Skip to main content

Dari Proksi ke Proksi

  Ya, saya pernah menggunakan Tinder, tetapi tidak pernah lama dan tidak pernah tuntas. Saya hanya pakai sebentar, lihat-lihat, lalu ketika disuruh bayar saya biasanya malas melanjutkan. Pernah satu kali coba bayar, berkenalan dengan beberapa orang, tetapi tidak sampai ketemuan. Beberapa diantaranya malah mencurigakan. Misalnya, ada yang langsung ngajak nonton bioskop lalu minta saya membayarkan tiketnya ke rekening Dana miliknya. Tidak besar memang, cuma tiga puluh ribuan, tetapi tetap saja aneh. Lainnya, ada yang langsung minta dibelikan kuota atau ada juga yang langsung curhat mendalam tanpa ada basa basi sama sekali (seolah-olah berusaha membangkitkan belas kasih). Akhirnya saya uninstall aplikasi tersebut dan kelihatannya tak tertarik lagi untuk menggunakannya.  Lalu saya baru saja selesai nonton The Tinder Swindler (2022) di Netflix, film dokumenter tentang penipuan berkedok kencan daring yang menjerat banyak korban hingga puluhan juta Dollar. Modus laki-laki bernama Simon Levi

Agama dan Pengalaman Psikedelik

Pengalaman psikedelik rasa-rasanya mesti dialami setiap orang, minimal sekali seumur hidup. Saya pernah merasakannya lewat "jamur ajaib". Meski hanya beberapa kali saja (dapat dihitung jari), pengalaman semacam itu adalah pengalaman yang selalu saya kenang: tentang realitas yang tampil dengan cara yang lain, tentang kesadaran yang dilampaui. Saya banyak tersenyum ketika menonton film dokumenter berjudul Have a Good Trip: Adventures in Pyschedelics (2020) di Netflix. Alasannya, saya betul-betul relate dengan pengalaman visual mereka yang diwawancarai dalam film tersebut seperti Sting, Carrie Fisher, Anthony Bourdain, dan Sarah Silverman. Orang-orang itu bercerita tentang benda yang mendadak bisa menari-nari dan bahkan bisa berbicara pada mereka, hidup dalam kartun tiga dimensi, pengalaman masuk pada dimensi lain, dan visual-visual khas lainnya sebagai efek yang muncul dari konsumsi LSD, peyote, "jamur ajaib", atau ayahuasca. 

Have a Good Trip adalah dokumenter yang memikat dengan selingan visual serta musik a la psikedelik, hal yang sebenarnya sudah begitu akrab bagi orang-orang yang terbiasa dengan musik-musik dari kelompok Pink Floyd, ELP, Grateful Dead, Santana di album Abraxas, Miles Davis di album Bitches Brew, dan band-band lain terutama dari tahun 1960-an dan 1970-an. Pada masa-masa itu, masyarakat Amerika tengah dilanda semacam "spiritualisme baru" lewat penggunaan obat-obatan halusinogen, kedekatan dengan alam dan gaya hidup simpel (kemungkinan didorong juga salah satunya oleh pemikiran Henry David Thoreau dalam Walden), kedekatan dengan filosofi Timur terutama India, serta pelarian atas stres berkepanjangan akibat Perang Dingin, salah satunya berupa kekalahan telak pasukan Amerika di Vietnam. Jemaat spiritualisme baru itu kita kenal dengan orang-orang hippie, para pecinta damai, hidup santuy (baca: sambil teler), yang digambarkan dengan indah dalam lirik lagu yang dinyanyikan Scott McKenzie: "If you're going to San Francisco, be sure to wear some flowers in your hair.." 

Kembali ke perkara pengalaman psikedelik. Bourdain dalam Have a Good Trip menyebut nama Hunter S. Thompson sebagai sosok keren idamannya. Pada tahun 1971, Thompson menulis novel berjudul Fear and Loathing in Las Vegas yang bercerita tentang pengalaman hidupnya sendiri ketika berangkat ke Las Vegas bersama seseorang yang dalam bukunya itu ditulis sebagai Dr. Gonzo. Dalam perjalanan itu, keduanya dalam keadaan teler berat di bawah pengaruh obat-obatan yang memberi efek psikedelik. Saya belum membaca novel tersebut, tetapi sudah menonton filmnya dengan judul yang sama dan dirilis tahun 1998. Fear and Loathing in Las Vegas versi film diperankan dengan brilian oleh Johnny Depp dan Benicio del Toro. 

Dari cerita Bourdain, saya kemudian baru tahu betapa pentingnya nama Thompson sebagai garda depan "kebudayaan psikedelik". Salah satu produknya adalah "Jurnalisme Gonzo" yang memusatkan penulisan berita pada subjektivitas si jurnalis yang bahkan tak perlu menuliskan secara deskriptif perkara beritanya, melainkan lebih pada hal apa yang dia rasakan saat berada di seputaran lokasi peliputan. Menariknya, lagi-lagi, "Jurnalisme Gonzo" bertopang pada pengaruh obat-obatan sehingga mampu melahirkan tulisan yang meleburkan fakta dan fiksi, dibubuhi oleh fantasi dan hal yang dilebih-lebihkan, yang dicampur dengan semacam komedi gelap. Fear and Loathing in Las Vegas pun demikian. Novel tersebut adalah cerita perjalanan, tetapi hal yang dititikberatkan adalah "perjalanan kesadaran" Thompson (yang dalam cerita tersebut menjadi tokoh bernama Raoul Duke) dan Dr. Gonzo. Las Vegas-nya bisa jadi tak seberapa penting, karena yang lebih menarik justru hal seperti visual "kadal raksasa" sebagai efek halusinasi. 

Hal psikedelik ini, bagi saya, menimbulkan problem justru bukan karena halusinasi dianggap sebagai sesuatu yang membahayakan bagi cara kita menghadapi realitas, tetapi justru sebaliknya: hal psikedelik, tidak dapat dipungkiri, telah menjadi sumber inspirasi bagi banyak tokoh besar dan bahkan telah biasa digunakan berabad-abad dalam kebudayaan tertentu sebagai "jembatan" menuju kesadaran yang lebih tinggi. Justru yang demikianlah yang sekaligus menjadi inti dari agama-agama, yakni tentang kehidupan material yang terus menerus dilampaui supaya manusia dapat bersentuhan dengan apa yang ada "di balik", sampai kemudian menuju Tuhan, Dewa, atau apapun itu. Pertanyaan penting yang bisa diajukan bisa jadi berikut ini: Jika dalam keadaan teler kita bisa sampai pada hal-hal yang transenden, lalu apa pentingnya realitas? Apa pentingnya dunia material yang kita hadapi sehari-hari? Mengapa kesadaran lebih tinggi justru dianggap berbahaya dan harus dilabeli sebagai narkoba yang menyesatkan? 

Problemnya mungkin karena obat-obatan halusinogen ini "terlalu saintifik", terlalu memberikan efek yang "pasti", tanpa perlu melewati serangkaian proses keimanan yang panjang. Agama menghendaki umat yang mampu sampai ke Tuhan melalui semacam latihan atau tirakat yang lumayan, sehingga muncul perasaan tak rela jika suatu masyarakat dapat mencapainya dengan cukup membeli dan menenggak obat-obatan. Agama menawarkan meditasi, zikir, atau apapun itu bentuk latihan repetitif yang menempa badan dalam rangka menjernihkan rohani. Efek ke depannya mungkin "sama", tetapi jalur obat-obatan dianggap terlalu instan, mensyaratkan suatu benda di luar diri, bahkan memerlukan uang untuk membelinya. 

Mungkin disitulah obat-obatan menjadi problematik. Kesadaran lebih tinggi tak boleh menjadi hak istimewa orang-orang yang aksesibel terhadap LSD sehingga mudah bagi mereka untuk menjadi teler tanpa latihan yang memadai. Kesadaran lebih tinggi dipertahankan sebagai pokok yang lebih penting daripada sains, yakni berkaitan dengan kepercayaan yang penuh, yang hanya dengan cara demikian efek-efeknya menjadi lebih menyeluruh ketimbang sekadar visual-visual yang memabukkan. Bahwa seseorang yang zikir bisa saja, dalam tingkat tertentu, masuk pada peleburan ruang dan waktu, kehancuran total tentang ego (seperti yang diakui juga oleh Sting saat dia mengkonsumsi peyote), penyatuan dengan "yang tak terbatas" seperti halnya mereka yang mengkonsumsi obat-obatan halusinogen. Tetapi zikir saja mungkin tidak cukup, jika misalnya, dalam hatinya dipenuhi perasaan skeptis atau tidak menjalani tirakat yang lengkap. 

Atas segala kepenuhan itu, zikir atau meditasi agak sukar menciptakan "bad trip", semacam pengalaman tidak enak dalam bentuk kepanikan, visual tak menyenangkan, atau emosi negatif yang mendalam yang kadang tak bisa dikendalikan muncul dari obat-obatan halusinogen. Kalaupun iya muncul hal-hal demikian dari zikir atau meditasi, praktisinya akan mampu memaknai macam-macam sehingga perasaan tak nyaman tersebut tak muncul berkepanjangan dan mampu dikonversi menjadi semacam penghiburan. Dalam tulisan ini saya tak murni membela aspek pelampauan semata-mata dari sisi zikir dan meditasi karena bagaimanapun, pengalaman psikedelik itu patut dicoba, setidaknya sekali saja seumur hidup, supaya ada pengalaman yang bikin senyum-senyum sendiri, tentang hal-hal abstrak yang termanifestasi, membuat realitas menjadi asing, sekaligus tersingkap.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me