Skip to main content

Dari Proksi ke Proksi

  Ya, saya pernah menggunakan Tinder, tetapi tidak pernah lama dan tidak pernah tuntas. Saya hanya pakai sebentar, lihat-lihat, lalu ketika disuruh bayar saya biasanya malas melanjutkan. Pernah satu kali coba bayar, berkenalan dengan beberapa orang, tetapi tidak sampai ketemuan. Beberapa diantaranya malah mencurigakan. Misalnya, ada yang langsung ngajak nonton bioskop lalu minta saya membayarkan tiketnya ke rekening Dana miliknya. Tidak besar memang, cuma tiga puluh ribuan, tetapi tetap saja aneh. Lainnya, ada yang langsung minta dibelikan kuota atau ada juga yang langsung curhat mendalam tanpa ada basa basi sama sekali (seolah-olah berusaha membangkitkan belas kasih). Akhirnya saya uninstall aplikasi tersebut dan kelihatannya tak tertarik lagi untuk menggunakannya.  Lalu saya baru saja selesai nonton The Tinder Swindler (2022) di Netflix, film dokumenter tentang penipuan berkedok kencan daring yang menjerat banyak korban hingga puluhan juta Dollar. Modus laki-laki bernama Simon Levi

Alasan Mengapa Inglourious Basterds adalah Film yang Sangat Keren

Inglourious Basterds adalah film tahun 2009 berlatar Perang Dunia II yang disutradarai dan ceritanya ditulis oleh Quentin Tarantino. Saya adalah penggemar film-film Tarantino, tetapi hanya Basterds yang membuat saya bisa berkali-kali menonton klip-klipnya karena demikian kagum dengan karyanya yang satu ini. Pertama, tentu saja, karena tokoh Hans Landa yang diperankan secara brilian oleh Christoph Waltz. Landa adalah Kolonel SS yang dikenal karena kemampuannya dalam mengetahui segala informasi terkait orang-orang Yahudi yang diburu oleh Nazi. Selain skill multibahasanya yang mengagumkan (dalam Basterds, Landa diperlihatkan mampu berbicara bahasa Jerman, Inggris, Itali, dan Prancis), Landa juga mampu membangun percakapan yang ramah dan intimidatif sekaligus. Adegan pembuka dalam Basterds memperlihatkan pesona akting Waltz yang membuat kita merasakan ketegangan dalam setiap gerakan, perubahan mimik, dan intonasi yang diperagakan oleh Landa. 

Kepiawaian Tarantino dalam menyutradarai juga turut menciptakan suspens serius dalam penampilan Landa. Misalnya, saat Landa berbincang dengan Emmanuele Mimieux (nama lain dari Shosanna) di meja makan (adegan strudel), terlihat bahwa alur pembicaraan seringkali diinterupsi oleh kedatangan pelayan sehingga ketegangannya justru terasa lebih alamiah. Landa juga kelihatannya digambarkan sebagai Nazi yang keji justru bukan dari penampilan yang seram, melainkan justru dari kesopanan dan kepintaran, yang dalam titik tertentu malah menunjukkan kesan psikopat. 

Kedua, kemampuan membangun percakapan lagi-lagi menjadi kekuatan Tarantino yang memang selalu ditampakkan dalam setiap filmnya. Percakapan dibuat sealamiah mungkin, seperti kita biasa ngobrol diselipi basa-basi, justru supaya setiap konflik yang muncul terasa mengejutkan, seperti keributan yang tiba-tiba hadir di tengah "kehidupan apa adanya". Misalnya, dalam adegan tembak-tembakan di bar, semuanya diawali dari kehidupan biasa-biasa: ada prajurit Jerman yang sedang merayakan kelahiran anak pertamanya, sambil minum bir, lalu ada meja lain yang sedang main kartu. Semua dibuat menyenangkan dengan humor yang asik. Tak ada yang mengira bahwa logat bicara mata-mata Basterds, Letnan Archie Hicox, kemudian menimbulkan kecurigaan bagi Sturmbannführer Dieter Hellstrom. Setelah kecurigaan itu muncul, mereka melanjutkan main kartu dan lagi-lagi Tarantino menghanyutkan kita pada suatu percakapan yang asyik, sebelum kita tahu, diakhiri oleh tragedi "angka tiga" yang berujung pada mexican standoff (ini juga khas Tarantino yang diadopsinya dari film-film Spaghetti Western). 

Ketiga, jangan ragukan kemampuan Tarantino dalam teknik pengambilan gambar. Beberapa adegan begitu berkesan bagi saya karena memperlihatkan skill Tarantino dalam montage dan mise en scène seperti misalnya: zoom in pada perubahan raut muka Landa di adegan pembuka bersama petani bernama Perrier LaPadite; gerakan kamera yang berpindah dari orang ke orang tanpa ada perubahan adegan pada saat Letnan Aldo Reine mengintegorasi tentara Jerman dengan bantuan penerjemah Wilhelm Wicki; kamera yang berputar saat "adegan Itali", tepatnya saat Landa ngobrol dengan Bridget von Hammersmark; visual memikat yang memperlihatkan Shosanna Dreyfus pada awal Chapter Five; momen penembakan yang dilakukan Omar dan Donowitz terhadap Hitler di bioskop dengan kamera yang bergerak cepat seolah-olah kamera itu sendiri sudah "tidak sabar" untuk mengeksekusi sang Führer; dan banyak lainnya, yang membuat saya tak pernah bosan mengulang-ulang klip adegan dari Basterds.  

(Paragraf ini mengandung spoiler yang agak berat) Keempat, secara keseluruhan, cerita dalam Basterds yang ditulis oleh Tarantino juga sangat absurd. Bayangkan, Tarantino membuat versi alternatif kematian Hitler yang bukan di bunker, melainkan di bioskop! Tarantino juga tidak menjadikan sosok tertentu sebagai pahlawan untuk bertahan hingga akhir cerita. Shosanna yang dizalimi dari awal pada akhirnya mati, sebagian besar Basterds yang sempat diglorifikasi juga mati, bahkan Sergeant Wilhelm yang kita dibuat bersimpati karena anaknya baru lahir pun mati. Malah Landa, yang begitu jahat, bertahan hingga akhir dengan hanya menyisakan luka di keningnya. Kita benar-benar disuguhi pikiran liar Tarantino tentang siapa yang mati dan siapa yang tetap hidup, seolah-olah hendak mengatakan: dalam perang, semua pihak mengalami kehancuran. Bahkan mereka yang tetap hidup pun, seperti Landa, punya luka yang akan selalu dibawa-bawa.

Terakhir, dan ini saya baru tahu, bahwa ada film berjudul Inglourious Bastards (bukan Basterds) yang dirilis tahun 1978. Basterds-nya Tarantino memang bukan remake dari Bastards yang disutradarai oleh Enzo G. Castellari.  Namun lagi-lagi kita bisa menemukan humor Tarantino di sini: Enzo G. Castellari memiliki nama lahir Enzo Girolami. Ya, membuat kita teringat adegan Itali di film Basterds: "Gorlooomiii."

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me