Suatu waktu saya berjanji dalam hati, untuk tidak kembali ke dunia itu lagi. Namun setelah dipikir-pikir, kenapa saya harus menggunakan kata "kembali"? Selama ini saya berjalan terus, membawa dunia saya sendiri: untuk orang-orang mendekat, menjauh, tinggal, nongkrong, check in, check out, di dalam dunia yang saya bawa. Seorang pejalan semestinya tak pernah "stuck" dalam suatu perhentian dan bermukim untuk waktu yang terlalu lama. Pejalan selalu bergerak, menanggalkan perasaan nyamannya karena sekaligus tahu, kenyamanan dapat membunuh kepenasaranan, keinginan untuk terus mencari.
Pertanyaannya, sampai kapan harus terus mencari? Sampai kapan muncul perasaan untuk tak harus bermukim di suatu tempat? Bukankah jiwa ini bisa kelelahan jika terus-terusan mencari? Sejujurnya, saya juga tak tahu hingga entah kapan. Hanya saja saya merasa tak sanggup lagi berpegang pada yang sudah-sudah. Hubungan dengan manusia begitu rapuh. Seseorang bisa jadi kawan dekat bertahun-tahun, tapi esoknya bisa meninggalkan, dan bahkan menjadi musuh terbesar. Pasanganmu bisa dipercaya, tetapi sebagaimana segala yang hidup, ia bisa sakit dan mati kapan saja. Uang kita bisa memberikan sukacita, tetapi bisa menguap tiba-tiba, oleh keperluan yang tak disangka-sangka. Kita merasa bisa mengontrol kebahagiaan kita, padahal tidak. Bahkan pikiran dan kecerdasan, yang saya merasa itu semua merupakan hasil kerja keras yang sah, pun bisa menjadi penyebab segala derita.
Maka tak ada gunanya khawatir atas segala hal yang pernah ada lalu kemudian tiada. Saya datang bertamu, mendapat perlakuan yang menyenangkan dari tuan rumah, tapi saya tak boleh merasa keenakan lalu tinggal untuk waktu yang lama. Saya tahu bahwa saya di sana hanya untuk beristirahat sejenak, ngobrol-ngobrol santai, sebelum meneruskan perjalanan. Saya mesti sadar dari awal, bahwa saya tak pernah menjadikan bertamu sebagai tujuan, maka itu jangan terlalu berharap untuk kembali ke sana. Tuan rumah baik pada kita karena kita adalah tamunya. Jika kita tinggal terlalu lama, kita tak lagi dipandang sebagai tamu, melainkan bisa menjadi pengganggu.
Pejalan yang baik tahu bahwa momennya bertamu hanyalah sekadar bertamu. Tidak ada keinginan untuk tinggal berlama-lama atau bahkan menguasai kediaman si tuan rumah. Pejalan yang baik tahu bahwa rumah itu adalah milik si tuan rumah dan perlakuan menyenangkan hanyalah sesuatu yang sementara. Pejalan yang baik memandang momen bertamu bukan semata-mata ia memasuki dunia si tuan rumah, melainkan juga sebaliknya, menjadikan tuan rumah berada dalam dunia si pejalan, sebagai bagian dari pengembaraannya.
Sekarang ke manakah si pejalan mesti melanjutkan, setelah meninggalkan perjamuan dari si tuan rumah? Pejalan mesti mengembara hingga menemukan tuan rumah yang menjamunya tanpa rasa khawatir. Rasa khawatir bahwa kita kelak akan mengambil alih propertinya. Karena hanya tuan rumah yang maha kaya yang tak takut kehilangan harta. Tuan rumah yang sekaligus tak punya problem, kalaupun kita tinggal berlama-lama, karena dia begitu ramah, sampai-sampai kita dilarang untuk meneruskan perjalanan. Katanya, "Tak perlu berjalan lagi, sudah di sini saja. Disinilah teman, pasangan, harta, dan pikiranmu berasal. Tak perlu khawatir lagi mereka akan pergi, karena di sinilah mereka semua akan kembali."
Comments
Post a Comment