Skip to main content

Pulih

  Jalan beberapa hari jaga, saya mulai bosan. Rasanya berat sekali menunggui dagangan yang pembelinya terhitung sedikit. Lebih menderita lagi jika melihat barang dagangan sebelah lebih ramai dibeli. Hal yang menjadi hiburan adalah menulis terus menerus, supaya tidak terlihat bengong. Supaya tidak mati gaya.  Beberapa hari yang lalu, pas hari awal-awal saya mulai jaga, tiba-tiba saya punya keberanian untuk posting foto di Instagram. Setelah itu mulai merambah ke Facebook, lalu mulai semangat untuk posting sejumlah story di Instagram, mulai dari tentang jalannya kasus sejauh ini sampai kegiatan sehari-hari. Entah keberanian dari mana, tiba-tiba saya mem-posting story tentang tulisan-tulisan yang diturunkan dari berbagai website. Saya menuliskan, "Siapa yang mau tulisan saya? Gratis, akan saya kirimkan via e-mail". Ternyata banyak juga yang menginginkan tulisan-tulisan itu, ada lebih dari 90 orang.  Kemudian saya terpikir untuk membuat grup lagi, bersama orang-orang yang bisa di

Pertemanan

Entah kenapa selama ini saya begitu naif. Saya pikir yang dinamakan teman itu adalah semua orang yang bersikap baik pada saya dan saya tak keberatan untuk juga bersikap baik pada dia. Namun tak hanya itu. Untuk membedakan dari kegiatan yang murni transaksional seperti bisnis atau politik, teman juga biasanya bisa diajak ngobrol atau curhat dalam beberapa hal di luar "alasan terbentuknya relasi sosial itu pada mulanya". Maksudnya, misalnya saya dan A dipertemukan karena alasan kesamaan dalam bidang filsafat, maka teman artinya bisa ngobrol hal-hal di luar filsafat juga, contohnya, problem percintaan atau keuangan. Tadinya teman bagi saya ya begitulah definisinya. Maka itu saya pikir teman saya banyak, karena memang termasuk dalam kategori yang saya sebutkan itu. 

Namun ketika saya mengalami kejadian ini semenjak dua bulan lalu, saya menemukan bahwa pengkategorian semacam itu terlalu bodoh dan sederhana. Sekarang saya menemukan bahwa teman itu ada banyak jenisnya. Pengklasifikasian ini sebenarnya agak terinspirasi oleh video yang di-share oleh teman saya di grup Whatsapp, tapi semuanya cocok dan tervalidasi oleh pengalaman saya belakangan. Klasifikasinya adalah sebagai berikut: 

  1. Teman yang selalu ada saat kita berada di atas, bisa berupa reputasi, jabatan, atau kekayaan, yang membuat siapapun merasa bisa mengambil keuntungan dari posisi kita itu. Teman semacam itu tak perlu dicari, pasti datang sendiri seiring dengan status sosial kita. Mereka pasti berusaha berteman dengan kita karena justru melalui kita lah, status sosialnya ikut terangkat atau kebutuhan hidupnya menjadi tercukupi. Untuk menguji kesetiaan teman semacam ini mudah saja. Saat kita jatuh atau bangkrut, mereka pasti lenyap tanpa jejak atau malah balik menghujat kita. 
  2. Teman yang tak terlalu terombang-ambing dengan keadaan kita, tetapi sebenarnya masih punya sisi oportunis. Saat kondisi kita sedang bagus, dia akan menempel, dan saat kita sedang di bawah, dia tetap menempel, tetapi sambil tetap mengkalkulasi risiko bagi dirinya sendiri. Sebenarnya teman semacam ini masih tergolong oportunis, tetapi dia masih punya stamina bertahan yang lebih tinggi ketimbang jenis teman sebelumnya. Saat kita benar-benar terpuruk, dia akan mundur teratur dengan dalih "memikirkan dirinya sendiri". 
  3. Teman yang entah mempunyai kekuatan darimana, selalu mendukung terutama dalam keadaan kita yang paling terpuruk. Memberi semangat dan dukungan nyata meskipun hal demikian sama sekali tak memberikan keuntungan baginya. Dia tak peduli omongan orang, tak peduli apakah kita bisa membalas kebaikannya atau tidak, pokoknya teman jenis ini akan selalu mendukung dalam keadaan apapun. Bahkan kadang kita bisa tak ingat hal apa yang telah kita lakukan terhadap dia, sampai-sampai dia mau segitunya memberi dukungan pada kita.

Dalam kejadian belakangan ini, saya menemukan ketiga kategori teman ini. Saya baru tahu ternyata memang teman ini punya semacam "kasta"-nya sendiri dalam kehidupan kita. Saya tak perlu membahas yang nomor satu dan dua, tetapi teman nomor tiga ini yang saya sampai terheran-heran. Beberapa di antaranya malah saya tak pernah merasa dekat dengannya. Namun entah kenapa dia mendadak memberikan dukungan, melihat sisi baik dari diri saya, dan percaya bahwa saya tak seburuk yang diperkatakan orang-orang di luar sana. Bahkan ada orang yang rela menemani saya setiap malam, menjadi rekan curhat dan berbincang, yang tak peduli apapun badai yang saya alami, dia mengatakan, "Kamu adalah teman saya, apapun yang terjadi, saya akan mendampingimu hingga pulih." 

Ada juga yang mengirimkan doa, meminta saya merapalkannya ratusan kali setiap hari, sembari mengucapkan mantera penenang hati, "Saya akan menemanimu melewati hari-hari yang berat ini." Ada juga yang langsung mengundang saya ke tempatnya, meminta saya untuk sejenak melakukan uzlah atau pengasingan diri, dalam rangka menenangkan batin dan menjauh sejenak dari keriuhan masalah. 

Saya dulu senaif itu, menganggap semua orang yang baik itu teman saya, sekaligus hidup dalam pemikiran paradoks bahwa setiap orang sekaligus berkepentingan bagi diri sendiri, yang menunjukkan perilaku saling memangsa atau homo homini lupus. Artinya, saya sudah tahu sejak awal, bahwa mereka yang baik itu sesungguhnya juga mengambil keuntungan bagi dirinya sendiri. Namun bodohnya, saya menganggap bahwa mereka juga memberi keuntungan bagi saya. 

Sekarang, setelah menemukan teman kategori nomor tiga, pandangan saya tentang homo homini lupus tak lagi ajeg. Bahwa terdapat orang-orang semacam itu benar adanya, tetapi jika saya menerapkan cara pandang demikian pada semua orang, maka saya tak lebih menjadi seorang reduksionis. Saat bertemu teman kategori tiga, mungkin tak bisa ditampik bahwa dalam diri mereka, terdapat kandungan oportunis yang mencoba mengambil keuntungan, tapi saya merasa tak perlu melihat atau mencari-cari itu secara berlebihan. Kenyatan bahwa mereka ada, memberi dukungan, yang mana sikap tersebut tak memberinya semacam keuntungan dan malah mendatangkan risiko, saya cukup menangkapnya sampai situ, dan menganggap bahwa hal demikian adalah sebentuk ketulusan yang mengatasi homo homini lupus. Tolok ukurnya gampang, yakni mereka melakukannya saat kita sedang tak punya apa-apa.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k