Skip to main content

Kronologi dan Duduk Perkara Kasus SM

Pada tulisan ini, saya Syarif Maulana, akan menjabarkan kronologi selengkap-lengkapnya tentang segala proses berkaitan dengan kasus dugaan kekerasan seksual yang dituduhkan pada saya tanggal 9 Mei 2024 di media sosial X. Tuduhan tersebut menjadi viral dan menyebabkan saya dipecat dari berbagai institusi, tulisan-tulisan diturunkan dari berbagai media, buku-buku dicabut dari penerbitan, dan dikucilkan dari berbagai komunitas filsafat, termasuk komunitas yang saya bangun sendiri, Kelas Isolasi.  Penulisan kronologi ini dilakukan dalam rangka menjelaskan duduk perkara dan perkembangan kasus ini pada publik berdasarkan catatan dan dokumentasi yang saya kumpulkan.  Tuduhan kekerasan seksual (selanjutnya akan disingkat KS) kepada saya dimulai pada tanggal 9 Mei 2024, dipicu oleh cuitan dari akun @flutuarsujet yang menuliskan “... katanya dia pelaku KS waktu di Tel**m, korbannya ada lima orang …”. Kata “Tel**m” tersebut kemungkinan besar mengacu pada Telkom University, tempat saya bekerja seb

Hati


Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi. 

Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong, dan lain sebagainya yang pastinya kita sudah familiar. Sekarang saya sadar: agama tak hanya bicara perkara-perkara besar seperti penciptaan atau eskatologi, melainkan sampai pada hal yang begitu "kecil" dan personal: hati. 

Saya berusaha untuk tidak sedang menjadi moralis, tetapi belakangan ini sedang merenungkan, bahwa hal-hal yang "dilarang" itu, setidaknya dalam konteks relijius, tak usah jauh-jauh menautkannya dengan dosa. Cukup kaitkan dengan hati. Ambil contoh bermain judi. Dalam kalkulasi pikiran, tak ada yang sulit dalam bermain judi: pilih satu dari dua piihan, kita bisa mengalami kemenangan atau kekalahan. Kata para penjudi, tak mungkin seseorang kalah terus-terusan dalam taruhan, pasti ada kalanya nasib kita akan berbalik menjadi menang. Namun bukan kalkulasi itu yang menjadi pokok persoalan, melainkan: hati. Tak ada orang yang berhenti selagi menang. Hatinya akan berada dalam kegelisahan untuk terus menambah kemenangan hingga sampai pada kekalahan. Saat kalah, sang penjudi akan mencoba lagi, lagi, dan lagi, dengan berpegang pada prinsip "suatu saat nasib akan berbalik", padahal pembalikan itu berlangsung sementara saja. Karena hati akan terus meronta, tak pernah merasa puas dengan hasil apapun. 

Namun penaklukkan akan desakan hati adalah suatu "kemenangan" tersendiri. Dilarang meminum alkohol, misalnya, tetapi tetap meminumnya adalah suatu perayaan akan kehidupan yang sementara. Dilarang berzina, sebagai contoh, tetapi tetap melakukannya adalah suatu cara untuk mengafirmasi keberanian: bahwa hati tak cukup kuat menahan kenyataan bahwa kita hidup untuk masa sekarang, bukan untuk suatu kondisi yang terlalu jauh dan tak terbayangkan di masa yang akan datang. Hati seringkali tak berkutik di hadapan unsur lain yang lebih sering meronta: daging. Dalam kedagingan, hati kerap diajak bicara, "Nanti saja dibahasnya, hal ini lebih penting untuk saat ini. Akan tiba saatnya saya mendengarkanmu lagi (setelah semua ini selesai)." 

Hati selalu berada di sana. Bersuara sebisa-bisa, meski kedagingan telah membungkus diri kita. Hati mengingatkan bahwa hidup tak sekadar tentang hal yang sekarang, melainkan tentang kedamaian yang lebih panjang dan "hakiki". Ritual agama kadang tak menyelesaikan persoalan daging, tetapi menyasar hati supaya lebih terdengar. Cara kerja ritual ini, dalam pengalaman saya yang terbatas, bukan dengan cara tiba-tiba memberikan kita kekayaan berlimpah lewat misalnya, uang satu milyar. Namun lebih tepatnya: membuat kita punya keteguhan hati meski uang kita tinggal sepuluh ribu. Hati yang teguh membuat kita punya keterbukaan terhadap segala kemungkinan. Ada orang yang tiba-tiba memberi akan dipandang sebagai sebuah rejeki, pun kalau tak ada yang memberi dan kita dibiarkan mengalami kelaparan, hal demikian tetap dipandang sebagai suatu kebaikan. Hati memberi kekuatan untuk memandang opsi-opsi semacam itu sebagai suatu hal yang sama-sama mendamaikan. 

Hati yang didengar bukan artinya kita abai dalam segala hal yang berhubungan dengan kedagingan. Kedagingan juga hakiki, bagian dari kenyataan bahwa kita masih tersambung dengan tubuh. Namun hati yang didengar membuat segala kedagingan tak menancap terlalu dalam pada bumi. Carilah rejeki, tanpa rasa khawatir. Tabung uangmu untuk masa depan, tanpa ambisi berlebihan. Lawanlah orang yang menzalimimu, tanpa disertai rasa dendam. Karena dengan hati yang didengar, konsekuensi apapun tak akan menggoyahkanmu. 

Saya sedang belajar hal ini, setelah sekian lama kerap mengabaikannya, karena selalu jatuh pada rasionalisasi tentang hati yang malah bersifat reduksionis, bahwa hati "tak lebih daripada...". Membicarakan hati mungkin romantisme belaka, tapi dalam usia yang kian menua, romantisme adalah kemewahan yang tersisa.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat