Kata Eckhart Tolle, dia pernah tinggal dengan sejumlah guru Zen, semuanya adalah kucing. Terdengar berlebihan, tapi ternyata saya merasakan kebenaran kata-kata Tolle tersebut belakangan ini. Saya memang suka kucing dari dulu, tetapi pikiran saya tentang kucing waktu itu seringkali berbau antroposentris dan cenderung motivasional. Saya menganggap hidup mereka membosankan, kekurangan tantangan dan pencapaian. Mereka hanya makan, tidur, sesekali kawin dan lebih banyak berantem. Lebih buruknya, berbeda dengan anjing, yang setia mendampingi dan membantu manusia dalam banyak hal, kucing kerap dituding sebagai "bos yang pemalas". Mereka tak bisa diatur, tak bisa benar-benar dimiliki, dan mencoba sekuat tenaga supaya keinginan mereka terpenuhi.
Di hari-hari belakangan, ketika hidup saya mengalami banyak perubahan, saya menjadi lebih sering mengamati kucing saya, Niko. Saya menjadi hampir seritme dengannya: setiap hari hanya makan, tiduran, bengong. Bedanya, saya masih ada kegiatan seperti menulis dan bepergian agak jauh. Pada saat kegiatan-kegiatan tersebut sedang tidak ada, saya banyak belajar dari Niko, tentang bagaimana menghidupi masa sekarang, menikmati apa yang tersaji di hadapan. Saat sedang tidur, tidurlah sepenuh hati, tanpa perlu memikirkan beban pikiran, apa yang terjadi di masa yang akan datang, atau apa yang telah berlalu. Saat sedang makan, makan saja, tak banyak merenungkan hal-hal lain, apalagi filsafat.
Niko bisa hanya duduk, memandangi jalanan nyaris seharian, sambil sesekali menjilat bagian tubuhnya atau merespons suara di sekitar dengan hanya menengok sesaat. Hanya itu yang dilakukannya, berulang-ulang, tanpa mungkin terpikirkan, "Mau jadi kucing apa saya nantinya jika terus bermalas-malasan?" Tapi pertanyaan semacam itu hanya ada dalam semesta manusia. Konsep "malas" hanya mungkin jika dikaitkan dengan produktivitas. Sama halnya dengan kucing yang kerap berbaring sembarangan di dalam rumah (seperti di dalam lemari atau menghalangi jalan), konsep "sembarangan" ada karena dikaitkan dengan konsep ketertiban dalam kepala manusia.
Dalam semesta seekor kucing, mungkin konsep produktivitas dan ketertiban itu tak benar-benar eksis. Semuanya fana, melebur. Sama halnya dengan nama mereka sendiri, Niko, misalnya, yang saya sematkan, tapi dia sendiri tak melekat dengan nama itu. Nama begitu penting bagi manusia, karena termasuk di dalamnya: segala kediriannya, termasuk narasi hidupnya. Niko mungkin tak sadar dirinya adalah Niko. Dia tahu dirinya kucing, tapi apakah dia itu Niko atau Mengski, baginya tak penting. Tak ada yang melekat pada nama-nama itu. Dengan demikian, apa yang biasa melekat pada nama-nama, seperti memori atau identitas, bisa jadi tak berlaku bagi kucing.
Rasanya itulah yang dihayati melalui Zen. Konsep dosa, misalnya, melekat pada identitas (bayangkan saat kita dihisab di akhirat [jika percaya], yang dipanggil adalah nama kita, tempat segala dosa dan pahala akan dihitung). Alih-alih memikirkan cara menghapus dosa, lebih baik fokus pada penghancuran identitas. Alih-alih fokus pada cara membersihkan debu, lebih baik hilangkan kaca atau lemari-lemari, tempat debu itu menempel. Aku bukanlah namaku, karena nama hanyalah konstruksi semiotik. Niko adalah konstruksi semiotik. Kucing itu bukan Niko, melainkan kucing yang dalam semestanya tak dijejali banyak konsep, kecuali kehadiran penuh atas apa yang sedang terjadi di hadapan. Itulah Zen.
Comments
Post a Comment