Skip to main content

Sepakbola Masa Kini

  Dulu nonton sepakbola itu bisa terlihat gaya masing-masing negara. Jerman cenderung seradak-seruduk seperti tank panzer, Itali agak flamboyan, manipulatif, dan pragmatis, sementara Inggris terkenal dengan umpan-umpan panjang. Sejak era Guardiola di Barcelona sekitar tahun 2008-an, tim-tim lain mulai mengadopsi gaya serupa, yang membuat Spanyol berjaya di tahun-tahun yang sama. Hingga akhirnya sekarang, kita menyaksikan bagaimana Euro 2024 hampir semua tim menerapkan "gaya Guardiola".  Dalam Youtube Shorts, eks gelandang Bayern Muenchen dan Manchester United, Bastian Schweinsteiger pernah agak keberatan tentang penyebaran "gaya Guardiola" ini. Katanya, waktu Pep membesut Muenchen, timnya itu menjadi kehilangan gen-nya. Permainannya bagus, tapi tidak seperti Muenchen yang biasanya. Jadi, apa itu "Gaya Guardiola"? Kita lihat, hampir semua tim di Euro 2024 bermain dengan gaya serupa:  Kiper dan bek tengah harus punya kemampuan menggiring bola dan memberi ope

Kucing dan Zen

 

 


Kata Eckhart Tolle, dia pernah tinggal dengan sejumlah guru Zen, semuanya adalah kucing. Terdengar berlebihan, tapi ternyata saya merasakan kebenaran kata-kata Tolle tersebut belakangan ini. Saya memang suka kucing dari dulu, tetapi pikiran saya tentang kucing waktu itu seringkali berbau antroposentris dan cenderung motivasional. Saya menganggap hidup mereka membosankan, kekurangan tantangan dan pencapaian. Mereka hanya makan, tidur, sesekali kawin dan lebih banyak berantem. Lebih buruknya, berbeda dengan anjing, yang setia mendampingi dan membantu manusia dalam banyak hal, kucing kerap dituding sebagai "bos yang pemalas". Mereka tak bisa diatur, tak bisa benar-benar dimiliki, dan mencoba sekuat tenaga supaya keinginan mereka terpenuhi. 

Di hari-hari belakangan, ketika hidup saya mengalami banyak perubahan, saya menjadi lebih sering mengamati kucing saya, Niko. Saya menjadi hampir seritme dengannya: setiap hari hanya makan, tiduran, bengong. Bedanya, saya masih ada kegiatan seperti menulis dan bepergian agak jauh. Pada saat kegiatan-kegiatan tersebut sedang tidak ada, saya banyak belajar dari Niko, tentang bagaimana menghidupi masa sekarang, menikmati apa yang tersaji di hadapan. Saat sedang tidur, tidurlah sepenuh hati, tanpa perlu memikirkan beban pikiran, apa yang terjadi di masa yang akan datang, atau apa yang telah berlalu. Saat sedang makan, makan saja, tak banyak merenungkan hal-hal lain, apalagi filsafat. 

Niko bisa hanya duduk, memandangi jalanan nyaris seharian, sambil sesekali menjilat bagian tubuhnya atau merespons suara di sekitar dengan hanya menengok sesaat. Hanya itu yang dilakukannya, berulang-ulang, tanpa mungkin terpikirkan, "Mau jadi kucing apa saya nantinya jika terus bermalas-malasan?" Tapi pertanyaan semacam itu hanya ada dalam semesta manusia. Konsep "malas" hanya mungkin jika dikaitkan dengan produktivitas. Sama halnya dengan kucing yang kerap berbaring sembarangan di dalam rumah (seperti di dalam lemari atau menghalangi jalan), konsep "sembarangan" ada karena dikaitkan dengan konsep ketertiban dalam kepala manusia. 

Dalam semesta seekor kucing, mungkin konsep produktivitas dan ketertiban itu tak benar-benar eksis. Semuanya fana, melebur. Sama halnya dengan nama mereka sendiri, Niko, misalnya, yang saya sematkan, tapi dia sendiri tak melekat dengan nama itu. Nama begitu penting bagi manusia, karena termasuk di dalamnya: segala kediriannya, termasuk narasi hidupnya. Niko mungkin tak sadar dirinya adalah Niko. Dia tahu dirinya kucing, tapi apakah dia itu Niko atau Mengski, baginya tak penting. Tak ada yang melekat pada nama-nama itu. Dengan demikian, apa yang biasa melekat pada nama-nama, seperti memori atau identitas, bisa jadi tak berlaku bagi kucing.

Rasanya itulah yang dihayati melalui Zen. Konsep dosa, misalnya, melekat pada identitas (bayangkan saat kita dihisab di akhirat [jika percaya], yang dipanggil adalah nama kita, tempat segala dosa dan pahala akan dihitung). Alih-alih memikirkan cara menghapus dosa, lebih baik fokus pada penghancuran identitas. Alih-alih fokus pada cara membersihkan debu, lebih baik hilangkan kaca atau lemari-lemari, tempat debu itu menempel. Aku bukanlah namaku, karena nama hanyalah konstruksi semiotik. Niko adalah konstruksi semiotik. Kucing itu bukan Niko, melainkan kucing yang dalam semestanya tak dijejali banyak konsep, kecuali kehadiran penuh atas apa yang sedang terjadi di hadapan. Itulah Zen.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me