Apakah isyarat kebajikan (virtue signaling) sama dengan kebajikan (virtue) itu sendiri? Agak sukar menakarnya. Sebelumnya, mari ketahui apa yang dimaksud dengan isyarat kebajikan. Sesuai istilahnya, isyarat kebajikan adalah kebajikan yang diisyaratkan, yang dalam hal ini dilakukan sedemikian rupa sehingga orang lain mengetahuinya. Persoalannya, kebajikan yang diisyaratkan bisa jadi berbeda dengan kebajikan yang dipegang sebenar-benarnya dalam diri seseorang itu. Apa yang diisyaratkan bisa jadi mengandung suatu kepentingan tertentu yang tak hanya bersifat pragmatis, melainkan bisa juga oportunistis. Sebagai contoh, saya tidak biasa memberi uang pada orang yang meminta-minta. Namun saat saya tahu bahwa perbuatan saya bisa direkam dan diunggah di media sosial, saya mulai memberi uang pada orang yang meminta-minta asalkan orang-orang di media sosial bisa melihatnya. Tanpa diisyaratkan, saya tak akan melakukan kebajikan itu.
Isyarat kebajikan memang terkesan buruk, tetapi bisa jadi teramat kodrati sebagai cara manusia bertahan hidup. Ambil contoh politisi yang sedang berkampanye untuk menjadi anggota legislatif. Pastilah politisi beserta timnya mempelajari hal apa yang menjadi kebajikan di antara masyarakat yang akan memilih dirinya. Jika suatu masyarakat menganggap buruk hal-hal yang berhubungan dengan prostitusi, misalnya, maka politisi itu akan mengampanyekan: hapus prostitusi. Terlepas apakah sang politisi sejatinya adalah pemakai jasa prostitusi atau kalau dia terpilih, prostitusi akan tetap dibiarkan beroperasi, itu soal lain. Hal yang lebih pokok adalah kebajikan tentang anti prostitusi ia isyaratkan pada orang banyak dengan tujuan supaya dirinya terpilih.
Contoh lainnya adalah dalam konteks bisnis. Keberadaan makanan-makanan instan bagaimanapun tidak memperhatikan aspek kesehatan ketika orang mengonsumsinya karena yang lebih diincar adalah kecepatan, tentang suatu makanan yang bisa disajikan tanpa membuang-buang waktu dan tetap punya rasa enak. Namun seiring dengan munculnya kebajikan terkait keharusan suatu makanan juga memperhatikan aspek kesehatan, mulailah makanan-makanan cepat saji ini menerbitkan versi "organik" dalam versi misalnya, mie berwarna hijau atau mie dengan kandungan sayur bayam. Inovasi semacam itu tentu bukan tiba-tiba, melainkan sebentuk isyarat kebajikan dengan nama keren seperti "riset pasar". Terlepas dari apakah makanan tersebut sudah memenuhi standar kesehatan tertentu atau belum, itu lain soal. Hal yang lebih penting adalah kemasan promosinya sudah mencerminkan kebajikan orang banyak.
Isyarat kebajikan begitu lumrah dilakukan, sampai-sampai mungkin kita sendiri bingung apakah hal yang kita lakukan ini adalah sebuah kebajikan yang utuh kita pegang atau hanya demi diisyaratkan saja. Apalagi dengan keberadaan media sosial, rasa-rasanya setiap kebajikan menjadi rugi jika tidak diisyaratkan. Dalam kehidupan di media sosial, isyarat kebajikan bahkan menjadi laku yang wajar, semacam keharusan dalam rangka meningkatkan follower dan engagement.
Saat scrolling-scrolling menjelang tidur, saya menemukan Youtube shorts berisi cerita tentang orang yang sengaja membeli minuman keras dan rutin datang ke tempat pelacuran untuk kemudian rela dicap buruk oleh masyarakat, padahal yang dilakukan sebenarnya adalah membuang minuman keras tersebut ke toilet dan memberi uang pada pekerja seks tanpa menggunakan jasanya, supaya pekerja seks tersebut tak menjajakan diri di hari itu (begitu seterusnya setiap hari). Meski cerita itu tak jelas sumbernya (atau saya malas mencari sumbernya), tetapi lumayan memberi perimbangan tentang kemungkinan lain yang bukan isyarat kebajikan, yakni sebutlah, isyarat keburukan.
Isyarat keburukan tentu menciptakan risiko berbahaya dalam kehidupan sosial. Namun saya mencoba menangkap hal lain dari kisah itu, yakni terlepasnya seseorang dari beban untuk bersikap konsisten. Dalam isyarat kebajikan, seseorang yang ketahuan bahwa aslinya ternyata tak mempraktikkan kebajikan, akan dituduh munafik. Sementara dalam isyarat keburukan, tak ada label munafik jika ternyata hal yang terjadi sejatinya adalah orang tersebut mempraktikkan sesuatu yang kebalikannya. Dalam isyarat keburukan, seseorang terbebaskan dari pandangan orang banyak yang kerap haus akan kebajikan sebagai nilai yang mestinya dianut oleh semua orang tanpa kecuali. Dicap buruk hanya menjadi penjara jika siapapun itu masih punya ikatan atas isyarat kebaikan. Hanya jika seseorang lepas dari kemauan orang banyak tentang apa yang baik, maka dia hanya punya satu tujuan untuk diisyaratkan, yakni sang Maha Melihat. Sang Maha Penangkap Isyarat.
Comments
Post a Comment