Skip to main content

Kronologi dan Duduk Perkara Kasus SM

Pada tulisan ini, saya Syarif Maulana, akan menjabarkan kronologi selengkap-lengkapnya tentang segala proses berkaitan dengan kasus dugaan kekerasan seksual yang dituduhkan pada saya tanggal 9 Mei 2024 di media sosial X. Tuduhan tersebut menjadi viral dan menyebabkan saya dipecat dari berbagai institusi, tulisan-tulisan diturunkan dari berbagai media, buku-buku dicabut dari penerbitan, dan dikucilkan dari berbagai komunitas filsafat, termasuk komunitas yang saya bangun sendiri, Kelas Isolasi.  Penulisan kronologi ini dilakukan dalam rangka menjelaskan duduk perkara dan perkembangan kasus ini pada publik berdasarkan catatan dan dokumentasi yang saya kumpulkan.  Tuduhan kekerasan seksual (selanjutnya akan disingkat KS) kepada saya dimulai pada tanggal 9 Mei 2024, dipicu oleh cuitan dari akun @flutuarsujet yang menuliskan “... katanya dia pelaku KS waktu di Tel**m, korbannya ada lima orang …”. Kata “Tel**m” tersebut kemungkinan besar mengacu pada Telkom University, tempat saya bekerja seb

Menjalani Hidup dengan Demotivasi: Mungkinkah?


“Tingkatkan terus kualitasmu!” 

“Kalau kamu yakin bisa, kamu pasti bisa!” 

“Berpikirlah positif setiap hari!” 

Kalimat-kalimat motivasi seperti di atas pasti sudah sering kita lihat dan dengar nyaris setiap waktu. Profesi orang yang sering bicara seperti itu juga kemudian bermunculan dalam beberapa tahun terakhir yang namanya, kita tahu, motivator. Motivator ini selain muncul di televisi, juga membuat seminar- seminar, tampil atas undangan perusahaan, dan belakangan mulai merambah media sosial seperti Youtube.

Apakah ada masalah dengan memotivasi orang untuk lebih baik? Tentu tidak, bahkan harus! Tapi di sisi lain, kita juga semestinya kritis dalam melihat gejala motivator yang menjamur dengan berbagai kalimat motivasinya ini. Karena toh, kenyataannya, banyak juga orang yang menjadi semangat setelah mendengar ocehan mereka, tapi tidak seberapa punya dampak konkrit terhadap karir dan kehidupannya. Artinya, semangat ya tinggal semangat saja. 

Lantas, apa yang bisa kita kritisi dari para motivator ini? Pertama, sadarkah bahwa para motivator selalu mengajarkan bahwa rumus dari segala sesuatu adalah pola pikir? Jika kita mau sukses, kita harus berpikir bahwa kita akan sukses. Sebaliknya, jika kita gagal, berarti pola pikir kita yang senantiasa mengarah pada kegagalan. Tapi, apakah benar bahwa hidup adalah sesederhana soal pola pikir? Jika begitu, berapa banyak orang yang sudah berpikir positif hingga mentok, tapi hidupnya di situ-situ saja? Sebaliknya, berapa orang yang menjadi sukses oleh sebab orangtuanya sudah sukses duluan?

Kenyataannya, ada masalah yang lebih rumit dari sekadar pola pikir. Misalnya, masalah struktural. Orang tidak sukses karena pendidikannya rendah. Mengapa pendidikannya rendah? Bukan artinya orang tersebut tidak mau sekolah, melainkan karena bisa saja akses terhadap pendidikan itu sulit. Contoh lain, orang sudah ikut seminar motivasi berpuluh kali tentang bagaimana membangun kewirausahaan, tapi selalu gagal karena kenyataannya, wirausahawan yang sukses itu juga harus punya koneksi yang bagus terhadap kekuasaan. Masalah berikutnya adalah soal retorika yang mengarah pada aspek psikologis daripada logis. Kalau seorang motivator mengatakan bahwa kita harus berpikir positif atau kita harus mengisi hidup kita secara berkualitas, apakah pernyataan tersebut cukup jelas? Berpikir positif itu yang bagaimana? Apakah misalnya dengan kita diberi beban pekerjaan yang melebihi kontrak seharusnya, kita harus berpikir positif bahwa itu adalah bentuk kepercayaan bos terhadap kita? Mengisi hidup kita secara berkualitas itu yang bagaimana? Apakah dengan membaca buku-buku motivasi, self-help atau filsafat? Tidak ada metode yang jelas karena mungkin tujuannya hanya untuk memberi sugesti saja. 

Masalah lainnya adalah ilusi kesuksesan yang diarahkan pada kepentingan tertentu. Kata siapa kesuksesan itu adalah soal target marketing yang terpenuhi? Kata siapa kekayaan itu perkara harta material yang bertumpuk-tumpuk? Kata siapa kebahagiaan itu adalah memenangkan persaingan sehingga menjadi yang terbaik diantara manusia lainnya? Motivator seringkali mengajarkan prinsip- prinsip semacam itu, yang bisa saja bertentangan dengan definisi kesuksesan, kekayaan, dan kebahagiaan dari batin kita masing-masing. Hal yang lebih membahayakan, kita bahkan menjadi tidak tahu apa yang sebenarnya kita sendiri inginkan, karena senantiasa terpaku dengan doktrin para motivator tersebut.  

 

Hidup dengan Demotivasi 

Kita bisa mulai dengan mengetik kata kunci “demotivasi” lewat mesin pencari Google. Apa yang muncul? Rata-rata yang keluar adalah artikel tentang bagaimana mengatasi demotivasi. Artinya, demotivasi dianggap sebagai sesuatu yang negatif, berbahaya, dan harus disembuhkan. Tidak salah-salah amat pendapat semacam itu. Tapi mari kita balik keadaannya: Bagaimana jika motivasi, sebagaimana yang diajarkan oleh para motivator, adalah konsepsi yang menjerumuskan, sehingga kita memerlukan demotivasi sebagai penawarnya? 

Jika kita menengok sejenak ke sejumlah ajaran ataupun pemikiran klasik, kita akan menemukan pemikiran tentang bagaimana bersikap kritis, realistis, dan sekaligus kurang antusias terhadap hidup. Dalam arti kata lain, hidup boleh saja disikapi dengan santai, minim ekspektasi, dan jauh dari rancangan berlebihan tentang masa depan. Stoisisme, misalnya, aliran pemikiran yang dianut oleh sejumlah pemikir dari masa Yunani Kuno hingga Romawi ini, mengajarkan kita untuk hidup tanpa harus memikirkan hal-hal yang tidak bisa kita ubah. Seorang stoik (istilah untuk penganut stoisisme) harus senantiasa berada dalam ketenangan yang berpusat dari pikiran, sehingga tidak mudah gelisah oleh berbagai perubahan. 

Ajaran agama tertentu juga mengarah pada konsepsi yang kurang lebih mirip. Buddhisme, misalnya, mengajarkan kita untuk menekan kehendak. Mengapa? Kehendak itulah sumber derita, yang membuat kita senantiasa terikat pada keinginan-keinginan sementara terhadap dunia. Dalam Islam pun ada ayat yang mengatakan bahwa “Hidup ini adalah senda gurau belaka”, yang menunjukkan bahwa kita tidak perlu terlalu semangat dan ambisius di dunia ini: santuy saja

Dalam arti kata lain, demotivasi bukanlah sesuatu yang murni buruk. Demotivasi jangan-jangan menjadi dicap buruk karena senantiasa bertentangan dengan wacana-wacana kesuksesan, kebahagiaan, dan kekayaan yang diagung-agungkan oleh para motivator. Namun, apakah demotivasi kemudian menjadi identik dengan malas-malasan dan hidup sepanjang hari dengan rebahan? Tentu tidak perlu secara ekstrem diterjemahkan seperti itu. Jika kita harus bekerja, teruslah bekerja, tapi tidak perlu dengan motivasi berlebihan dengan keinginan yang terlampau tinggi. Tidakkah kucing pun tetap hidup tanpa harus mendengarkan ocehan motivator? 

Jika kita kerucutkan, kita bisa renungkan, bahwa apakah artinya hidup, selain hanya mencari dua hal: gairah dan ketenangan batin. Kita mencari itu di mana-mana, dan motivator menunjukannya lewat doktrin yang sangat sempit tentang definisi kekayaan dan kebahagiaan versi mereka. Kita boleh dan sah- sah saja mencari gairah dan ketenangan batin melalui versi kita sendiri, dengan definisi yang sangat personal. Demotivasi memberi kita peluang untuk menafsirkan segala bentuk kegagalan dan kehancuran sebagai sesuatu yang bisa jadi bermakna, hanya jika kita menutup telinga dari berbagai ekspektasi para motivator yang jika terus menerus kita ikuti, justru malah berpotensi menimbulkan depresi. Mari hidup demotivasional di tengah dunia yang sering merasa sok pasti, padahal demikian rapuh dan bisa hancur kapan saja.

 

Ini adalah tulisan yang pernah dimuat di website voxpop.id. Sayangnya, website tersebut sekarang tidak aktif sehingga artikel-artikel di dalamnya tidak dapat diakses. Artikel yang diposting di blog ini adalah versi tulisan yang belum disunting oleh pihak voxpop.id.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat