Selama hampir tiga bulan terakhir ini, saya rutin bermain game di ponsel berjudul Top Eleven. Game manajer sepakbola itu dirancang dengan sangat baik sehingga mengharuskan saya untuk aktif berpikir meracik strategi (baik dalam hal manajerial maupun taktik di lapangan) karena kalau tidak, akan gagal bersaing dengan klub lainnya. Seperti biasa, game ini menyediakan opsi belanja bagi siapapun yang ingin memperkuat tim secara instan. Namun bagi mereka yang tak punya cukup uang, ada cara supaya timnya tetap kuat: menonton iklan.
Iya, dengan rajin menonton iklan, kita bisa memperkuat stamina pemain, meningkatkan skill, hingga mendapat dukungan tambahan saat berlaga di lapangan. Menariknya, rata-rata iklan ini adalah iklan pinjaman online (pinjol) yang tampak dibuat dengan bujet rendah. Meski kualitas iklannya begitu buruk, tetapi pesannya mudah diingat: bunga rendah, tenor panjang, mudah cair, penagihan santuy, dan iming-iming menarik lainnya. Poinnya, membuat siapapun (yang sedang butuh duit cepat) rasanya tertarik untuk menginstall aplikasi yang ditawarkan.
Masalahnya, dalam iklan-iklan itu, pinjol tak terlihat seperti sebuah pinjaman, hutang, melainkan diperlakukan seperti "pemberian uang". "Saya berhasil cairin uang empat juta, bisa DP motor deh," begitu kira-kira ujar aktor dalam salah satu iklan, seolah-olah uang empat juta itu tak usah dibayar. Padahal tentu mesti dikembalikan, bersama bunganya yang pastinya lumayan. Iklan lainnya adalah judi online (judol). Saya tidak mengerti istilah chip-chipan, tapi ada iklan yang menjanjikan 50 juta chip dan katanya bikin dia kaya raya. Jelas iklan ini bohong. Tidak ada orang yang kaya raya karena judi, kecuali dua: dia adalah bandarnya, atau dia pernah kaya raya, tapi sesaat saja.
Pertanyaannya, mengapa iklan ini banyak mengumbar kebohongan? Jelas, kesesuaian antara janji dan kenyataan bukanlah hal yang penting. Yang penting, orang-orang icip-icip dulu, menginstall pinjol dan judol, sebelum akhirnya merasakan sengsaranya. Selebihnya, pihak iklan tak lagi peduli, selama orang-orang sudah icip-icip akibat termakan janji. Kebiasaan icip-icip memiliki suatu ciri psikologis yang menarik: rasakan dulu, bayar kemudian atau nikmati dulu, sengsara kemudian. Bahkan psikologi semacam ini didorong oleh justifikasi tentang keharusan kita menikmati apa yang ada di hadapan, masa sekarang, tidak usah berpikir tentang yang akan datang karena belum terjadi. Nanti gimana nanti.
Cara berpikir semacam itulah yang menjadi landasan kemunculan produk-produk seperti kartu kredit, paylater, dan fitur penundaan pembayaran lainnya. Bunga berbunga tak masalah, kan itu nanti, bukan sekarang. Siapa tahu nanti hidup kita lebih baik, yang penting kesenangan hari ini telah diraih. Jelas ini bukan bagian dari ajaran Buddhisme Zen yang mengafirmasi situasi kekinian, melainkan kemahiran pihak pengiklan dalam memainkan psikologi YOLO (you only live once). Masyarakat modern tak hanya menganut prinsip penumpukan kekayaan untuk menjadi modal di "hari nanti", tetapi juga paradoksnya, mereka punya kegelisahan untuk menikmati "hari ini" di tengah serba tekanan akan persaingan.
Untung saya punya pengalaman cukup dengan pinjol dan judol, sehingga tak punya ketertarikan sama sekali untuk mencicipi aplikasi yang ditawarkan. Saya tetap memutar iklan demi menambah kekuatan tim.
Comments
Post a Comment