Skip to main content

Pulih

  Jalan beberapa hari jaga, saya mulai bosan. Rasanya berat sekali menunggui dagangan yang pembelinya terhitung sedikit. Lebih menderita lagi jika melihat barang dagangan sebelah lebih ramai dibeli. Hal yang menjadi hiburan adalah menulis terus menerus, supaya tidak terlihat bengong. Supaya tidak mati gaya.  Beberapa hari yang lalu, pas hari awal-awal saya mulai jaga, tiba-tiba saya punya keberanian untuk posting foto di Instagram. Setelah itu mulai merambah ke Facebook, lalu mulai semangat untuk posting sejumlah story di Instagram, mulai dari tentang jalannya kasus sejauh ini sampai kegiatan sehari-hari. Entah keberanian dari mana, tiba-tiba saya mem-posting story tentang tulisan-tulisan yang diturunkan dari berbagai website. Saya menuliskan, "Siapa yang mau tulisan saya? Gratis, akan saya kirimkan via e-mail". Ternyata banyak juga yang menginginkan tulisan-tulisan itu, ada lebih dari 90 orang.  Kemudian saya terpikir untuk membuat grup lagi, bersama orang-orang yang bisa di

Ibunda

 

Soal Papap saya mungkin cukup sering menceritakannya. Sekarang saya akan cerita tentang almarhumah, yang wafat tahun 2018. Selama hidup, memang saya lebih dekat dengan Papap ketimbang Mamah. Alasannya, entah kenapa ya, saya merasa Mamah itu adalah sosok yang terlalu suka mengalah, seperti terlampau permisif. Saya lebih kompatibel dengan sifat Papap yang ambisius dan intens pada apa yang dikerjakannya. Namun dalam renungan akhir-akhir ini, saya justru merasa lebih paham tentang sifat-sifat almarhumah. 

Mamah adalah sosok perempuan dengan beban ganda. Sambil bekerja sebagai pengajar di jurusan Sastra Jepang, Universitas Padjadjaran, tempatnya mengabdi selama lebih dari 25 tahun, Mamah juga mengurus rumah tangga, tepatnya tiga anggota keluarga lain yang kesemuanya laki-laki: Papap, Engkang, dan saya. Tak hanya itu, Mamah juga mengelola segala hal yang bersifat "public relation" dengan pihak eksternal seperti keluarga besar, rekan-rekan kerja, tetangga, hingga orang-orang yang kerja di rumah. Kemampuan Mamah dalam mengelola semua itu membuat Papap dapat bekerja dengan fokus dan hanya mengurusi kekaryaan saja. 

Sifat Mamah juga begitu baik dan pemurah. Jika ada saudara, mahasiswa, atau teman minta tolong, pasti beliau usahakan bantu. Pernah saya ada teman yang dibiayai kuliah oleh Mamah, padahal saya tidak dekat-dekat amat dengan teman tersebut. Kalau ada mahasiswa berjualan makanan juga pasti Mamah beli. Selain itu, yang membuat saya tak habis pikir, Mamah selalu mengupayakan bantuan bagi saudara kami yang bahkan berlaku kasar saat meminta tolong! Pikiran pragmatis saya sih, untuk apa menolong orang yang tak tahu cara menghargai kita. Ngomong yang enak kek, yang sopan kek, buat saya merasa senang bisa menolong Anda. Tapi mungkin di situlah poin kemuliaan beliau: membantu seyogianya adalah membantu, tak punya motif transaksional antar manusia. Biarlah rasa berat ini Allah yang balas. Makin berat rasanya, justru makin besar pahalanya. Begitu kelihatannya pikir beliau. 

Meski Mamah adalah orang yang berhati baik dan mulia, entah kenapa, saya kerap bertengkar dengan beliau. Saya merasa kasih sayangnya kadang berlebihan hingga masuk pada sikap over-protektif dengan dalih "kamelang" (Sunda: rasa khawatir). Dalam suatu suasana pertengkaran dengan Mamah, Papap pernah menghampiri saya untuk semacam menengahi, mengatakan bahwa memang ada perbedaan peran antara Papap dan Mamah: Papap lebih mendorong untuk mengembara, sementara Mamah lebih mengkhawatirkan bagaimana jika dalam pengembaraan nanti, saya malah menghadapi marabahaya. Mamah seolah hendak mengatakan, jangan pergi, tetaplah dalam dekapan ibunda. Di sini, semuanya akan aman. Kata Papap, dua sikap cenderung berbeda antara mereka berdua tersebut tak perlu dipertentangkan, tetapi jadikan saja tegangan, sekaligus tantangan. Jadilah orang yang terus bertualang, tanpa pernah lupa akan rumah, tempat kita bisa senantiasa didekap. Tempatnya kita disambut kehangatan, meski babak belur di luar sana. 

Ajaran Mamah terasa belakangan ini, tentang hidup yang dijalankan sebaik-baiknya, meski banyak hal bertentangan dengan keinginan. Tak semua hal harus diwujudkan, karena ada yang lebih penting dari itu semua: membuat hidup menjadi bermakna atas berbagai keterbatasan. Atau tak perlu memandangnya sebagai keterbatasan, karena bisa jadi memang itulah dunia kita, dengan segala keutuhannya. Mamah mungkin ingin melanglangbuana, berkarir bebas atas nama dirinya sendiri, tapi hidupnya tak jadi tak bermakna jika ternyata yang mesti digelutinya adalah masalah-masalah keluarga besar atau kesejahteraan orang-orang yang bekerja di rumah. 

Kita semua akan menghadapi keterbatasan itu, entah oleh usia, keuangan, atau hal-hal lain yang memupus segala cita-cita. Namun tak ada gunanya memendam kecewa, atau hidup dalam kubangan romantisme seolah-olah impian kita akan terwujud semua. Mamah seolah-olah menjadi altruis yang menopang segala ambisi orang-orang di sekelilingnya, tapi saya kira, dia mencapai kebahagiaannya yang paripurna, dengan cara memaknai dunia terus menerus melalui harapan dan Tuhan yang tak mungkin membiarkannya sendirian. Kebahagiaan yang Mamah capai, adalah kebahagiaan lewat orang lain, dan kebahagiaan yang dijanjikan di waktu kelak. Bukan kebahagiaan sementara yang kita-kita kejar dengan berdarah-darah. Padahal fana. Al-fatihah.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k