Skip to main content

Kronologi dan Duduk Perkara Kasus SM

Pada tulisan ini, saya Syarif Maulana, akan menjabarkan kronologi selengkap-lengkapnya tentang segala proses berkaitan dengan kasus dugaan kekerasan seksual yang dituduhkan pada saya tanggal 9 Mei 2024 di media sosial X. Tuduhan tersebut menjadi viral dan menyebabkan saya dipecat dari berbagai institusi, tulisan-tulisan diturunkan dari berbagai media, buku-buku dicabut dari penerbitan, dan dikucilkan dari berbagai komunitas filsafat, termasuk komunitas yang saya bangun sendiri, Kelas Isolasi.  Penulisan kronologi ini dilakukan dalam rangka menjelaskan duduk perkara dan perkembangan kasus ini pada publik berdasarkan catatan dan dokumentasi yang saya kumpulkan.  Tuduhan kekerasan seksual (selanjutnya akan disingkat KS) kepada saya dimulai pada tanggal 9 Mei 2024, dipicu oleh cuitan dari akun @flutuarsujet yang menuliskan “... katanya dia pelaku KS waktu di Tel**m, korbannya ada lima orang …”. Kata “Tel**m” tersebut kemungkinan besar mengacu pada Telkom University, tempat saya bekerja seb

Isyarat Kebajikan

 

Apakah isyarat kebajikan (virtue signaling) sama dengan kebajikan (virtue) itu sendiri? Agak sukar menakarnya. Sebelumnya, mari ketahui apa yang dimaksud dengan isyarat kebajikan. Sesuai istilahnya, isyarat kebajikan adalah kebajikan yang diisyaratkan, yang dalam hal ini dilakukan sedemikian rupa sehingga orang lain mengetahuinya. Persoalannya, kebajikan yang diisyaratkan bisa jadi berbeda dengan kebajikan yang dipegang sebenar-benarnya dalam diri seseorang itu. Apa yang diisyaratkan bisa jadi mengandung suatu kepentingan tertentu yang tak hanya bersifat pragmatis, melainkan bisa juga oportunistis. Sebagai contoh, saya tidak biasa memberi uang pada orang yang meminta-minta. Namun saat saya tahu bahwa perbuatan saya bisa direkam dan diunggah di media sosial, saya mulai memberi uang pada orang yang meminta-minta asalkan orang-orang di media sosial bisa melihatnya. Tanpa diisyaratkan, saya tak akan melakukan kebajikan itu. 

Isyarat kebajikan memang terkesan buruk, tetapi bisa jadi teramat kodrati sebagai cara manusia bertahan hidup. Ambil contoh politisi yang sedang berkampanye untuk menjadi anggota legislatif. Pastilah politisi beserta timnya mempelajari hal apa yang menjadi kebajikan di antara masyarakat yang akan memilih dirinya. Jika suatu masyarakat menganggap buruk hal-hal yang berhubungan dengan prostitusi, misalnya, maka politisi itu akan mengampanyekan: hapus prostitusi. Terlepas apakah sang politisi sejatinya adalah pemakai jasa prostitusi atau kalau dia terpilih, prostitusi akan tetap dibiarkan beroperasi, itu soal lain. Hal yang lebih pokok adalah kebajikan tentang anti prostitusi ia isyaratkan pada orang banyak dengan tujuan supaya dirinya terpilih. 

Contoh lainnya adalah dalam konteks bisnis. Keberadaan makanan-makanan instan bagaimanapun tidak memperhatikan aspek kesehatan ketika orang mengonsumsinya karena yang lebih diincar adalah kecepatan, tentang suatu makanan yang bisa disajikan tanpa membuang-buang waktu dan tetap punya rasa enak. Namun seiring dengan munculnya kebajikan terkait keharusan suatu makanan juga memperhatikan aspek kesehatan, mulailah makanan-makanan cepat saji ini menerbitkan versi "organik" dalam versi misalnya, mie berwarna hijau atau mie dengan kandungan sayur bayam. Inovasi semacam itu tentu bukan tiba-tiba, melainkan sebentuk isyarat kebajikan dengan nama keren seperti "riset pasar". Terlepas dari apakah makanan tersebut sudah memenuhi standar kesehatan tertentu atau belum, itu lain soal. Hal yang lebih penting adalah kemasan promosinya sudah mencerminkan kebajikan orang banyak. 

Isyarat kebajikan begitu lumrah dilakukan, sampai-sampai mungkin kita sendiri bingung apakah hal yang kita lakukan ini adalah sebuah kebajikan yang utuh kita pegang atau hanya demi diisyaratkan saja. Apalagi dengan keberadaan media sosial, rasa-rasanya setiap kebajikan menjadi rugi jika tidak diisyaratkan. Dalam kehidupan di media sosial, isyarat kebajikan bahkan menjadi laku yang wajar, semacam keharusan dalam rangka meningkatkan follower dan engagement

Saat scrolling-scrolling menjelang tidur, saya menemukan Youtube shorts berisi cerita tentang orang yang sengaja membeli minuman keras dan rutin datang ke tempat pelacuran untuk kemudian rela dicap buruk oleh masyarakat, padahal yang dilakukan sebenarnya adalah membuang minuman keras tersebut ke toilet dan memberi uang pada pekerja seks tanpa menggunakan jasanya, supaya pekerja seks tersebut tak menjajakan diri di hari itu (begitu seterusnya setiap hari). Meski cerita itu tak jelas sumbernya (atau saya malas mencari sumbernya), tetapi lumayan memberi perimbangan tentang kemungkinan lain yang bukan isyarat kebajikan, yakni sebutlah, isyarat keburukan. 

Isyarat keburukan tentu menciptakan risiko berbahaya dalam kehidupan sosial. Namun saya mencoba menangkap hal lain dari kisah itu, yakni terlepasnya seseorang dari beban untuk bersikap konsisten. Dalam isyarat kebajikan, seseorang yang ketahuan bahwa aslinya ternyata tak mempraktikkan kebajikan, akan dituduh munafik. Sementara dalam isyarat keburukan, tak ada label munafik jika ternyata hal yang terjadi sejatinya adalah orang tersebut mempraktikkan sesuatu yang kebalikannya. Dalam isyarat keburukan, seseorang terbebaskan dari pandangan orang banyak yang kerap haus akan kebajikan sebagai nilai yang mestinya dianut oleh semua orang tanpa kecuali. Dicap buruk hanya menjadi penjara jika siapapun itu masih punya ikatan atas isyarat kebaikan. Hanya jika seseorang lepas dari kemauan orang banyak tentang apa yang baik, maka dia hanya punya satu tujuan untuk diisyaratkan, yakni sang Maha Melihat. Sang Maha Penangkap Isyarat.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat