Suatu sore, seorang kawan menelpon, katanya datang saja ke kota P1. Saya tanya, apakah datang saja, atau menginap beberapa hari, atau bagaimana? Katanya, tinggal di sini saja, untuk waktu yang tidak ditentukan. Saya kaget mendengar tawaran tersebut, tapi juga sekaligus memikirkannya. Bagi saya yang seumur hidup tinggal di kota B1, pindah ke kota lain bukanlah sesuatu yang mudah. Meski demikian, saya lumayan mempertimbangkan, meski entah kapan akan berangkat dan tinggal di sana.
Hampir di waktu bersamaan, saya mengirim pesan pada seseorang yang nomornya saya dapat di internet. Intinya, saya bertanya apakah ada pekerjaan untuk saya? Dia menjawab ada. "Tapi," katanya, "Sebelum membahas soal pekerjaan, ikut yuk ke kota B2." Oh, ada apa? Tanya saya. Halaqah dzikir, katanya, pengajian tasawuf. Saya terkaget lagi. Saya tidak kenal siapa orang yang saya kirimi pesan tersebut, tetapi kenapa dia tiba-tiba ajak saya ke kota B2 untuk ikut pengajian? Menariknya, saya tidak pikir panjang, bahkan tidak tanya-tanya lagi soal pekerjaan (sebagaimana niat awal). Saya langsung ikut berangkat, naik mobil dia, bersama tiga orang lainnya, dan kami tiba di kota B2 setelah menempuh perjalanan sekitar empat jam.
Selama ini saya tidak pernah ikut pengajian, bahkan tidak pernah terpikirkan untuk mengikutinya. Ibadah reguler yang wajib-wajib saja saya tak pernah. Lalu tiba-tiba ada di suatu tempat, berisi orang-orang dengan gamis putih dan sorban putih dengan kuncup hijau. Saya juga mendengarkan ceramah singkat dari seorang Syech yang begitu dimuliakan oleh para jemaahnya. Setelah tausiyah dari Syech, jemaah berzikir selama sekitar satu jam. Saya ikutan juga dan memperhatikan diam-diam bagaimana orang lain berzikir. Sungguh menarik, melihat mereka berzikir begitu nikmat, menggoyangkan kepalanya, bahkan sampai "tenggelam". Oh, inilah tasawuf, yang kerap saya bicarakan, tuliskan tipis-tipis, tapi baru sekarang ada di dalam praktiknya!
Tengah malam, kami pulang. Semua orang yang berada dalam mobil itu, saya baru kenal pertama kali. Kami berbagi cerita dan pengalaman, termasuk pengalaman spiritual. Belakangan ini saya merasa dunia telah runtuh, tapi ternyata tidak juga. Ada beraneka macam dunia, dan dunia yang ini adalah dunia yang baru bagi saya. Singkat cerita, saya tiba lagi di kota B1 sekitar pukul empat subuh. Saya meneruskan naik gojek ke rumah sambil separuh tak percaya tentang apa yang baru saja dialami. Namun kejadian tersebut juga membuat saya memiliki keberanian untuk berangkat ke kota P1. Langsung di hari yang sama.
Siang harinya, saya berangkat ke kota P1 yang waktu tempuhnya hanya sekitar satu jam. Kawan itu memiliki sekolah musik dan saya diminta untuk tidur di sana saja, bersama dua orang lainnya, satu adalah semacam penunggu, satu lagi adalah guru musik yang memang sedang menginap. Saya tidur di ruangan les musik, bersama drum dan keyboard. Meski "tak biasa", saya merasakan kekhusyuan yang aneh: mungkin saya bersama dua orang saja di tempat itu, tetapi dua orang itu lebih dari cukup. Saya merasa selama ini terjebak dalam ilusi kuantitas, tentang orang banyak, tentang pencapaian-pencapaian yang diukur secara hitung-hitungan angka (makin besar angkanya, makin hebat). Namun bersama dua orang di sekolah musik itu, saya bisa main PES sambil tertawa, memutar musik sesuka hati, dibikinkan indomie, dan disediakan selimut tebal supaya bisa tidur di ruang ber-AC. Maka nikmat Tuhan mana yang engkau dustakan?
Ternyata saya tak bisa berlama-lama di kota P1. Saya hanya tidur semalam, tetapi berjanji untuk kembali dan tinggal lebih lama. Alasannya, ada seseorang yang kirim pesan pada saya, untuk datang ke tempatnya, ke kabupaten P2. Ajakan ini bikin saya semakin kaget, karena orangnya begitu tak disangka-sangka, dan jarak P2 ini bukan main-main, yakni mesti ditempuh dalam durasi tiga belas jam. Saya lagi-lagi tak berpikir panjang untuk mengiyakan, meski kunjungan ini juga kemungkinan singkat saja. Saya pergi naik bus dari kota P1 ke kabupaten P2. Bus yang sangat nyaman, bisa tidur lelap sepanjang jalan.
Di waktu subuh, saya terbangun. Cek google maps, ternyata tiga puluh menit lagi saya sampai ke kabupaten P2. Saya mulai merenungkan mengapa saya berada di tempat sejauh ini dan segalanya berlangsung cepat sekali. Mengapa saya langsung mengiyakan saja tanpa banyak memikirkan ini itu? Keadaan uang pun sangat terbatas dan bahkan bingung bagaimana bisa hidup di waktu-waktu ke depan. Bisa jadi justru itulah jawabannya: saya bingung bagaimana bisa hidup di waktu-waktu ke depan, maka saya mesti pergi. Menjalani suatu perjalanan yang tak cuma dijelajahi lewat pikiran, tapi dijalani sekalian oleh tubuh.
Saya harus menjadi pejalan, berpindah tempat untuk singgah entah di mana, entah untuk apa, tapi saya membiarkan diri ini "tersesat", mungkin demi menemukan jawaban yang selama ini dicari-cari. Jawaban yang tak sanggup disediakan oleh filosofi.
Comments
Post a Comment