Skip to main content

Kronologi dan Duduk Perkara Kasus SM

Pada tulisan ini, saya Syarif Maulana, akan menjabarkan kronologi selengkap-lengkapnya tentang segala proses berkaitan dengan kasus dugaan kekerasan seksual yang dituduhkan pada saya tanggal 9 Mei 2024 di media sosial X. Tuduhan tersebut menjadi viral dan menyebabkan saya dipecat dari berbagai institusi, tulisan-tulisan diturunkan dari berbagai media, buku-buku dicabut dari penerbitan, dan dikucilkan dari berbagai komunitas filsafat, termasuk komunitas yang saya bangun sendiri, Kelas Isolasi.  Penulisan kronologi ini dilakukan dalam rangka menjelaskan duduk perkara dan perkembangan kasus ini pada publik berdasarkan catatan dan dokumentasi yang saya kumpulkan.  Tuduhan kekerasan seksual (selanjutnya akan disingkat KS) kepada saya dimulai pada tanggal 9 Mei 2024, dipicu oleh cuitan dari akun @flutuarsujet yang menuliskan “... katanya dia pelaku KS waktu di Tel**m, korbannya ada lima orang …”. Kata “Tel**m” tersebut kemungkinan besar mengacu pada Telkom University, tempat saya bekerja seb

Jaga Toko


Di jalan besar sebelah rumah saya ada toko kelontong milik Bu Yana dan Pak Yana. Toko itu sudah dijalankan sejak saya kecil dan masih eksis hingga sekarang usia saya hampir empat puluh. Hingga saat ini, Pak Yana dan Bu Yana masih di sana. Bahkan Pak Yana sendiri yang menunggui si toko. Suatu hari di masa lalu, entah ketika saya usia berapa, Papap pernah berkata, "Lihat itu anaknya Pak Yana dan Bu Yana, dia ikutan jagain toko meskipun masih kecil. Orang Tionghoa diajarkan demikian, tidak usah gengsian." Mungkin maksud Papap begini: jaga toko itu dianggap hal yang kurang keren bagi sebagian orang. Apalagi bagi anak-anak, mungkin jaga toko itu malah memalukan (seolah-olah dicitrakan bahwa "kecil-kecil sudah bekerja"). Mendingan belajar, les, atau bermain di luar. Tapi dalam worldview orang-orang Tionghoa, jaga toko itu, meski toko kelontong kecil, adalah hal yang justru keren. 

Sepanjang hidupnya, Papap sering memuji orang-orang Tionghoa. Bahkan ketika diminta berceramah tentang industri kreatif - topik yang mulai mencuat di tahun 2000-an -, Papap hampir selalu memulainya dengan kalimat: tirulah orang-orang Tionghoa. Ketika sebagian dari kita baru menyadari bahwa perkembangan dunia kreatif hanya dimungkinkan lewat sustainibilitas ekonomi (yang artinya meninggalkan paradigma kreativitas berbasis "idealisme berdarah-darah"), orang-orang Tionghoa rasanya sudah lebih dahulu melakukannya. Dalam diri mereka, kreativitas dan cuan adalah dua hal yang kait kelindan, tak bisa dipisahkan. Sementara bagi sebagian pelaku kreatif kita, cuan kadang menjadi hal yang "hina" untuk dibahas di depan. Cuan hanyalah semacam konsekuensi dari kejaran estetika. Sehari-hari hidup berdarah-darah tak apa, yang penting senantiasa berada dalam naungan dewi keindahan. 

Saya pernah belajar gitar selama sembilan tahunan pada Pak Ridwan, seorang Tionghoa. Memang mengesalkan, sambil ngajar gitar, ia selalu sambil jualan barang, mulai dari gitar harga belasan sampai puluhan juta, senar gitar, sampai cuka apel. Namun begitulah "industri kreatif", tak hanya keterampilan bergitar yang ia jual, tapi sekaligus sepaket dengan hal apapun yang bisa jadi cuan. Semuanya itu dilakukan terang-terangan, tak perlu dibalut kesucian ilmu gitar sebagai kemampuan-adiluhung-yang-(seolah)-tak-bisa-dinodai-pasar. Pak Ridwan berjualan begitu saja, seolah-olah tempat lesnya adalah toko serba ada dan dia menjadi si penjaga, seperti Pak Yana di toko kelontongnya. 

Saya lupa baca di mana karena sudah lama sekali, tetapi waktu mengerjakan skripsi tentang Konfusianisme, saya pernah melihat kalimat ini dalam salah satu referensi: "Bagi orang-orang Tionghoa, lebih baik punya toko kecil milik sendiri, ketimbang bekerja di tempat keren tapi milik orang lain." Dalam banyak hal, memang paradigma ekonominya sudah berbeda. Papap pernah menyoroti bagaimana seorang Tionghoa di BEC mengatakan begini saat ditanya soal pemasukannya, "Yah, cukup lah buat nabung aja mah." Bandingkan dengan orang yang menjawabnya dengan heroik, "Yah, cukup lah buat makan aja mah." 

Mengapa saya cerita ini semua? Kehidupan saya tengah berada dalam perubahan besar-besaran. Saya perlu melakukan langkah ekstrem supaya hidup ini tetap bisa berjalan sebisa-bisa. Kemarin-kemarin saya menjalankan hal seperti menulis, menjadi pembicara, atau mengajar, yang punya kesan "intelek". Namun setelah itu semua tak lagi bisa dilakukan, saya memikirkan kehidupan seorang Tionghoa, setidaknya seperti yang dilakukan oleh orang-orang Tionghoa yang saya kenal: jaga toko, menjadikan cuan dan kreativitas sebagai satu kesatuan, dan yang terpenting, menjalin relasi secukupnya selama punya kaitan dengan bisnis yang tengah dijalankan. Hal yang dimaksud idealisme bukannya hilang sama sekali, tetapi menjadi bagian tak terpisahkan dengan penghidupan: mencari surplus supaya bisa berbuat ini itu dengan leluasa. 

Saya menemukan kesenangan baru, tentang hidup yang tak lagi berada di angkasa: memikirkan hal-hal abstrak yang steril dan terpisah dari kehidupan sehari-hari. Dalam "jaga toko", saya mendapati semesta yang lain. Tak pernah terpikirkan bagi saya menjalani kehidupan bersama pembukuan, beli bahan-bahan, pasang-pasang spanduk, ikutan promo, hingga menginput menu. Baru saja saya mengalami betapa bahagianya mendapati: ada pembeli yang menghampiri lapak kita atau bunyi notifikasi merchant yang mengisyaratkan adanya pemesan. Saya belajar setiap hari pada tukang nasi goreng, tukang kupat tahu, tukang ubi cilembu, dan ramai pedagang lainnya tentang bagaimana tips menjajakan dagangan. Tempat jualan saya tak mewah sama sekali, semacam pujasera kecil yang sepi dan agak berantakan. Tapi sekali lagi, saya senang merawat, saya senang membesarkan. Saya mau duduk seharian di tempat ini, seperti Pak Yana di toko kelontongnya, dan Pak Ridwan di tempat les gitarnya. Cuan dulu, baru kapan-kapan berfilsafat (yang berdarah-darah) lagi.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat