Agak rumit juga ternyata menyatakan hal apa yang benar-benar menjadi milik kita. Locke di abad ke-17 menyatakan bahwa sesuatu dinyatakan sebagai milik pribadi dengan mengacu pada hasil kerja. Saya bekerja mendapatkan uang, uang tersebut saya belikan laptop, maka laptop itu menjadi milik saya. Selain itu, sesuatu menjadi dikatakan milik saya jika laptop tersebut dibeli atas hasil kerja orang lain, lalu diberikan pada saya secara sah (bukan hasil mencuri).
Problemnya tidak selesai sampai di situ. Jika memang hasil kerja menjadi acuan kepemilikan, bukankah yang mengerjakan laptop tersebut juga adalah sekaligus para buruh? Jika buruh yang mengerjakannya, mengapa bukan mereka saja yang memiliki laptop tersebut? Ironisnya, buruh-buruh yang mengerjakan laptop tersebut bisa jadi malah tidak mampu membelinya.
Meski menyisakan masalah hingga berabad-abad, sumbangsih Locke tetap penting untuk menemukan justifikasi kepemilikan pribadi. Tadinya, konsep tersebut tidak jelas karena segala kepemilikan mengacu pada tuan tanah atau para bangsawan. Rakyat jelata dipandang sebagai kaum yang "tak punya apa-apa" kecuali mengerjakan atau menggarap hal-hal yang dimiliki dan dikuasai oleh golongan yang lebih tinggi.
Konsep kepemilikan, utamanya kepemilikan individu, memang problematik, tetapi di sisi lain, kepemilikan bersama tanpa sekat juga tak kalah bermasalahnya. Meski kita bisa membayangkan suatu lahan yang digarap bersama untuk kepentingan bersama, tetap saja lahan tersebut mesti diklaim sebagai milik suatu kelompok, supaya kelompok di luarnya tidak bisa tiba-tiba nyelonong menggarap lahan itu.
Kolektivisme memang mungkin, tetapi membayangkan kolektivisme universal yang mencakup segala hal di dunia menjadi milik bersama adalah sesuatu yang utopis juga. Ibarat jargon dunia hari ini yang mengatakan bahwa kehidupan bermasyarakat tak lagi berkompetisi melainkan berkolaborasi, pada kenyataannya: kompetisi di antara pihak-pihak yang berkolaborasi.
Apa poin dari semua ini? Dulu saya agak aneh dengan dogma "harta tak dibawa mati". Bagaimana mungkin sesuatu yang telah kita kumpulkan dengan susah payah kemudian tak menjadi hitungan di kehidupan berikutnya jika memang jiwa ini abadi? Bukankah usaha-usaha menumpuk harta di dunia, yang menjadi hari-hari kita (mengalahkan ibadah spiritual), kemudian menjadi sia-sia?
Ternyata, setelah direnung-renungkan, poinnya bukan pada usahanya, melainkan pada status kepemilikan itu sendiri yang problematik. Meski tampak mudah untuk menyimpulkan bahwa ada barang atau segala sesuatu yang menjadi "milik saya", tetapi kenyataannya status kepemilikan tersebut punya banyak tafsir.
Buku yang kita beli, ditulis oleh pikiran orang lain, dijilid oleh percetakan, dijual di toko buku oleh penjual buku, dan sampai ke tangan kita dengan cara dibeli oleh uang yang berasal dari gaji kita. Tampak sederhana, tetapi tidak juga. Buku itu menjadi "milik saya" karena suatu versi saja yang menyimpulkan demikian. Kenyataannya, kita bisa perdebatkan versi lain, yang menyatakan bahwa buku tersebut bisa saja bukan milik saya seorang, tapi milik pihak-pihak lain juga (yang terlibat di dalamnya).
Saya berusaha untuk tidak melompat pada urusan spiritual, tetapi rupanya tak terhindarkan juga. Jika status kepemilikan kita dengan sendirinya problematik, maka memang jangan-jangan tak ada yang benar-benar kita punya. Hal yang kita anggap telah memilikinya, hasil jerih payah kita sendiri, bisa hilang dengan cara apapun, seperti diambil begitu saja, meski sudah ditahan-tahan sekuat tenaga.
Kita bisa menyatakan anak adalah milik kita, tapi anak itu bisa diambil kapan saja. Kita bisa menyatakan bahwa uang ini adalah milik kita, tapi uang itu bisa menguap tiba-tiba, oleh suatu keperluan yang tak disangka-sangka. Kita bisa mengklaim bahwa reputasi kita adalah hasil jerih payah kita, tapi begitu diambil, ya sudah, mungkin memang awalnya juga statusnya adalah pinjaman. Jika memang kita sudah sedari awal tak punya apa-apa, lalu mendapat pinjaman, dan pinjaman itu diambil lagi oleh yang punya, lantas, masalahnya di mana?
Comments
Post a Comment