Skip to main content

Kronologi dan Duduk Perkara Kasus SM

Pada tulisan ini, saya Syarif Maulana, akan menjabarkan kronologi selengkap-lengkapnya tentang segala proses berkaitan dengan kasus dugaan kekerasan seksual yang dituduhkan pada saya tanggal 9 Mei 2024 di media sosial X. Tuduhan tersebut menjadi viral dan menyebabkan saya dipecat dari berbagai institusi, tulisan-tulisan diturunkan dari berbagai media, buku-buku dicabut dari penerbitan, dan dikucilkan dari berbagai komunitas filsafat, termasuk komunitas yang saya bangun sendiri, Kelas Isolasi.  Penulisan kronologi ini dilakukan dalam rangka menjelaskan duduk perkara dan perkembangan kasus ini pada publik berdasarkan catatan dan dokumentasi yang saya kumpulkan.  Tuduhan kekerasan seksual (selanjutnya akan disingkat KS) kepada saya dimulai pada tanggal 9 Mei 2024, dipicu oleh cuitan dari akun @flutuarsujet yang menuliskan “... katanya dia pelaku KS waktu di Tel**m, korbannya ada lima orang …”. Kata “Tel**m” tersebut kemungkinan besar mengacu pada Telkom University, tempat saya bekerja seb

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

 

Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"? 

Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jerman, Austria, dan Swiss untuk tidak lagi mengizinkan ranah psikologi eksperimental masuk ke departemen filsafat: "(...) professorships of philosophy have been filled with men whose activity is to a great extent or exclusively dedicated to the experimental investigation of mental life. ... this situation has resulted in inconveniences for all concerned ... Especially philosophy, for which interest among students is steadily growing, is severely damaged by the removal of chairs dedicated to her alone" (Kusch, 1995: 191 - 192). 

Edmund Husserl dan Gottlob Frege adalah dua sosok yang sama-sama menyerang psikologisme, tetapi dengan argumen yang agak berbeda. Pendekatan Frege nantinya membuat ia dijuluki sebagai "the grandfather of analytical philosophy" (Dummett, 1993: 14) sementara Husserl, peletak dasar fenomenologi, ditunjuk sebagai pendiri filsafat "kontinental". Mengapa kata kontinental di sini diberi tanda kutip? Alasannya, menurut Michael Dummett, batasan filsafat analitik cukup jelas, diawali dari the linguistic turn yang membuat filsafat lebih mengarahkan fokusnya pada persoalan bahasa sementara filsafat kontinental cakupannya sangat luas, hampir seperti "segala sesuatu yang bukan filsafat analitik". Filsafat kontinental tentu juga membahas bahasa, tetapi tidak terpaku hanya pada bahasa, melainkan juga pada aspek-aspek di luarnya. 

Pertanyaan berikutnya, bagaimana perbedaan pendekatan Husserl dan Frege hingga bisa ditunjuk sebagai awal perpecahan kontinental dan analitik? Kita mulai dari Husserl dulu. Menariknya, Husserl berguru pada Franz Brentano, salah satu garda depan psikologisme masa itu dan salah satu tulisan Husserl, Philosophie der Arithmetik (1891), membela psikologisme dalam aritmatika. Lantas, bagaimana bisa Husserl, seorang yang pernah membela psikologisme, kemudian berubah haluan menjadi kritikusnya? Terdapat beberapa versi tentang ini. Versi Dagfin Føllesdal menuliskan bahwa perubahan Husserl terpantik serangan Frege terhadap Philosophie der Arithmetik yang begitu tepat sasaran sampai-sampai Husserl merasa "traumatik" (Solomon, 1976: 34). Versi Jitendra Nath Mohanty lain lagi. Mohanty menuliskan bahwa Husserl sudah berubah haluan dari sebelum menerima kritik dari Frege, tepatnya saat membaca Vorlesungen über die Algebra der Logik dari Ernst Schröder yang menjadi cikal bakal gagasan pokok Husserl dalam teks Logische Untersuchungen yang berisi serangan terhadap psikologisme. Terlepas dari versi mana yang benar, tidak dapat dipungkiri bahwa Husserl akhirnya berada dalam satu posisi dengan Frege untuk menyerang psikologisme, meski dengan cara yang agak berbeda. Jadi, apa serangan mereka terhadap psikologisme? Kita akan mulai dari Frege terlebih dahulu. 

Frege menyatakan bahwa hukum logika tidak ada sangkut pautnya dengan pandangan masing-masing orang (Vorstellungen) dan lebih tepat dikatakan sebagai pikiran objektif (Gedanken) (Vrahimis, 2013: 20). Frege mengacu pada Plato yang merumuskan Alam Ketiga (Third Realm), yakni alam tentang segala sesuatu yang tak berubah, abadi, dan sempurna, yang eksis secara terpisah dari dunia dan tampakannya. Bagi Frege, Alam Ketiga hanya bisa diakses melalui logika. Lewat prinsip tersebut, Frege menolak psikologisme yang menilai bahwa logika bisa direduksi pada semata-mata aspek mental (catatan: Frege tidak secara langsung menyebut istilah "psikologisme"). Sama halnya dengan Frege, Husserl juga berusaha membersihkan logika dari psikologisme. Bedanya, Husserl menempatkan logika sebagai disiplin yang digunakan untuk memahami sekaligus mengevaluasi beraneka macam sains, melacak kebenaran metodologis dari ilmu-ilmu dan menghindarkannya dari kekeliruan berpikir (Husserl, 2001: 20 - 21). 

Dengan peran logika sebagaimana dirumuskan oleh Husserl, hal-hal terkait konsep "proposisi", "nilai kebenaran", "konjungsi", "disjungsi", "kesatuan", "pluralitas", dan sebagainya, jelas bukan berasal dari mental. Seluruh konsep tersebut adalah "logika murni" yang disebut sebagai "entitas ideal tunggal" (Husserl, 2001: 59). Husserl mengajukan kritik bahwa dalam melakukan penilaian, psikologisme telah jatuh pada "metábasis eis állo génos" (perpindahan pada domain yang lain) (Gutland, 2018: 344), akibat ketiadaan basis a priori. Basis a priori ini, menurut Husserl, hanya bisa disediakan oleh logika. Lantas, di sebelah mana beda antara Frege dan Husserl, jika keduanya sama-sama membela kemurnian logika dari aspek mental? 

Sebelum masuk pada perbedaan di wilayah pemikiran, analisis Vrahimis (2013) memperlihatkan bahwa faktor sejarah dan geografis tidak bisa dilepaskan dari pertentangan analitik dan kontinental. Kenyataannya, karya Husserl banyak tersebar di wilayah Eropa dan menuai berbagai macam reaksi. Sebaliknya, pemikiran Frege tdk banyak menerima komentar pada masanya, bahkan dianggap tidak terlalu laku di kalangan akademisi Jerman (karya Frege sempat kesulitan mencari penerbit!). Pemikiran Frege ternyata lebih diterima di Inggris, salah satunya oleh Bertrand Russell (bersama muridnya, Ludwig Wittgenstein) yang memang lebih memusatkan proyek filsafatnya pada bahasa. Karya-karya Frege baru mulai dikenal di Eropa, termasuk Jerman, melalui kelompok Lingkaran Wina, salah satunya melalui salah satu muridnya, Rudolf Carnap. 

Nah, tapi ada perselisihan lebih lanjut antara perbedaan pemahaman logika Husserl dan Frege. Pada bagian kedua Logische Untersuchungen, Husserl meneruskan gagasan logikanya untuk mengetahui dengan pasti perkara objek dan kesadaran. lewat istilah fenomenologi dengan prinsip "kita harus kembali pada hal-hal itu sendiri" (Wir wollen zu den 'Dingen selbst' zurückkehren). Jadi, apa itu fenomenologi? Pendeknya, fenomenologi berupaya menemukan korelasi antara aspek fundamental dari persepsi, kesadaran dan keterarahan terhadap hal ideal pada objek, seperti halnya angka-angka berurusan dengan bentuk geometri yang murni dan bukan pada bentuk-bentuk yang mewujud dalam keseharian (Husserl, 2001: Iiii). Itu sebabnya fenomenologi mendaku sebagai sains yang a priori dan rigorous demi membedakan dirinya dari sains empiris dan psikologisme. 

Disinilah para komentator mulai keberatan. Dengan klaim baik Husserl maupun Frege yang ingin menyingkirkan psikologisme dari filsafat, Husserl justru dinilai bukannya merevolusi filsafat, tapi hanya memberikan alternatif bagi psikologisme. Husserl masih terkesan memberi tempat bagi aspek mental dan dunia empirik, sementara Frege dengan tegas menempatkan logika dalam posisi analitik dan a priori tanpa campur tangan pengetahuan inderawi. 

Vrahimis menegaskan bahwa perselisihan ini terjadi karena perbedaan pendapat diantara para komentator. Sejumlah kritikus Husserl dinilai tidak benar-benar tekun membaca pendapat Husserl tentang logika dan hanya fokus pada gagasan fenomenologi. Pada perkembangannya kemudian, mereka yang condong mengikuti posisi Frege tentang logika (dan turunan-turunannya) akan cenderung menganut filsafat analitik, sementara mereka yang condong membela posisi fenomenologi Husserl (akan pentingnya kesadaran, intuisi, objek/ fenomena dan turunan-turunannya) cenderung menjadi filsafat kontinental. Tentu ada faktor lain yang membentuk kutub keduanya selain Psychologismus-Streit, yang akan dibahas di lain kesempatan. 

 

Referensi:

  • Dummett, M. (1993). Origins of Analytical Philosophy. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press.
  • Gutland, C. (2018). Denk-Erfahrung: Eine phänomenologisch orientierte Untersuchung der Erfahrbarkeit des Denkens und der Gedanken. Freiburg im Breisgau/Munich: Verlag Karl Alber.
  • Husserl, E. (2001). The Shorter Logical Investigations (J. N. Findlay, Trans.). London: Routledge. Kusch, M. (1995). Psychologism: A Case Study in the Sociology of Philosophical Knowledge. New York: Routledge.
  • Solomon, R. (1976). Frege and Husserl. In H. A. Durfee (Ed.), Analytic Philosophy and Phenomenology (pp. 31–54). The Hague: Nijhoff. 
  • Vrahimis, A. (2013). Encounters between Analytic and Continental Philosophy. Palgrave Macmillan.  

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat