"Jadi, Stad, tentang surat ini, apakah saya ngaji atau baca tafsirnya?"
"Terserah maumu, salah satunya oke. Ngajinya akan memberi energi pembebasan. Tafsirnya bisa membuatmu tercerahkan."
Menarik obrolan dengan guruku ini. Soal tafsir saya bisa paham mengapa dia mengatakan demikian, tetapi kenapa "ngaji akan memberi energi pembebasan"? Padahal dalam mengaji, saya hanya membaca huruf-huruf Arab saja tanpa mengerti artinya. Namun saya mencoba memahami maksud perkataan tersebut: tanpa mengetahui arti, tanpa memahami makna, kita merengkuh peristiwa sepenuhnya. Arti dan makna kerap memerlukan bahasa (seperti yang sedang saya tuliskan sekarang), sementara saat merengkuh peristiwa, yang diperlukan terkadang hanyalah penghayatan, yang masuk ke dalam hati.
"Ngaji memberi energi pembebasan" ini juga mengingatkan saya pada bagaimana mengapresiasi seni. Sebelum atau pada saat kita berinteraksi dengan karya seni, seringkali kita terdorong untuk mengajukan pertanyaan, "Lukisan ini artinya apa ya?" "Lagu ini maknanya apa kira-kira?" Penjelasan apapun tentu membuat kita menjadi lebih "mengerti" perkara objek yang sedang diinderai. Namun ada jebakan di sisi lain, bahwa pengertian-pengertian itu memenjarakan kita, membuat kita selalu mengarahkan apresiasi pada konsep-konsep yang telah kita ketahui. Sebagai contoh, jika kita mendapat pengetahuan bahwa Fugue dalam G minor BWV 578-nya Bach adalah tentang, misalnya, seekor kucing, kita akan membayangkan kucing manapun yang kita ketahui untuk membuat karya tersebut menjadi terang.
Padahal Fugue-nya Bach tidak harus dimengerti dalam artian "tentang sesuatu", tetapi kita kerap luput bahwa Fugue itu adalah "sesuatu" itu sendiri: nada, ritmik, harmoni, kontrapung, dan unsur-unsur musikal lainnya, sebagai jalinan yang membentuk musik yang kita hadapi. Membangun pengertian bahwa musik itu adalah "tentang sesuatu", artinya menjadikan musik sebagai semacam sarana atau perantara menuju "sesuatu" yang lain di luar musik. Mengapa kita mengarahkan pengertian kita ke luar, ya itu tadi, karena kita mencoba mencari pengertian, berusaha memahami, dengan jalan semantik.
Dengan demikian, "ngaji memberi energi pembebasan" bukan karena saya paham artinya, justru karena saya tidak paham artinya. Saya mengaji karena mengaji, karena mengaji itu sendiri adalah suatu momen estetik. Hanya dalam momen estetik yang dihayati, lepas dari segala pengertian-pengertian, kita terbebaskan, bahkan dari aspek etik sekalipun. Saat kita menikmati pemandangan gunung, tak peduli apakah keindahan gunung itu alamiah atau fabrikasi, tetap setidaknya ada sedetik momen estetik yang lepas dari pertanyaan akan keabsahan dari si objek dan perasaan yang menyertainya.
Jadi, bacalah, dan tenggelamlah dalam momen estetik bersamanya. Atau dalam konteks lebih luas: alamilah, dan tenggelamlah dalam momen estetik bersama-Nya.
Senang membaca tulisan Mas Maulana tentang "tenggelamlah dalam momen estetik bersama-Nya melalui mengaji"
ReplyDelete