Skip to main content

Sepakbola Masa Kini

  Dulu nonton sepakbola itu bisa terlihat gaya masing-masing negara. Jerman cenderung seradak-seruduk seperti tank panzer, Itali agak flamboyan, manipulatif, dan pragmatis, sementara Inggris terkenal dengan umpan-umpan panjang. Sejak era Guardiola di Barcelona sekitar tahun 2008-an, tim-tim lain mulai mengadopsi gaya serupa, yang membuat Spanyol berjaya di tahun-tahun yang sama. Hingga akhirnya sekarang, kita menyaksikan bagaimana Euro 2024 hampir semua tim menerapkan "gaya Guardiola".  Dalam Youtube Shorts, eks gelandang Bayern Muenchen dan Manchester United, Bastian Schweinsteiger pernah agak keberatan tentang penyebaran "gaya Guardiola" ini. Katanya, waktu Pep membesut Muenchen, timnya itu menjadi kehilangan gen-nya. Permainannya bagus, tapi tidak seperti Muenchen yang biasanya. Jadi, apa itu "Gaya Guardiola"? Kita lihat, hampir semua tim di Euro 2024 bermain dengan gaya serupa:  Kiper dan bek tengah harus punya kemampuan menggiring bola dan memberi ope

Pejalan (3)

 

Seorang pejalan tidak hanya berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Pejalan adalah orang yang menghayati perpindahan tersebut. "Saya akan pergi ke minimarket yang jaraknya seratus meter," seseorang bisa mengatakan demikian, tetapi tak bisa dikatakan pejalan jika seratus meter dipandang sebagai jarak yang menghalangi dirinya dan tujuannya. Bagi sang pejalan, minimarket itu tentu penting, tetapi lebih penting lagi: seratus meter yang diarunginya. Seorang juru sampan bernama Vasudeva dalam novel Siddhartha karya Herman Hesse pernah membicarakan tentang "jarak yang memisahkan". Saya lupa persisnya, tetapi kira-kira Vasudeva mengatakan semacam ini, "Banyak orang menganggap sungai hanyalah penghalang bagi tujuannya, padahal kita bisa dengarkan banyak suara dari sungai ini." 

Selama ini saya tak paham apa arti menjadi pejalan. Alasannya, sebagai orang yang pernah begitu aktif bermedia sosial, perjalanan adalah sekaligus kesempatan untuk membuat konten. Saya akan menceritakan dengan berbagai macam cara bahwa, "Saya sedang dalam perjalanan menuju A", "Di perjalanan menuju A saya menemukan hal menarik yakni blablabla", "Setibanya di A, saya bertemu orang menarik yakni ..." dan seterusnya, sedemikian rupa sehingga banyak orang mengetahuinya. Hal semacam itu saya pikir sah-sah saja, tetapi ternyata membuat saya menjadi seorang yang berpikiran instrumental: selalu menjadikan apa yang ada di hadapan sebagai sarana (bagi tujuan bernama dokumentasi serta respons di media sosial). 

Belakangan ini, sejak tak lagi aktif mem-posting di media sosial, saya sempat kebingungan, terlebih lagi saat melewati sejumlah perjalanan tak terduga dari kota B2, ke kota P1, hingga sampai ke kabupaten P2: Pada siapa saya harus menceritakan ini semua? Namun pertanyaaan demikian sekaligus terasa memalukan, karena: Untuk apa saya harus menceritakan ini semua? Memang dalam tulisan ini saya tetap menceritakannya juga, tetapi tidak dalam niatan yang mirip dengan ketika saya merasa harus untuk mem-posting-nya secara aktual di media sosial seperti Instagram atau X. Menulis di blog punya jeda waktu yang lumayan untuk sempat menyerap serta merenungkan peristiwa-peristiwa itu, sebelum akhirnya diceritakan ulang dengan santai (tanpa dilandasi motif FOMO). 

Dengan tak ada lagi keharusan untuk mengunggah segala peristiwa secara aktual, saya terpaksa merengkuh penuh apa yang ada di hadapan. Saat memandangi sawah-sawah di sepanjang jalan menuju lokasi pesantren, saya tak perlu mengambil gambar, tak perlu juga mengunggah story. Saya hirup udaranya dalam-dalam, manjakan mata ini oleh visual yang indah-indah, serta resapi setiap pertemuan: segala pesan yang muncul dari wajah-wajah. Dengarkan. Simak. Tak perlu di-posting

Sebenarnya perasaan semacam ini tak asing-asing amat. Waktu tahun 2013 nonton Metallica, saya tak berminat merekamnya. Saya tonton mereka dengan penuh penghayatan, hadir penuh dalam peristiwa itu, dan tak menyimpan sama sekali video konser mereka. Tak penting mengabadikan pertunjukkan tersebut dalam bit-bit data, karena semuanya telah tersimpan dalam tubuh saya. Demikian halnya pengalaman saya kemarin. Saya menjadi pejalan karena tak lagi memiliki niat mengunggah apa-apa yang saya temui di jalan ke media sosial. Saya menjadi pejalan karena merekam apa-apa yang ada di perjalanan ke dalam tubuh dan ingatan saya. Saya adalah pejalan karena tak lagi menganggap jarak sebagai penghalang. Jarak adalah tasbih antara saya dan Dia.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me