Di jalan besar sebelah rumah saya ada toko kelontong milik Bu Yana dan Pak Yana. Toko itu sudah dijalankan sejak saya kecil dan masih eksis hingga sekarang usia saya hampir empat puluh. Hingga saat ini, Pak Yana dan Bu Yana masih di sana. Bahkan Pak Yana sendiri yang menunggui si toko. Suatu hari di masa lalu, entah ketika saya usia berapa, Papap pernah berkata, "Lihat itu anaknya Pak Yana dan Bu Yana, dia ikutan jagain toko meskipun masih kecil. Orang Tionghoa diajarkan demikian, tidak usah gengsian." Mungkin maksud Papap begini: jaga toko itu dianggap hal yang kurang keren bagi sebagian orang. Apalagi bagi anak-anak, mungkin jaga toko itu malah memalukan (seolah-olah dicitrakan bahwa "kecil-kecil sudah bekerja"). Mendingan belajar, les, atau bermain di luar. Tapi dalam worldview orang-orang Tionghoa, jaga toko itu, meski toko kelontong kecil, adalah hal yang justru keren.
Sepanjang hidupnya, Papap sering memuji orang-orang Tionghoa. Bahkan ketika diminta berceramah tentang industri kreatif - topik yang mulai mencuat di tahun 2000-an -, Papap hampir selalu memulainya dengan kalimat: tirulah orang-orang Tionghoa. Ketika sebagian dari kita baru menyadari bahwa perkembangan dunia kreatif hanya dimungkinkan lewat sustainibilitas ekonomi (yang artinya meninggalkan paradigma kreativitas berbasis "idealisme berdarah-darah"), orang-orang Tionghoa rasanya sudah lebih dahulu melakukannya. Dalam diri mereka, kreativitas dan cuan adalah dua hal yang kait kelindan, tak bisa dipisahkan. Sementara bagi sebagian pelaku kreatif kita, cuan kadang menjadi hal yang "hina" untuk dibahas di depan. Cuan hanyalah semacam konsekuensi dari kejaran estetika. Sehari-hari hidup berdarah-darah tak apa, yang penting senantiasa berada dalam naungan dewi keindahan.
Saya pernah belajar gitar selama sembilan tahunan pada Pak Ridwan, seorang Tionghoa. Memang mengesalkan, sambil ngajar gitar, ia selalu sambil jualan barang, mulai dari gitar harga belasan sampai puluhan juta, senar gitar, sampai cuka apel. Namun begitulah "industri kreatif", tak hanya keterampilan bergitar yang ia jual, tapi sekaligus sepaket dengan hal apapun yang bisa jadi cuan. Semuanya itu dilakukan terang-terangan, tak perlu dibalut kesucian ilmu gitar sebagai kemampuan-adiluhung-yang-(seolah)-tak-bisa-dinodai-pasar. Pak Ridwan berjualan begitu saja, seolah-olah tempat lesnya adalah toko serba ada dan dia menjadi si penjaga, seperti Pak Yana di toko kelontongnya.
Saya lupa baca di mana karena sudah lama sekali, tetapi waktu mengerjakan skripsi tentang Konfusianisme, saya pernah melihat kalimat ini dalam salah satu referensi: "Bagi orang-orang Tionghoa, lebih baik punya toko kecil milik sendiri, ketimbang bekerja di tempat keren tapi milik orang lain." Dalam banyak hal, memang paradigma ekonominya sudah berbeda. Papap pernah menyoroti bagaimana seorang Tionghoa di BEC mengatakan begini saat ditanya soal pemasukannya, "Yah, cukup lah buat nabung aja mah." Bandingkan dengan orang yang menjawabnya dengan heroik, "Yah, cukup lah buat makan aja mah."
Mengapa saya cerita ini semua? Kehidupan saya tengah berada dalam perubahan besar-besaran. Saya perlu melakukan langkah ekstrem supaya hidup ini tetap bisa berjalan sebisa-bisa. Kemarin-kemarin saya menjalankan hal seperti menulis, menjadi pembicara, atau mengajar, yang punya kesan "intelek". Namun setelah itu semua tak lagi bisa dilakukan, saya memikirkan kehidupan seorang Tionghoa, setidaknya seperti yang dilakukan oleh orang-orang Tionghoa yang saya kenal: jaga toko, menjadikan cuan dan kreativitas sebagai satu kesatuan, dan yang terpenting, menjalin relasi secukupnya selama punya kaitan dengan bisnis yang tengah dijalankan. Hal yang dimaksud idealisme bukannya hilang sama sekali, tetapi menjadi bagian tak terpisahkan dengan penghidupan: mencari surplus supaya bisa berbuat ini itu dengan leluasa.
Saya menemukan kesenangan baru, tentang hidup yang tak lagi berada di angkasa: memikirkan hal-hal abstrak yang steril dan terpisah dari kehidupan sehari-hari. Dalam "jaga toko", saya mendapati semesta yang lain. Tak pernah terpikirkan bagi saya menjalani kehidupan bersama pembukuan, beli bahan-bahan, pasang-pasang spanduk, ikutan promo, hingga menginput menu. Baru saja saya mengalami betapa bahagianya mendapati: ada pembeli yang menghampiri lapak kita atau bunyi notifikasi merchant yang mengisyaratkan adanya pemesan. Saya belajar setiap hari pada tukang nasi goreng, tukang kupat tahu, tukang ubi cilembu, dan ramai pedagang lainnya tentang bagaimana tips menjajakan dagangan. Tempat jualan saya tak mewah sama sekali, semacam pujasera kecil yang sepi dan agak berantakan. Tapi sekali lagi, saya senang merawat, saya senang membesarkan. Saya mau duduk seharian di tempat ini, seperti Pak Yana di toko kelontongnya, dan Pak Ridwan di tempat les gitarnya. Cuan dulu, baru kapan-kapan berfilsafat (yang berdarah-darah) lagi.
Comments
Post a Comment