuti gaya Pep tapi mereka sama sekali tak berbakat mengimplementasikannya. Itali tak bisa keluar dari tekanan Swiss dan berusaha setia dengan bola-bola pendek yang sama sekali tidak solutif. Bahkan Swiss lebih mampu menerapkan gaya Pep dengan lebih baik dicampur dengan kemampuan pressing yang membuat Itali, yang berpusat pada Nicolo Fagioli sebagai Pirlo wanna-be, tak berkutik kecuali hanya bisa menyerahkan bola pada bek-bek penggiring bola seperti Bastoni (yang sedikit lebih solutif). Itali punya wide player seperti Chiesa atau Zaccagni, tapi lagi-lagi tak cukup berguna untuk menjadi David Villa atau Pedro a la Barcelona-nya Pep.
Saya ingat bagaimana komentator di pertandingan Itali Kroasia berkata, "Doesn't have to be beauty" ketika Itali terpojok di menit-menit akhir pertandingan. Operan-operan Itali tak lagi berguna, yang penting mengirim bola sejauh mungkin untuk disikat oleh para penyerang. Alhasil, justru rangsekan Calafiori lah yang malah membuahkan gol. Suatu upaya nekat yang tak harus melalui sebuah proses bertele-tele.
Comments
Post a Comment