Setelah perjalanan bus kurang lebih tiga belas jam, saya tiba di kabupaten P2 sekitar pukul enam pagi. Jarak ke lokasi ternyata masih cukup jauh sehingga saya memutuskan untuk ngopi-ngopi di sebuah warung. Saya ngobrol dengan warga lokal sambil menyantap makanan khas di sana. Kesan saya, warga lokal ini sangat ramah dan senang sekali bercerita. Saya akhirnya diminta naik becak ke lokasi sambil menikmati pemandangan sawah dan menghirup udara segar. Sungguh lingkungan yang nyaman, jauh dari hiruk pikuk perkotaan beserta segala konfliknya yang kadang dibuat-buat saja.
Lokasi yang akan saya kunjungi adalah sebuah pesantren. Tempat yang tidak pernah akrab bagi saya, meskipun punya beberapa teman yang berasal dari lingkungan tersebut. Saya diundang oleh orang penting di pesantren itu, atau bisa dikatakan juga semacam pimpinannya. Mungkin pimpinan ini juga ada banyak dan berhierarki, tapi yang pasti orang tersebut, yang berikutnya saya sebut saja sebagai Guru, adalah salah satu yang berpengaruh.
Di kediaman Guru yang masih di lingkungan pesantren, jangan ditanya lagi, saya diajak untuk beribadah secara rutin dengan waktu istirahat yang bisa dikatakan sedikit untuk ukuran saya. Saya memang orang yang selama ini sangat malas beribadah, bahkan untuk ibadah yang wajib bagi seorang Muslim. Sementara di tempat ini, saya tidak hanya didorong untuk menjalankan solat lima waktu, melainkan juga solat malam, zikir, dan berdoa di waktu-waktu khusus.
Saya tidak bisa melupakan momen ini: Guru mengajak saya untuk merenung, berdua saja, sekitar pukul 21, dengan lampu digelapkan supaya khusyu. Saya diajarkan berzikir, dengan bacaan-bacaan yang sebenarnya sudah sangat umum, tetapi diminta untuk merenungkan kembali maknanya, dibenarkan cara bacanya, dan ditanamkan bagaimana cara menghayatinya. Saya ingat pesan-pesan Guru saat momen ngobrol agak bebas:
"Keimanan harus lebih besar dari ilmu, ilmu harus lebih besar dari kehidupan, kehidupan harus lebih besar dari diri, diri itulah harus yang paling kecil."
Pernyataan Guru tersebut menyentak saya. Selama ini saya memposisikan itu semua nyaris sebaliknya: diri menjadi yang paling besar, sementara iman malah yang paling kecil. Lalu saat membicarakan perihal filsafat, katanya begini:
"Kita tidak selalu memerlukan pisau, kadang kita hanya perlu piring, sendok, gelas."
Simbolik, tapi saya paham maksudnya. Momen itu begitu berkesan. Seseorang yang begitu sibuk dengan urusan pesantrennya, mau meluangkan waktu berdua saja dengan saya, si pejalan yang tersesat. Untuk pertama kalinya saya merasa tak harus untuk mempertanyakan semua: ikuti saja, patuhi saja, dengan penuh rasa hormat, atas apa yang diucapkan Guru. Saya pernah begitu dekat dengan agama, sekitar masa-masa SMP hingga kuliah, sebelum kemudian menjauh selama belasan tahun, hingga akhirnya didekatkan kembali lewat Guru yang menggali kembali pemahaman-pemahaman saya secara mendasar. Ternyata ketahuan, saya tak paham apa-apa. Jangankan keilmuan, iman saja saya tak punya.
Maka momen itu menjadi momen kembali. Segala kehancuran telah membuka jalan untuk bertasbih kepada-Nya. Saya harap Dia mau menerima, pertaubatan seorang pejalan yang tertatih-tatih, bergelimang dosa, untuk menuju kepada-Nya.
Dua malam saja saya di sana, karena harus pulang demi sebuah urusan di Jakarta. Dua malam yang menenangkan batin, mungkin mengubah hidup saya selama-lamanya.
Comments
Post a Comment