Seorang pejalan tidak hanya berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Pejalan adalah orang yang menghayati perpindahan tersebut. "Saya akan pergi ke minimarket yang jaraknya seratus meter," seseorang bisa mengatakan demikian, tetapi tak bisa dikatakan pejalan jika seratus meter dipandang sebagai jarak yang menghalangi dirinya dan tujuannya. Bagi sang pejalan, minimarket itu tentu penting, tetapi lebih penting lagi: seratus meter yang diarunginya. Seorang juru sampan bernama Vasudeva dalam novel Siddhartha karya Herman Hesse pernah membicarakan tentang "jarak yang memisahkan". Saya lupa persisnya, tetapi kira-kira Vasudeva mengatakan semacam ini, "Banyak orang menganggap sungai hanyalah penghalang bagi tujuannya, padahal kita bisa dengarkan banyak suara dari sungai ini."
Selama ini saya tak paham apa arti menjadi pejalan. Alasannya, sebagai orang yang pernah begitu aktif bermedia sosial, perjalanan adalah sekaligus kesempatan untuk membuat konten. Saya akan menceritakan dengan berbagai macam cara bahwa, "Saya sedang dalam perjalanan menuju A", "Di perjalanan menuju A saya menemukan hal menarik yakni blablabla", "Setibanya di A, saya bertemu orang menarik yakni ..." dan seterusnya, sedemikian rupa sehingga banyak orang mengetahuinya. Hal semacam itu saya pikir sah-sah saja, tetapi ternyata membuat saya menjadi seorang yang berpikiran instrumental: selalu menjadikan apa yang ada di hadapan sebagai sarana (bagi tujuan bernama dokumentasi serta respons di media sosial).
Belakangan ini, sejak tak lagi aktif mem-posting di media sosial, saya sempat kebingungan, terlebih lagi saat melewati sejumlah perjalanan tak terduga dari kota B2, ke kota P1, hingga sampai ke kabupaten P2: Pada siapa saya harus menceritakan ini semua? Namun pertanyaaan demikian sekaligus terasa memalukan, karena: Untuk apa saya harus menceritakan ini semua? Memang dalam tulisan ini saya tetap menceritakannya juga, tetapi tidak dalam niatan yang mirip dengan ketika saya merasa harus untuk mem-posting-nya secara aktual di media sosial seperti Instagram atau X. Menulis di blog punya jeda waktu yang lumayan untuk sempat menyerap serta merenungkan peristiwa-peristiwa itu, sebelum akhirnya diceritakan ulang dengan santai (tanpa dilandasi motif FOMO).
Dengan tak ada lagi keharusan untuk mengunggah segala peristiwa secara aktual, saya terpaksa merengkuh penuh apa yang ada di hadapan. Saat memandangi sawah-sawah di sepanjang jalan menuju lokasi pesantren, saya tak perlu mengambil gambar, tak perlu juga mengunggah story. Saya hirup udaranya dalam-dalam, manjakan mata ini oleh visual yang indah-indah, serta resapi setiap pertemuan: segala pesan yang muncul dari wajah-wajah. Dengarkan. Simak. Tak perlu di-posting!
Sebenarnya perasaan semacam ini tak asing-asing amat. Waktu tahun 2013 nonton Metallica, saya tak berminat merekamnya. Saya tonton mereka dengan penuh penghayatan, hadir penuh dalam peristiwa itu, dan tak menyimpan sama sekali video konser mereka. Tak penting mengabadikan pertunjukkan tersebut dalam bit-bit data, karena semuanya telah tersimpan dalam tubuh saya. Demikian halnya pengalaman saya kemarin. Saya menjadi pejalan karena tak lagi memiliki niat mengunggah apa-apa yang saya temui di jalan ke media sosial. Saya menjadi pejalan karena merekam apa-apa yang ada di perjalanan ke dalam tubuh dan ingatan saya. Saya adalah pejalan karena tak lagi menganggap jarak sebagai penghalang. Jarak adalah tasbih antara saya dan Dia.
Comments
Post a Comment