Ilustrasi dihasilkan oleh AI Ada macam-macam pengandaian untuk manusia tertentu yang dianggap tak-lagi-seperti-manusia. Dalam sebuah pertarungan UFC (contoh ini dipilih karena saya sering menontonnya di Youtube), misalnya, seorang petarung yang begitu ganas dalam melancarkan pukulan dan bantingan bisa diibaratkan oleh komentator "seperti hewan". Mungkin karena petarung tersebut begitu "kehilangan akal", memanfaatkan hanya nalurinya untuk menerkam, memanfaatkan seluruh tubuhnya untuk menghabisi mangsa. Ada juga perandaian lain yang non-manusia, yaitu mesin. Menyebut manusia sebagai mesin sama-sama memperlihatkan "kehilangan akal", tetapi lebih menunjuk pada suatu gerakan otomat, kadang repetitif, yang kelihatannya bisa dilakukan berulang-ulang tanpa mengenal rasa lelah. Mungkin bisa dibayangkan pada Cristiano Ronaldo muda yang larinya begitu kencang atau petinju yang bisa menghujamkan pukulan terus menerus seolah-olah dia diprogram demikian. Tubuh adalah ...
Hampir tiga bulan saya menjadi pejalan. Mengarungi satu per satu peristiwa untuk memahami maksudnya. Sebenarnya mungkin saja segalanya terjadi tanpa suatu maksud. Namun dengan menerka-nerka maksud, setidaknya peristiwa seburuk apapun tak menjadi terlampau mengecewakan. Jika kematian tak memiliki maksud apa-apa kecuali semata-mata keniscayaan biologis, maka narasi hidup bisa kehilangan maknanya. Bahkan usaha para nihilis untuk menganggap kematian sebagai semata-mata ketiadaan juga adalah semacam usaha menemukan maksud. Terlebih lagi dalam suatu peristiwa yang katakanlah penderitaan, memberi maksud memang terkesan eskapis, tapi setelah dipikir-pikir: apa salahnya bersikap eskapis? Sama saja, seseorang belajar, bekerja, berkeluarga, dalam arti tertentu juga menjadi eskapis, bentuk pelarian dari kecemasan eksistensinya. Jadi tak melulu hal-hal "abstrak" seperti "hikmah", "makna", atau bahkan "kehendak Tuhan" bisa dituding sebagai eskapis, karena d...