Skip to main content

Sepakbola Masa Kini

  Dulu nonton sepakbola itu bisa terlihat gaya masing-masing negara. Jerman cenderung seradak-seruduk seperti tank panzer, Itali agak flamboyan, manipulatif, dan pragmatis, sementara Inggris terkenal dengan umpan-umpan panjang. Sejak era Guardiola di Barcelona sekitar tahun 2008-an, tim-tim lain mulai mengadopsi gaya serupa, yang membuat Spanyol berjaya di tahun-tahun yang sama. Hingga akhirnya sekarang, kita menyaksikan bagaimana Euro 2024 hampir semua tim menerapkan "gaya Guardiola".  Dalam Youtube Shorts, eks gelandang Bayern Muenchen dan Manchester United, Bastian Schweinsteiger pernah agak keberatan tentang penyebaran "gaya Guardiola" ini. Katanya, waktu Pep membesut Muenchen, timnya itu menjadi kehilangan gen-nya. Permainannya bagus, tapi tidak seperti Muenchen yang biasanya. Jadi, apa itu "Gaya Guardiola"? Kita lihat, hampir semua tim di Euro 2024 bermain dengan gaya serupa:  Kiper dan bek tengah harus punya kemampuan menggiring bola dan memberi ope

Pejalan (2)

 


Setelah perjalanan bus kurang lebih tiga belas jam, saya tiba di kabupaten P2 sekitar pukul enam pagi. Jarak ke lokasi ternyata masih cukup jauh sehingga saya memutuskan untuk ngopi-ngopi di sebuah warung. Saya ngobrol dengan warga lokal sambil menyantap makanan khas di sana. Kesan saya, warga lokal ini sangat ramah dan senang sekali bercerita. Saya akhirnya diminta naik becak ke lokasi sambil menikmati pemandangan sawah dan menghirup udara segar. Sungguh lingkungan yang nyaman, jauh dari hiruk pikuk perkotaan beserta segala konfliknya yang kadang dibuat-buat saja. 

Lokasi yang akan saya kunjungi adalah sebuah pesantren. Tempat yang tidak pernah akrab bagi saya, meskipun punya beberapa teman yang berasal dari lingkungan tersebut. Saya diundang oleh orang penting di pesantren itu, atau bisa dikatakan juga semacam pimpinannya. Mungkin pimpinan ini juga ada banyak dan berhierarki, tapi yang pasti orang tersebut, yang berikutnya saya sebut saja sebagai Guru, adalah salah satu yang berpengaruh.

Di kediaman Guru yang masih di lingkungan pesantren, jangan ditanya lagi, saya diajak untuk beribadah secara rutin dengan waktu istirahat yang bisa dikatakan sedikit untuk ukuran saya. Saya memang orang yang selama ini sangat malas beribadah, bahkan untuk ibadah yang wajib bagi seorang Muslim. Sementara di tempat ini, saya tidak hanya didorong untuk menjalankan solat lima waktu, melainkan juga solat malam, zikir, dan berdoa di waktu-waktu khusus. 

Saya tidak bisa melupakan momen ini: Guru mengajak saya untuk merenung, berdua saja, sekitar pukul 21, dengan lampu digelapkan supaya khusyu. Saya diajarkan berzikir, dengan bacaan-bacaan yang sebenarnya sudah sangat umum, tetapi diminta untuk merenungkan kembali maknanya, dibenarkan cara bacanya, dan ditanamkan bagaimana cara menghayatinya. Saya ingat pesan-pesan Guru saat momen ngobrol agak bebas:

"Keimanan harus lebih besar dari ilmu, ilmu harus lebih besar dari kehidupan, kehidupan harus lebih besar dari diri, diri itulah harus yang paling kecil."

Pernyataan Guru tersebut menyentak saya. Selama ini saya memposisikan itu semua nyaris sebaliknya: diri menjadi yang paling besar, sementara iman malah yang paling kecil. Lalu saat membicarakan perihal filsafat, katanya begini:

"Kita tidak selalu memerlukan pisau, kadang kita hanya perlu piring, sendok, gelas."

Simbolik, tapi saya paham maksudnya. Momen itu begitu berkesan. Seseorang yang begitu sibuk dengan urusan pesantrennya, mau meluangkan waktu berdua saja dengan saya, si pejalan yang tersesat. Untuk pertama kalinya saya merasa tak harus untuk mempertanyakan semua: ikuti saja, patuhi saja, dengan penuh rasa hormat, atas apa yang diucapkan Guru. Saya pernah begitu dekat dengan agama, sekitar masa-masa SMP hingga kuliah, sebelum kemudian menjauh selama belasan tahun, hingga akhirnya didekatkan kembali lewat Guru yang menggali kembali pemahaman-pemahaman saya secara mendasar. Ternyata ketahuan, saya tak paham apa-apa. Jangankan keilmuan, iman saja saya tak punya.

Maka momen itu menjadi momen kembali. Segala kehancuran telah membuka jalan untuk bertasbih kepada-Nya. Saya harap Dia mau menerima, pertaubatan seorang pejalan yang tertatih-tatih, bergelimang dosa, untuk menuju kepada-Nya. 

Dua malam saja saya di sana, karena harus pulang demi sebuah urusan di Jakarta. Dua malam yang menenangkan batin, mungkin mengubah hidup saya selama-lamanya.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me