Pada suatu dini hari aku terjaga. Di rumahku. Ada teman-teman menginap, tiga orang, mereka terlelap. Suasana saat itu sangat tenang. Bukan karena jam segitu memang jam-jam sepi, tapi ini perkara batin yang tenang. Aku merasakan rumah seperti di masa aku kecil. Damai. Aku merenung dalam-dalam, memikirkan peristiwa yang belakangan terjadi. Tak ada perasaan yang terlalu menggelisahkan. Semuanya itu datang dan pergi.
And when I awoke I was alone
This bird had flown
So I lit a fire
Isn't it good Norwegian wood?
Perpisahan dengan apapun memang sulit, tapi juga sekaligus simpel. Karena semua itu niscaya. Cepat atau lambat akan terjadi. Kita hanya berusaha sekuat tenaga agar perpisahan berlangsung pada momen yang pas, pada saat kita siap, pada saat kita pikir "sudah waktunya". Tapi hidup tak berjalan sesederhana itu. Perpisahan seringkali tak peduli "momen yang pas". Seringkali cara-caranya begitu kasar, merenggut begitu saja, ketika kita sedang tak siap, rapuh, dan bahkan dalam kondisi yang begitu buruk.
Perpisahan adalah sekaligus perjumpaan dengan yang lain. Aku berjumpa dengan diriku pada dini hari itu. Seseorang yang sebelumnya aku begitu asing, sampai-sampai tak sempat menyapanya. Aku tanya padanya, "Bagaimana perasaanmu?" Lalu diriku menjawab, "Yah, aku begini-begini saja." "Tapi bukankah, hidup tak pernah seaneh ini?" "Ya, hidup memang aneh, tapi sekaligus juga tidak aneh. Semuanya sudah begini adanya." "Apakah kau tak pusing dengan apa-apa yang telah pergi?" "Tak ada yang pernah benar-benar datang, tak ada yang pernah benar-benar pergi, itu kata Bang Iqbal." Dia bukan mengutip Sir Muhammad Iqbal, tapi Dien Fakhri Iqbal Marpaung, mungkin sebagian dari kalian tak kenal. Tapi sudahlah, percakapan kami tidak nyambung. Aku tak paham diriku itu berkata apa.
Aku kembali tidur, sembari mengulang-ngulang dzikir dari guruku: Allahummasturna Bisitrikal Jamil. Allahummasturna Bisitrikal Jamil. Allahummasturna Bisitrikal Jamil.
Comments
Post a Comment