“Tingkatkan terus kualitasmu!”
“Kalau kamu yakin bisa, kamu pasti bisa!”
“Berpikirlah positif setiap hari!”
Kalimat-kalimat motivasi seperti di atas pasti sudah sering kita lihat dan dengar nyaris setiap waktu. Profesi orang yang sering bicara seperti itu juga kemudian bermunculan dalam beberapa tahun terakhir yang namanya, kita tahu, motivator. Motivator ini selain muncul di televisi, juga membuat seminar- seminar, tampil atas undangan perusahaan, dan belakangan mulai merambah media sosial seperti Youtube.
Apakah ada masalah dengan memotivasi orang untuk lebih baik? Tentu tidak, bahkan harus! Tapi di sisi lain, kita juga semestinya kritis dalam melihat gejala motivator yang menjamur dengan berbagai kalimat motivasinya ini. Karena toh, kenyataannya, banyak juga orang yang menjadi semangat setelah mendengar ocehan mereka, tapi tidak seberapa punya dampak konkrit terhadap karir dan kehidupannya. Artinya, semangat ya tinggal semangat saja.
Lantas, apa yang bisa kita kritisi dari para motivator ini? Pertama, sadarkah bahwa para motivator selalu mengajarkan bahwa rumus dari segala sesuatu adalah pola pikir? Jika kita mau sukses, kita harus berpikir bahwa kita akan sukses. Sebaliknya, jika kita gagal, berarti pola pikir kita yang senantiasa mengarah pada kegagalan. Tapi, apakah benar bahwa hidup adalah sesederhana soal pola pikir? Jika begitu, berapa banyak orang yang sudah berpikir positif hingga mentok, tapi hidupnya di situ-situ saja? Sebaliknya, berapa orang yang menjadi sukses oleh sebab orangtuanya sudah sukses duluan?
Masalah lainnya adalah ilusi kesuksesan yang diarahkan pada kepentingan tertentu. Kata siapa kesuksesan itu adalah soal target marketing yang terpenuhi? Kata siapa kekayaan itu perkara harta material yang bertumpuk-tumpuk? Kata siapa kebahagiaan itu adalah memenangkan persaingan sehingga menjadi yang terbaik diantara manusia lainnya? Motivator seringkali mengajarkan prinsip- prinsip semacam itu, yang bisa saja bertentangan dengan definisi kesuksesan, kekayaan, dan kebahagiaan dari batin kita masing-masing. Hal yang lebih membahayakan, kita bahkan menjadi tidak tahu apa yang sebenarnya kita sendiri inginkan, karena senantiasa terpaku dengan doktrin para motivator tersebut.
Hidup dengan Demotivasi
Kita bisa mulai dengan mengetik kata kunci “demotivasi” lewat mesin pencari Google. Apa yang muncul? Rata-rata yang keluar adalah artikel tentang bagaimana mengatasi demotivasi. Artinya, demotivasi dianggap sebagai sesuatu yang negatif, berbahaya, dan harus disembuhkan. Tidak salah-salah amat pendapat semacam itu. Tapi mari kita balik keadaannya: Bagaimana jika motivasi, sebagaimana yang diajarkan oleh para motivator, adalah konsepsi yang menjerumuskan, sehingga kita memerlukan demotivasi sebagai penawarnya?
Jika kita menengok sejenak ke sejumlah ajaran ataupun pemikiran klasik, kita akan menemukan pemikiran tentang bagaimana bersikap kritis, realistis, dan sekaligus kurang antusias terhadap hidup. Dalam arti kata lain, hidup boleh saja disikapi dengan santai, minim ekspektasi, dan jauh dari rancangan berlebihan tentang masa depan. Stoisisme, misalnya, aliran pemikiran yang dianut oleh sejumlah pemikir dari masa Yunani Kuno hingga Romawi ini, mengajarkan kita untuk hidup tanpa harus memikirkan hal-hal yang tidak bisa kita ubah. Seorang stoik (istilah untuk penganut stoisisme) harus senantiasa berada dalam ketenangan yang berpusat dari pikiran, sehingga tidak mudah gelisah oleh berbagai perubahan.
Ajaran agama tertentu juga mengarah pada konsepsi yang kurang lebih mirip. Buddhisme, misalnya, mengajarkan kita untuk menekan kehendak. Mengapa? Kehendak itulah sumber derita, yang membuat kita senantiasa terikat pada keinginan-keinginan sementara terhadap dunia. Dalam Islam pun ada ayat yang mengatakan bahwa “Hidup ini adalah senda gurau belaka”, yang menunjukkan bahwa kita tidak perlu terlalu semangat dan ambisius di dunia ini: santuy saja.
Dalam arti kata lain, demotivasi bukanlah sesuatu yang murni buruk. Demotivasi jangan-jangan menjadi dicap buruk karena senantiasa bertentangan dengan wacana-wacana kesuksesan, kebahagiaan, dan kekayaan yang diagung-agungkan oleh para motivator. Namun, apakah demotivasi kemudian menjadi identik dengan malas-malasan dan hidup sepanjang hari dengan rebahan? Tentu tidak perlu secara ekstrem diterjemahkan seperti itu. Jika kita harus bekerja, teruslah bekerja, tapi tidak perlu dengan motivasi berlebihan dengan keinginan yang terlampau tinggi. Tidakkah kucing pun tetap hidup tanpa harus mendengarkan ocehan motivator?
Jika kita kerucutkan, kita bisa renungkan, bahwa apakah artinya hidup, selain hanya mencari dua hal: gairah dan ketenangan batin. Kita mencari itu di mana-mana, dan motivator menunjukannya lewat doktrin yang sangat sempit tentang definisi kekayaan dan kebahagiaan versi mereka. Kita boleh dan sah- sah saja mencari gairah dan ketenangan batin melalui versi kita sendiri, dengan definisi yang sangat personal. Demotivasi memberi kita peluang untuk menafsirkan segala bentuk kegagalan dan kehancuran sebagai sesuatu yang bisa jadi bermakna, hanya jika kita menutup telinga dari berbagai ekspektasi para motivator yang jika terus menerus kita ikuti, justru malah berpotensi menimbulkan depresi. Mari hidup demotivasional di tengah dunia yang sering merasa sok pasti, padahal demikian rapuh dan bisa hancur kapan saja.
Ini adalah tulisan yang pernah dimuat di website voxpop.id.
Sayangnya, website tersebut sekarang tidak aktif sehingga
artikel-artikel di dalamnya tidak dapat diakses. Artikel yang diposting
di blog ini adalah versi tulisan yang belum disunting oleh pihak
voxpop.id.
Comments
Post a Comment