Skip to main content

Pulih

  Jalan beberapa hari jaga, saya mulai bosan. Rasanya berat sekali menunggui dagangan yang pembelinya terhitung sedikit. Lebih menderita lagi jika melihat barang dagangan sebelah lebih ramai dibeli. Hal yang menjadi hiburan adalah menulis terus menerus, supaya tidak terlihat bengong. Supaya tidak mati gaya.  Beberapa hari yang lalu, pas hari awal-awal saya mulai jaga, tiba-tiba saya punya keberanian untuk posting foto di Instagram. Setelah itu mulai merambah ke Facebook, lalu mulai semangat untuk posting sejumlah story di Instagram, mulai dari tentang jalannya kasus sejauh ini sampai kegiatan sehari-hari. Entah keberanian dari mana, tiba-tiba saya mem-posting story tentang tulisan-tulisan yang diturunkan dari berbagai website. Saya menuliskan, "Siapa yang mau tulisan saya? Gratis, akan saya kirimkan via e-mail". Ternyata banyak juga yang menginginkan tulisan-tulisan itu, ada lebih dari 90 orang.  Kemudian saya terpikir untuk membuat grup lagi, bersama orang-orang yang bisa di

Bacalah

 


"Jadi, Stad, tentang surat ini, apakah saya ngaji atau baca tafsirnya?" 

"Terserah maumu, salah satunya oke. Ngajinya akan memberi energi pembebasan. Tafsirnya bisa membuatmu tercerahkan." 

Menarik obrolan dengan guruku ini. Soal tafsir saya bisa paham mengapa dia mengatakan demikian, tetapi kenapa "ngaji akan memberi energi pembebasan"? Padahal dalam mengaji, saya hanya membaca huruf-huruf Arab saja tanpa mengerti artinya. Namun saya mencoba memahami maksud perkataan tersebut: tanpa mengetahui arti, tanpa memahami makna, kita merengkuh peristiwa sepenuhnya. Arti dan makna kerap memerlukan bahasa (seperti yang sedang saya tuliskan sekarang), sementara saat merengkuh peristiwa, yang diperlukan terkadang hanyalah penghayatan, yang masuk ke dalam hati

"Ngaji memberi energi pembebasan" ini juga mengingatkan saya pada bagaimana mengapresiasi seni. Sebelum atau pada saat kita berinteraksi dengan karya seni, seringkali kita terdorong untuk mengajukan pertanyaan, "Lukisan ini artinya apa ya?" "Lagu ini maknanya apa kira-kira?" Penjelasan apapun tentu membuat kita menjadi lebih "mengerti" perkara objek yang sedang diinderai. Namun ada jebakan di sisi lain, bahwa pengertian-pengertian itu memenjarakan kita, membuat kita selalu mengarahkan apresiasi pada konsep-konsep yang telah kita ketahui. Sebagai contoh, jika kita mendapat pengetahuan bahwa Fugue dalam G minor BWV 578-nya Bach adalah tentang, misalnya, seekor kucing, kita akan membayangkan kucing manapun yang kita ketahui untuk membuat karya tersebut menjadi terang. 

Padahal Fugue-nya Bach tidak harus dimengerti dalam artian "tentang sesuatu", tetapi kita kerap luput bahwa Fugue itu adalah "sesuatu" itu sendiri: nada, ritmik, harmoni, kontrapung, dan unsur-unsur musikal lainnya, sebagai jalinan yang membentuk musik yang kita hadapi. Membangun pengertian bahwa musik itu adalah "tentang sesuatu", artinya menjadikan musik sebagai semacam sarana atau perantara menuju "sesuatu" yang lain di luar musik. Mengapa kita mengarahkan pengertian kita ke luar, ya itu tadi, karena kita mencoba mencari pengertian, berusaha memahami, dengan jalan semantik. 

Dengan demikian, "ngaji memberi energi pembebasan" bukan karena saya paham artinya, justru karena saya tidak paham artinya. Saya mengaji karena mengaji, karena mengaji itu sendiri adalah suatu momen estetik. Hanya dalam momen estetik yang dihayati, lepas dari segala pengertian-pengertian, kita terbebaskan, bahkan dari aspek etik sekalipun. Saat kita menikmati pemandangan gunung, tak peduli apakah keindahan gunung itu alamiah atau fabrikasi, tetap setidaknya ada sedetik momen estetik yang lepas dari pertanyaan akan keabsahan dari si objek dan perasaan yang menyertainya. 

Jadi, bacalah, dan tenggelamlah dalam momen estetik bersamanya. Atau dalam konteks lebih luas: alamilah, dan tenggelamlah dalam momen estetik bersama-Nya.

Comments

  1. Senang membaca tulisan Mas Maulana tentang "tenggelamlah dalam momen estetik bersama-Nya melalui mengaji"

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k