Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...

Perjalanan Mengajar

 


Saya lupa kapan pertama kali mulai mengajar musik. Yang pasti, mengajar gitar klasik sudah dilakoni sejak saya masih kuliah S1 (antara tahun 2003 hingga 2007). Sekolah musik yang pertama kali menerima saya adalah Wisma Musik STESA di Batununggal. Awalnya, saya malah menjadi murid gitar jazz dari Kanggep Kusuma di sekolah musik tersebut, sebelum akhirnya diplot menjadi guru oleh sekolah musik milik Koh Sensus dan Ci Debby itu. Saya ingat murid gitar perdana saya, namanya Marvin. Entah dimana dia sekarang. 

Setelah Wisma Musik STESA, saya lupa tempat mengajar selanjutnya, apakah ke Purwatjaraka di Cijerah atau ke Allegria Music. Manapun itu, yang pasti saya hanya sebentar di Purwatjaraka, dan mengabdi lama di Allegria Music milik Ci Juniar Jacob, mengajar di tiga cabang yang mereka punya. Mungkin lebih dari sepuluh tahun saya mengajar gitar di Allegria Music. Selain mengajar di sekolah musik, saya juga mengajar murid secara privat. Ada yang datang ke rumah, ada juga yang saya datang ke rumah murid. Terakhir saya punya murid gitar adalah tahun 2023 kemarin. Namanya Athaya. Sekarang saya tak lagi mengajar gitar, meskipun ada sedikit kerinduan. 

Sementara karir mengajar sebagai dosen dimulai tahun 2008. Institusi tempat saya mengajar pertama adalah Universitas Padjadjaran. Saya mengajar program D3 Akselerasi yang isinya adalah orang-orang yang setelah lulus SMA langsung bekerja selama dua atau tiga tahun di Jepang. Beda dengan mahasiswa baru program reguler, anak-anak akselerasi ini sedikit lebih senior dan punya pengalaman di lapangan. Pengalaman mengajar pertama di kampus Jatinangor tersebut sangat berkesan bagi saya. Saya tak akan lupa bagaimana guru saya, Bambang Q-Anees, memberi wejangan sebelum mulai kelas perdana, "Mengajarlah seperti hujan." Maksudnya, siramilah semua, mereka akan mengambil air hujan itu sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. Asyiknya, mahasiswa D3 Akselerasi kelihatan lebih punya tanggung jawab (ketimbang anak-anak kelas reguler) karena mungkin mereka pernah bekerja di Jepang sebelumnya sehingga sudah terbiasa disiplin. Beberapa diantaranya masih berhubungan baik dengan saya setelah lulus. Kami biasa berkontak via Facebook atau jalur pribadi. 

Setelah sempat mengajar kelas reguler di UNPAD, saya melamar ke Telkom University dan diterima sebagai dosen tetap pada tahun 2013. Menjadi dosen tetap, saya merasakan suatu kenyamanan yang aneh. Di satu sisi, hidup saya sangat terjamin bahkan hingga nanti pensiun, di sisi lain, saya juga merasakan kehidupan yang stagnan dan kurang tantangan. Di Tel-U, saya merasakan kehidupan akademik yang lebih seperti perkantoran ketimbang sirkel intelektual. Sekarang hampir semua kampus menerapkan gaya ala ala korporasi seperti itu, tetapi rasa-rasanya waktu itu Tel-U adalah salah satu pelopornya di Indonesia. Empat tahun di Tel-U, saya diminta mengundurkan diri karena terlibat aksi demo mahasiswa yang diskors akibat memajang sejumlah buku kiri di lapak buku gratis di lingkungan kampus. Dengan perasaan sedikit senang, saya mengundurkan diri dari menara gading yang nyaman itu. Siap bertualang ke dunia berikutnya.

Tahun 2017, saya hampir diterima menjadi dosen tetap di UNPAR, sebelum kemudian ditarik ITB untuk bergabung di bagian Sosioteknologi. Namun UNPAR tetap berbaik hati untuk memberi saya kelas di bagian Humaniora. Waktu itu saya mengajar mata kuliah logika. Di ITB, nasib saya kurang jelas dan selama dua tahun banyak membantu penelitian sembari diberi kelas tipis-tipis, tetapi tak kunjung direkrut. Tahun 2019, saya mendapat surat undangan untuk mengajar di Fakultas Filsafat UNPAR. Undangan istimewa karena saya bukanlah lulusan filsafat. ITB pun ditinggalkan dan saya fokus untuk mengajar di FF hingga awal tahun 2024. 

Diantara waktu-waktu itu, saya sempat mengajar satu semester di jurusan Aqidah dan Filsafat UIN Sunan Gunung Djati, beberapa semester di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM), dan terakhir, sekitar setahunan lalu, di Universitas Multimedia Nusantara (UMN). Selebihnya, saya senang berbagi dari komunitas ke komunitas. Yang paling lama adalah Madrasah Falsafah yang berdiri tahun 2007 dan saya sempat mengampunya beberapa tahun karena diamanatkan oleh sang pendiri, Bambang Q-Anees. Pada tahun 2018 dan 2019 juga saya sempat mengajar di kelas-kelas publik di Kaka Cafe. Kemudian sejak tahun 2020, saya membangun komunitas saya sendiri, Kelas Isolasi, yang (di)bubar(kan) bulan Mei 2024. 

Sekarang saya sedang tak ada kanal mengajar. Namun karena kegiatan itu sudah menjadi panggilan selama hampir dua puluh tahun dan didorong juga oleh lingkungan keluarga yang memang pengajar (kedua orang tua saya adalah dosen), saya pasti akan kembali. Saya anggap ini hanya fase istirahat saja untuk menata dan menatap hidup. Saya pasti akan kembali.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...