Ini adalah pertemuan saya dengan Piala Eropa kesekian setelah pertama kali menontonnya tahun 1996. Sejak Euro '96 di Inggris hingga Euro edisi kali ini di Jerman, saya tak pernah putus mendukung Itali. Seperti halnya keputusan siapapun dalam memilih tim sepakbola kesayangannya (di luar tim dari kota kelahiran atau tempat tinggal), alasannya seringkali tidak rasional, nyaris seperti jatuh cinta untuk pertama kali. Saya suka Itali karena suka saja. Padahal di Euro '96 itu, Itali gagal lolos dari fase grup setelah mendapat hasil imbang dengan Jerman. Saya menonton langsung di televisi momen Gianfranco Zola gagal mengeksekusi penalti. Padahal penalti tersebut, jika gol, bisa saja membuat Itali melenggang ke perempat final. Itali tersingkir, tetapi saya memilih untuk mendukung Itali. Padahal bisa saja saya mendukung Jerman, tim yang menjadi juara Euro '96 pada akhirnya. Tapi ternyata tidak, entah kenapa.
Banyak pemain yang saya tidak tahu di timnas Itali tahun ini. Selain memang intensitas saya menonton sepakbola semakin berkurang, saya juga terjebak pada romantisisme Itali di masa silam. Saya selalu punya waktu khusus mengenang Piala Dunia 2006, ketika Itali menjuarainya dengan para pemain seperti Pirlo, Totti, Del Piero, Cannavaro, dan Buffon. Mereka adalah pemain bintang, dilahirkan oleh Serie A yang pada masa itu memang tergolong liga top (tidak seperti sekarang yang gemerlapnya berkurang). Saya sekaligus bertanya-tanya, apakah memang Pirlo dan kawan-kawan itu berada pada kualitas yang lebih tinggi dari tim asuhan Spalletti tahun ini, atau cuma perasaan saya saja yang enggan move on?
Lebih mudah memang untuk menuding ini semua hanya tentang perasaan pribadi saja, seperti halnya orang-orang yang kerap mengagungkan masanya dulu sebagai masa yang lebih baik ketimbang masa sekarang yang dihidupi oleh generasi berikutnya. "Sekarang anak-anak lembek-lembek yah, lihat zaman saya dulu, ospek keras banget, kita semua harus berjuang di hutan sambil dimarah-marahin," begitu biasanya nada khas romantisisme dari seseorang yang terjebak di masa silam.
Meski begitu, dalam konteks sepakbola, saya mencoba untuk berargumen bahwa ini bukan sekadar romantisisme. Alasannya, pertama, dalam permainan sepakbola masa kini, terutama sejak perubahan besar-besaran yang dipengaruhi oleh Pep Guardiola, kemampuan individu pemain tak lagi mendapat tempat istimewa. Dulu kita mempunyai pemain-pemain "nomor 10" seperti Maradona, Zidane, Totti, Hagi, yang seolah-olah dapat mengubah keadaan sendirian. Sepakbola pernah memberi tempat bagi para pemain tertentu untuk beratraksi secara individu. Sekarang ini rasanya kurang, sepakbola adalah perkara oper-operan cepat. Menggiring bola terlalu lama seorang diri bisa menjadi "kejahatan" bagi taktik masa kini. Itu sebabnya, agak jarang melihat pemain semenjulang Zidane dan sejenisnya. Messi dan Ronaldo mungkin adalah spesies terakhir dari tipe bintang individual.
Di tim Itali sekarang misalnya, kita tidak melihat pemain nomor 10 sebagai pemain paling kreatif dan istimewa. Orang seperti Lorenzo Pellegrini jelas tidak bisa, atau setidaknya belum bisa, disamakan dengan bintang seperti Totti, Del Piero, atau Pirlo. Selain itu, mutunya juga memang bukan diarahkan ke sana. Pellegrini adalah pemain nomor 10 yang bukan pemain nomor 10. Fungsinya mirip-mirip saja dengan yang lain secara tim. Tidak ada peran khusus bernama Fantasista yang dibebankan kepadanya. Kita bisa ambil contoh pemain nomor 10 di Inggris sekarang yakni Jude Bellingham. Meski memang dia adalah seorang pemain bintang, tetapi bebannya sangat berbeda dengan pemain nomor 10 di Inggris dulu seperti Paul Gascoigne.
Bahkan kita bisa katakan, penomoran hari ini lebih dekat pada penomoran zaman-zaman ketika nomor punggung tim yang berlaga masih diurutkan berdasarkan angka 1-11 tanpa mengacu siapa yang harus mengenakan nomor khusus. Nomor 10 hanya sekadar disematkan berdasarkan urutan, bukan karena ia adalah pemain yang lebih istimewa. Seseorang bisa mengenakan nomor 10 di laga pertama, tapi kemudian menjadi nomor 8 di laga berikutnya karena sekali lagi, ukurannya bukan "keistimewaan", melainkan keharusan untuk mengenakan angka di punggung sesuai urutan. Baca-baca di Wikipedia, baru sekitar tahun 1993 di Inggris diterapkan peraturan bahwa setiap pemain harus mengenakan nomor yang tetap sepanjang musim.
Alasan kedua, soal media. Meski siaran langsung sepakbola di televisi sudah lumrah ditayangkan dari sebelum saya lahir, tetapi rasanya sukar ditampik bahwa siaran langsung ini mulai ramai ketika awal mula kemunculan Premier League Inggris tahun 1992. Komersialisasi media dalam menayangkan Premier League membuat liga tersebut dengan cepat menyaingi pamor Serie A, La Liga, dan Bundesliga. Bukan semata-mata perkara kualitas pemain, tetapi lebih pada mutu kemasannya. Para pemain dari liga lain tertarik untuk berlaga di Premier League karena lampu sorotnya yang lebih terang. Meski ini analisis abal-abal, tetapi kelihatannya akibat komersialisasi Premier League tersebut, liga-liga Eropa lain kemudian terdorong untuk meramaikan kompetisinya melalui tayangan televisi dan kemasan media secara lebih masif.
Ingatan masa kecil dan remaja saya diwarnai oleh aksi-aksi Henry, Bergkamp, Zidane, dan lainnya, tanpa disibukkan distraksi dari internet yang dimulai sejak tahun 2010-an di Indonesia. Keberadaan internet membuat informasi menjadi ramai, banyak pemain dipromosikan sehingga bingung mana sebenarnya pemain yang lebih menonjol. Dulu, jarang sekali pemain-pemain yang tidak terlalu menonjol seperti Gianluca Pessotto, Luigi di Biagio, atau Stefano Fiore dijadikan konsumsi media. Sekarang bahkan kita bisa menikmati skill dari pemain-pemain manapun, dikemas dalam highlight seolah-olah mereka adalah pemain bintang. Dengan demikian tampak wajar jika para pemain Itali tahun 2006 kelihatan menjulang selain karena sistem sepakbolanya memberi tempat bagi pemain individual untuk mengubah keadaan sendirian, juga didorong oleh kondisi media yang memang menyoroti para pemain tertentu sebagai pusat perhatian. Atau, yah, ternyata benar, ini semua cuma romantisisme saja.
Comments
Post a Comment