Hampir tiga bulan saya menjadi pejalan. Mengarungi satu per satu peristiwa untuk memahami maksudnya. Sebenarnya mungkin saja segalanya terjadi tanpa suatu maksud. Namun dengan menerka-nerka maksud, setidaknya peristiwa seburuk apapun tak menjadi terlampau mengecewakan. Jika kematian tak memiliki maksud apa-apa kecuali semata-mata keniscayaan biologis, maka narasi hidup bisa kehilangan maknanya. Bahkan usaha para nihilis untuk menganggap kematian sebagai semata-mata ketiadaan juga adalah semacam usaha menemukan maksud.
Terlebih lagi dalam suatu peristiwa yang katakanlah penderitaan, memberi maksud memang terkesan eskapis, tapi setelah dipikir-pikir: apa salahnya bersikap eskapis? Sama saja, seseorang belajar, bekerja, berkeluarga, dalam arti tertentu juga menjadi eskapis, bentuk pelarian dari kecemasan eksistensinya. Jadi tak melulu hal-hal "abstrak" seperti "hikmah", "makna", atau bahkan "kehendak Tuhan" bisa dituding sebagai eskapis, karena dalam arti tertentu juga sama: "alkohol", "uang", "hiburan", bisa sama eskapisnya, meskipun bentuknya material. Bahkan kita bisa balikkan, bahwa dalam diri orang-orang yang kita katakan relijius, mereka menganggap hal-hal abstrak itu adalah justru yang riil dan bukannya pelarian. Itulah senyata-nyatanya sesuatu dan bahkan hal-hal dunia ini segalanya adalah bentuk eskapisme.
Dalam kelimbungan pengertian eskapis ini, maka menjadi fana: mana yang nyata dan mana yang maya. Dalam kefanaan, maka segalanya adalah sekaligus eskapis. Tak ada rumah, tak ada pasangan, tak ada uang, tak ada kucing, tak ada meja, tak ada laptop, dan bahkan tak ada saya. Saya tak ada, karena saya yang sedang menulis ini, bisa dilihat dari posisi yang lain, bahwa saya melihat "saya yang sedang menulis", maka yang manakah saya sebenarnya? Saya dihancurkan di media sosial, tetapi kenyataannya saya juga di sini sedang menulis, merokok, minum kopi, dan rasa-rasanya sih tidak sehancur yang dibayangkan orang-orang. Jadi, manakah saya yang hancur itu?
Dalam riwayat si pejalan ini, saya berulangkali meresapi doa dari sufi bernama Rabi'ah al 'Adawiyah. Doa Rabi'ah kira-kira bunyinya seperti ini: “Ya Allah, apabila diriku menyembah-Mu hanya karena takut akan pedihnya siksaan api neraka yang tiada habisnya, bakarlah habis seluruh tubuh ini di dalamnya. Dan apabila diriku menyembah-Mu karena mengharap nikmatnya kehidupan surga, maka campakkanlah diriku saat berada di dalamnya."
Di bulan Juli yang akan pergi, saya memanjatkan doa, sebagai renungan atas ke-fana-an, sebagai usaha tak berujung dalam menerka segala maksud: "Ya Allah, jika saya mencintai sesuatu, ambilah sesuatu itu, karena tak ada sesuatupun yang pantas dicintai, kecuali diri-Mu..."
Comments
Post a Comment