Soal Papap saya mungkin cukup sering menceritakannya. Sekarang saya akan cerita tentang almarhumah, yang wafat tahun 2018. Selama hidup, memang saya lebih dekat dengan Papap ketimbang Mamah. Alasannya, entah kenapa ya, saya merasa Mamah itu adalah sosok yang terlalu suka mengalah, seperti terlampau permisif. Saya lebih kompatibel dengan sifat Papap yang ambisius dan intens pada apa yang dikerjakannya. Namun dalam renungan akhir-akhir ini, saya justru merasa lebih paham tentang sifat-sifat almarhumah.
Mamah adalah sosok perempuan dengan beban ganda. Sambil bekerja sebagai pengajar di jurusan Sastra Jepang, Universitas Padjadjaran, tempatnya mengabdi selama lebih dari 25 tahun, Mamah juga mengurus rumah tangga, tepatnya tiga anggota keluarga lain yang kesemuanya laki-laki: Papap, Engkang, dan saya. Tak hanya itu, Mamah juga mengelola segala hal yang bersifat "public relation" dengan pihak eksternal seperti keluarga besar, rekan-rekan kerja, tetangga, hingga orang-orang yang kerja di rumah. Kemampuan Mamah dalam mengelola semua itu membuat Papap dapat bekerja dengan fokus dan hanya mengurusi kekaryaan saja.
Sifat Mamah juga begitu baik dan pemurah. Jika ada saudara, mahasiswa, atau teman minta tolong, pasti beliau usahakan bantu. Pernah saya ada teman yang dibiayai kuliah oleh Mamah, padahal saya tidak dekat-dekat amat dengan teman tersebut. Kalau ada mahasiswa berjualan makanan juga pasti Mamah beli. Selain itu, yang membuat saya tak habis pikir, Mamah selalu mengupayakan bantuan bagi saudara kami yang bahkan berlaku kasar saat meminta tolong! Pikiran pragmatis saya sih, untuk apa menolong orang yang tak tahu cara menghargai kita. Ngomong yang enak kek, yang sopan kek, buat saya merasa senang bisa menolong Anda. Tapi mungkin di situlah poin kemuliaan beliau: membantu seyogianya adalah membantu, tak punya motif transaksional antar manusia. Biarlah rasa berat ini Allah yang balas. Makin berat rasanya, justru makin besar pahalanya. Begitu kelihatannya pikir beliau.
Meski Mamah adalah orang yang berhati baik dan mulia, entah kenapa, saya kerap bertengkar dengan beliau. Saya merasa kasih sayangnya kadang berlebihan hingga masuk pada sikap over-protektif dengan dalih "kamelang" (Sunda: rasa khawatir). Dalam suatu suasana pertengkaran dengan Mamah, Papap pernah menghampiri saya untuk semacam menengahi, mengatakan bahwa memang ada perbedaan peran antara Papap dan Mamah: Papap lebih mendorong untuk mengembara, sementara Mamah lebih mengkhawatirkan bagaimana jika dalam pengembaraan nanti, saya malah menghadapi marabahaya. Mamah seolah hendak mengatakan, jangan pergi, tetaplah dalam dekapan ibunda. Di sini, semuanya akan aman. Kata Papap, dua sikap cenderung berbeda antara mereka berdua tersebut tak perlu dipertentangkan, tetapi jadikan saja tegangan, sekaligus tantangan. Jadilah orang yang terus bertualang, tanpa pernah lupa akan rumah, tempat kita bisa senantiasa didekap. Tempatnya kita disambut kehangatan, meski babak belur di luar sana.
Ajaran Mamah terasa belakangan ini, tentang hidup yang dijalankan sebaik-baiknya, meski banyak hal bertentangan dengan keinginan. Tak semua hal harus diwujudkan, karena ada yang lebih penting dari itu semua: membuat hidup menjadi bermakna atas berbagai keterbatasan. Atau tak perlu memandangnya sebagai keterbatasan, karena bisa jadi memang itulah dunia kita, dengan segala keutuhannya. Mamah mungkin ingin melanglangbuana, berkarir bebas atas nama dirinya sendiri, tapi hidupnya tak jadi tak bermakna jika ternyata yang mesti digelutinya adalah masalah-masalah keluarga besar atau kesejahteraan orang-orang yang bekerja di rumah.
Kita semua akan menghadapi keterbatasan itu, entah oleh usia, keuangan, atau hal-hal lain yang memupus segala cita-cita. Namun tak ada gunanya memendam kecewa, atau hidup dalam kubangan romantisme seolah-olah impian kita akan terwujud semua. Mamah seolah-olah menjadi altruis yang menopang segala ambisi orang-orang di sekelilingnya, tapi saya kira, dia mencapai kebahagiaannya yang paripurna, dengan cara memaknai dunia terus menerus melalui harapan dan Tuhan yang tak mungkin membiarkannya sendirian. Kebahagiaan yang Mamah capai, adalah kebahagiaan lewat orang lain, dan kebahagiaan yang dijanjikan di waktu kelak. Bukan kebahagiaan sementara yang kita-kita kejar dengan berdarah-darah. Padahal fana. Al-fatihah.
Comments
Post a Comment