Skip to main content

Badai

Maka metamorfosis roh menurut Nietzsche berakhir pada anak sebagai puncak, setelah sebelumnya menjadi unta dan singa. Apa maksudnya menjadi anak? Saya sering mencontohkan peristiwa banjir. Unta akan pasrah pada banjir, singa berusaha melawan banjir, sementara anak akan bermain dengan banjir itu. Seseorang yang telah mencapai tahap metamorfosis anak sebenarnya tak perlu ambil pusing tentang nasibnya: dia bisa jadi seorang pekerja kantoran yang dieksploitasi dari jam sembilan sampai jam lima, tetapi tak perlu capek-capek berontak atau berupaya melawan sistem. Dalam tahap metamorfosis anak, dia akan mampu menjalaninya dengan luwes seperti sebuah peran. Seperti sebuah permainan .  Dia tahu dia melakukannya demi uang, sehingga tak ada gunanya merasa terbebani (seperti seekor unta) atau berusaha mengubah tatanan (seperti seekor singa). Jalani saja seperti seorang aktor dalam pertunjukan, yang tengah memainkan peran sebagai "pekerja kantoran" dengan sebaik-baiknya. Setelah pertunjuk

Pemasaran Icip-Icip


Selama hampir tiga bulan terakhir ini, saya rutin bermain game di ponsel berjudul Top Eleven. Game manajer sepakbola itu dirancang dengan sangat baik sehingga mengharuskan saya untuk aktif berpikir meracik strategi (baik dalam hal manajerial maupun taktik di lapangan) karena kalau tidak, akan gagal bersaing dengan klub lainnya. Seperti biasa, game ini menyediakan opsi belanja bagi siapapun yang ingin memperkuat tim secara instan. Namun bagi mereka yang tak punya cukup uang, ada cara supaya timnya tetap kuat: menonton iklan. 

Iya, dengan rajin menonton iklan, kita bisa memperkuat stamina pemain, meningkatkan skill, hingga mendapat dukungan tambahan saat berlaga di lapangan. Menariknya, rata-rata iklan ini adalah iklan pinjaman online (pinjol) yang tampak dibuat dengan bujet rendah. Meski kualitas iklannya begitu buruk, tetapi pesannya mudah diingat: bunga rendah, tenor panjang, mudah cair, penagihan santuy, dan iming-iming menarik lainnya. Poinnya, membuat siapapun (yang sedang butuh duit cepat) rasanya tertarik untuk menginstall aplikasi yang ditawarkan. 

Masalahnya, dalam iklan-iklan itu, pinjol tak terlihat seperti sebuah pinjaman, hutang, melainkan diperlakukan seperti "pemberian uang". "Saya berhasil cairin uang empat juta, bisa DP motor deh," begitu kira-kira ujar aktor dalam salah satu iklan, seolah-olah uang empat juta itu tak usah dibayar. Padahal tentu mesti dikembalikan, bersama bunganya yang pastinya lumayan. Iklan lainnya adalah judi online (judol). Saya tidak mengerti istilah chip-chipan, tapi ada iklan yang menjanjikan 50 juta chip dan katanya bikin dia kaya raya. Jelas iklan ini bohong. Tidak ada orang yang kaya raya karena judi, kecuali dua: dia adalah bandarnya, atau dia pernah kaya raya, tapi sesaat saja. 

Pertanyaannya, mengapa iklan ini banyak mengumbar kebohongan? Jelas, kesesuaian antara janji dan kenyataan bukanlah hal yang penting. Yang penting, orang-orang icip-icip dulu, menginstall pinjol dan judol, sebelum akhirnya merasakan sengsaranya. Selebihnya, pihak iklan tak lagi peduli, selama orang-orang sudah icip-icip akibat termakan janji. Kebiasaan icip-icip memiliki suatu ciri psikologis yang menarik: rasakan dulu, bayar kemudian atau nikmati dulu, sengsara kemudian. Bahkan psikologi semacam ini didorong oleh justifikasi tentang keharusan kita menikmati apa yang ada di hadapan, masa sekarang, tidak usah berpikir tentang yang akan datang karena belum terjadi. Nanti gimana nanti. 

Cara berpikir semacam itulah yang menjadi landasan kemunculan produk-produk seperti kartu kredit, paylater, dan fitur penundaan pembayaran lainnya. Bunga berbunga tak masalah, kan itu nanti, bukan sekarang. Siapa tahu nanti hidup kita lebih baik, yang penting kesenangan hari ini telah diraih. Jelas ini bukan bagian dari ajaran Buddhisme Zen yang mengafirmasi situasi kekinian, melainkan kemahiran pihak pengiklan dalam memainkan psikologi YOLO (you only live once). Masyarakat modern tak hanya menganut prinsip penumpukan kekayaan untuk menjadi modal di "hari nanti", tetapi juga paradoksnya, mereka punya kegelisahan untuk menikmati "hari ini" di tengah serba tekanan akan persaingan. 

Untung saya punya pengalaman cukup dengan pinjol dan judol, sehingga tak punya ketertarikan sama sekali untuk mencicipi aplikasi yang ditawarkan. Saya tetap memutar iklan demi menambah kekuatan tim.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k