Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gram...

Alasan Mengapa Inglourious Basterds adalah Film yang Sangat Keren

Inglourious Basterds adalah film tahun 2009 berlatar Perang Dunia II yang disutradarai dan ceritanya ditulis oleh Quentin Tarantino. Saya adalah penggemar film-film Tarantino, tetapi hanya Basterds yang membuat saya bisa berkali-kali menonton klip-klipnya karena demikian kagum dengan karyanya yang satu ini. Pertama, tentu saja, karena tokoh Hans Landa yang diperankan secara brilian oleh Christoph Waltz. Landa adalah Kolonel SS yang dikenal karena kemampuannya dalam mengetahui segala informasi terkait orang-orang Yahudi yang diburu oleh Nazi. Selain skill multibahasanya yang mengagumkan (dalam Basterds, Landa diperlihatkan mampu berbicara bahasa Jerman, Inggris, Itali, dan Prancis), Landa juga mampu membangun percakapan yang ramah dan intimidatif sekaligus. Adegan pembuka dalam Basterds memperlihatkan pesona akting Waltz yang membuat kita merasakan ketegangan dalam setiap gerakan, perubahan mimik, dan intonasi yang diperagakan oleh Landa. 

Kepiawaian Tarantino dalam menyutradarai juga turut menciptakan suspens serius dalam penampilan Landa. Misalnya, saat Landa berbincang dengan Emmanuele Mimieux (nama lain dari Shosanna) di meja makan (adegan strudel), terlihat bahwa alur pembicaraan seringkali diinterupsi oleh kedatangan pelayan sehingga ketegangannya justru terasa lebih alamiah. Landa juga kelihatannya digambarkan sebagai Nazi yang keji justru bukan dari penampilan yang seram, melainkan justru dari kesopanan dan kepintaran, yang dalam titik tertentu malah menunjukkan kesan psikopat. 

Kedua, kemampuan membangun percakapan lagi-lagi menjadi kekuatan Tarantino yang memang selalu ditampakkan dalam setiap filmnya. Percakapan dibuat sealamiah mungkin, seperti kita biasa ngobrol diselipi basa-basi, justru supaya setiap konflik yang muncul terasa mengejutkan, seperti keributan yang tiba-tiba hadir di tengah "kehidupan apa adanya". Misalnya, dalam adegan tembak-tembakan di bar, semuanya diawali dari kehidupan biasa-biasa: ada prajurit Jerman yang sedang merayakan kelahiran anak pertamanya, sambil minum bir, lalu ada meja lain yang sedang main kartu. Semua dibuat menyenangkan dengan humor yang asik. Tak ada yang mengira bahwa logat bicara mata-mata Basterds, Letnan Archie Hicox, kemudian menimbulkan kecurigaan bagi Sturmbannführer Dieter Hellstrom. Setelah kecurigaan itu muncul, mereka melanjutkan main kartu dan lagi-lagi Tarantino menghanyutkan kita pada suatu percakapan yang asyik, sebelum kita tahu, diakhiri oleh tragedi "angka tiga" yang berujung pada mexican standoff (ini juga khas Tarantino yang diadopsinya dari film-film Spaghetti Western). 

Ketiga, jangan ragukan kemampuan Tarantino dalam teknik pengambilan gambar. Beberapa adegan begitu berkesan bagi saya karena memperlihatkan skill Tarantino dalam montage dan mise en scène seperti misalnya: zoom in pada perubahan raut muka Landa di adegan pembuka bersama petani bernama Perrier LaPadite; gerakan kamera yang berpindah dari orang ke orang tanpa ada perubahan adegan pada saat Letnan Aldo Reine mengintegorasi tentara Jerman dengan bantuan penerjemah Wilhelm Wicki; kamera yang berputar saat "adegan Itali", tepatnya saat Landa ngobrol dengan Bridget von Hammersmark; visual memikat yang memperlihatkan Shosanna Dreyfus pada awal Chapter Five; momen penembakan yang dilakukan Omar dan Donowitz terhadap Hitler di bioskop dengan kamera yang bergerak cepat seolah-olah kamera itu sendiri sudah "tidak sabar" untuk mengeksekusi sang Führer; dan banyak lainnya, yang membuat saya tak pernah bosan mengulang-ulang klip adegan dari Basterds.  

(Paragraf ini mengandung spoiler yang agak berat) Keempat, secara keseluruhan, cerita dalam Basterds yang ditulis oleh Tarantino juga sangat absurd. Bayangkan, Tarantino membuat versi alternatif kematian Hitler yang bukan di bunker, melainkan di bioskop! Tarantino juga tidak menjadikan sosok tertentu sebagai pahlawan untuk bertahan hingga akhir cerita. Shosanna yang dizalimi dari awal pada akhirnya mati, sebagian besar Basterds yang sempat diglorifikasi juga mati, bahkan Sergeant Wilhelm yang kita dibuat bersimpati karena anaknya baru lahir pun mati. Malah Landa, yang begitu jahat, bertahan hingga akhir dengan hanya menyisakan luka di keningnya. Kita benar-benar disuguhi pikiran liar Tarantino tentang siapa yang mati dan siapa yang tetap hidup, seolah-olah hendak mengatakan: dalam perang, semua pihak mengalami kehancuran. Bahkan mereka yang tetap hidup pun, seperti Landa, punya luka yang akan selalu dibawa-bawa.

Terakhir, dan ini saya baru tahu, bahwa ada film berjudul Inglourious Bastards (bukan Basterds) yang dirilis tahun 1978. Basterds-nya Tarantino memang bukan remake dari Bastards yang disutradarai oleh Enzo G. Castellari.  Namun lagi-lagi kita bisa menemukan humor Tarantino di sini: Enzo G. Castellari memiliki nama lahir Enzo Girolami. Ya, membuat kita teringat adegan Itali di film Basterds: "Gorlooomiii."

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...